Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Spanduk Tak Jadi Basi

Nurmahmudi Ismail gagal menjadi Wali Kota Depok. Belum semua pintu tertutup baginya.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPANDUK ucapan selamat itu masih terpasang di seberang kantor Wali Kota Depok, Jalan Margonda Raya di kota itu. Isinya ditujukan kepada pasangan Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra, yang memenangi pemilihan kepala daerah di sana.

Sudah hampir sebulan spanduk itu terpacak di sana, meski izin pemasangannya sudah berakhir 1 Agustus lalu. Terhitung sejak Kamis pekan lalu, bukan hanya izinnya yang ke-daluwarsa, materi pesannya pun terasa basi: Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah meng-anulir kemenangan pasangan Nurmahmudi dan Yuyun.

Majelis hakim yang dipimpin Nana Juwana mengabulkan gugatan pasangan calon Wali Kota Depok, Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad. Dalam pertimbangannya, hakim menilai telah terjadi penggelembungan suara un-tuk pa-sangan Nurmahmudi-Yuyun dan peng-gembosan suara untuk pasangan Badrul-Syihabuddin (lihat tabel).

Keputusan pengadilan tinggi itu membuat pendukung Mahmudi naik pitam. Mereka menyatakan siap menggelar demonstrasi besar-besaran. Sabtu minggu lalu ratusan pendukung Nurmahmudi memenuhi jalan-jalan di Kota Depok, memprotes keputusan itu.

Suasana di Depok sempat tegang. Kepala Kepolisian Resor De-pok, Ajun Komi-saris Besar Ratnawati, menetapkan status siaga satu. Dia me-nyiagakan dua pertiga kekuatan di Kota Depok atau setara dengan 920 personel. Kekuatan itu ditambah bantuan 3 satuan setingkat kompi (SSK) dari Polda Metro Jaya, satu SSK dari Polres Tangerang, dan satu SSK dari Polres Jakarta Timur.

Nurmahmudi berang. Dengan nada tinggi ia mengatakan tidak mengakui keputusan itu. ”Keputusan itu haram,” katanya. Partai Keadilan Sejahtera, yang mendukung penuh pencalonan Nurmahmudi, langsung menggelar rapat internal untuk mengambil sikap. Isinya: menolak keputusan pengadilan.

Sehari setelah keputusan ditetapkan, kantor Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Jalan Japati, Bandung, didatangi ribuan kader dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera. Pengunjuk rasa meminta penjelasan pengadilan tentang pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Pekik Allahu Akbar bersahut-sahutan sepanjang aksi. Wakil Ke-tua DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKS, Ahmad Ru’yat, terlihat di antara peng-unjuk rasa.

Sikap yang ditunjukkan PKS ini bisa dimaklumi. PKS menganggap ada sejumlah kejanggalan pada keputusan hakim. Satu di antaranya adalah masalah prosedural. PKS menganggap gugatan Badrul Kamal itu gugur demi hukum karena terlambat didaftarkan ke peng-adilan. Berdasarkan aturan, gugatan itu harus sudah terdaftar maksimum tiga hari setelah hasil pemilihan diumumkan KPUD.

Selain masalah pendaftaran, keputusan hakim juga sudah melewati batas waktu 14 hari yang ditetapkan peraturan. Nyatanya, gugatan didaftar 12 Juli 2005 dan baru diputuskan 4 Agustus 2005, alias memakan waktu lebih dari dua minggu. Pertimbangan hakim tentang adanya penggembosan dan penggelembungan suara juga menjadi tanda tanya. Seharusnya yang menjadi materi perkara adalah hasil penghitung-an -suara setelah pemilihan, dan bukan proses sah-tidaknya suara sebelum penghitungan. Ada pula kecurigaan putusan pengadilan itu ”ditekuk-lipat”. Soalnya, di tengah sidang, majelis mengganti hakim Hadi Lelana dengan Fadhly Ilhamy. Hadi dianggap kritis terhadap bukti-bukti yang diajukan kubu Badrul Kamal.

Ketua majelis hakim, Nana Juwana, membantah keputusan hakim hanya didasarkan pada keterangan para saksi. Katanya, ada 20 dus surat-surat pen-ting yang dijadikan bahan pertimbangan. Dari bukti-bukti itu, hakim menemukan ada sejumlah pemilih fiktif yang ikut mencoblos. Dari situlah hakim berkesimpulan telah terjadi penggelembungan suara. Hakim juga menemukan nama-nama di daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak mencoblos. Saksi-saksi yang dihadirkan pihak Badrul Kamal dinilai bisa membuktikan bahwa nama-nama pemilih itu tidak mendapat undangan untuk datang ke tempat pemilihan suara.

Secara prosedural, majelis hakim enteng mengelak. Kata mereka, pendaftaran gugatan tidak melewati tenggat waktu yang diatur dalam undang-undang. Pengambilan keputusan yang seharusnya 14 hari tidak dilanggar karena sudah ada keputusan sela pada sidang sebelumnya. Tentang hakim yang diganti di tengah jalan, itu karena terjadi musibah. ”Anaknya tabrakan dan masuk rumah sakit,” kata Nana.

Nurmahmudi sendiri tak surut langkah. Bersama sejumlah pejabat teras PKS, Jumat lalu ia mendatangi kantor Menteri Dalam Negeri dan Mahkamah Agung. ”Ini gerakan untuk tidak meng-akui keputusan itu,” kata Nur. Rencananya, mereka juga akan mengadukan keputusan pengadilan itu ke Mahkamah Yudisial.

Munculnya keputusan kontroversial itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005. Peraturan yang memuat tata cara pengajuan gugatan dalam pemilihan kepala daerah ini hanya mengharuskan pemanggilan pihak penggugat (Badrul Kamal) dan tergugat (KPUD). Sementara itu, kesaksian dan bukti yang dimiliki pihak terkait (Nurmahmudi) bisa diabaikan hakim.

Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar N. Gumay, berpendapat pintu belum tertutup buat Mahmudi. Katanya, Pasal 106 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang menyebutkan keputusan pengadilan tinggi itu bersifat final, namun tidak disebutkan mengikat. Ini celah yang bagus buat KPUD untuk ”mengabaikan” keputus-an pengadilan tinggi. Jadi, KPUD bisa tetap berpegang pada hasil perhitungan sebelumnya yang memenangkan Nurmahmudi dan Yuyun. Nama keduanya tetap bisa diajukan ke DPRD Depok.

Upaya hukum yang dilakukan Nurmahmudi dengan mengadukan masalah itu ke MA juga tidak salah. Meskipun putusan itu final, bukan berarti MA lepas tangan sama sekali. ”Logikanya, kalau MA bisa memberikan wewenang ke pengadilan tinggi, berarti MA juga bisa mencabutkan,” kata Hadar.

Jadi, peluang untuk Nur belum tertutup. Mantan Menteri Kehutanan ini masih memiliki kesempatan untuk tetap memesan spanduk seperti yang terpa-sang di depan kantor Wali Kota Depok.

Suseno, Rini Kustiani, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus