Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agus Yusuf Cerita Ketatnya Ujian Pelukis Difabel di Kancah Dunia

Ada tiga tingkatan yang harus dilalui pelukis difabel saat bergabung dengan perkumpulan pelukis dengan mulut dan kaki atau AMFPA di Switzerland.

20 Juni 2020 | 11.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Sepuluh pelukis difabel menggelar Pameran Virtual bertajuk 'Peace in Chaos' di sejumlah media sosial sejak 11 Juni 2020. Mereka adalah perupa dengan beragam disabilitas yang berasal dari berbagai kota, di antaranya Gunungkidul, Yogyakarta; Madiun, Jawa Timur; Bandung, Jawa Barat; Jakarta; Bengkulu, Aceh, dan Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semestinya mereka jumpa darat untuk pameran bersama. Namun semua batal karena pandemi Covid-19. Wahana virtual menjadi alternatif untuk menyatukan karya-karya lukisan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Yusuf, 54 tahun, adalah satu dari sepuluh perupa itu. Lelaki asal Madiun, Jawa Timur ini sudah akrab dengan dunia coret-coret sejak kelas II sekolah dasar. Sedari awal, difabel daksa tanpa lengan ini merampungkan lukisan-lukisannya dengan mengigit kuas atau menjepitnya di jari kaki.

Pada kelas V sekolah dasar, Agus Yusuf mulai mengikuti lomba melukis tingkat kelurahan. Dia meraih peringkat pertama dan trus melaju hingga tingkat kabupaten dengan posisi yang sama. Lulus SMA, Agus mengirimkan lamaran ke sebuah yayasan perkumpulan pelukis dengan mulut dan kaki atau Association of Mouth and Foot Painting (AMFPA) yang bermarkas di Switzerland.

"Saya dapat informasi tentang asosiasi itu dari majalah milik tetangga," kata Agus saat dihubungi Tempo pada Minggu, 14 Juni 2020. Surat dari Switzerland itu berbalas. Agus Yusuf mengikuti seleksi dan diterima menjadi anggota asosiasi sejak 1989 hingga sekarang.

Lukisan karya difabel Agus Yusuf yang ditunjukkan dalam Pameran Virtual Peace in Chaos, Juni 2020. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Ada tiga tingkatan yang harus dia lalui selama menjadi anggota AMFPA. Mulai dari tahap student member, associate member, hingga full member. Total jumlah anggota AMFPA saat ini sekitar 700 seniman.

Menjadi student member adalah tingkat awal yang dijalani bersama para anggota pemula lain ketika awal masuk. Pada tahapan itu, Agus harus mengirimkan lukisan asli karya sendiri setiap tiga bulan sekali. "Sekali kirim bisa sepuluh lukisan dengan ukuran maksimal 60 x 70 sentimeter," kata dia. Jika lebih dari ukuran itu tidak diterima karena di sana tidak ada tempatnya di kantor AMFPA.

Pengiriman lukisan dilakukan melalui pos. Agus akan menerima pemberitahuan melalui surat atau surat elektronik ketika lukisan telah diterima. Lukisan-lukisan itu pun diseleksi. Kadang hanya dipilih 2 sampai 3, namun tak jarang 10 lukisan yang dibuat tak lolos seleksi semua. Lukisan yang dipilih akan dicetak dalam bentuk kalender atau kartu pos, kartu Natal, kartu Lebaran. Ada juga yang dilelang. Hasil penjualan dikirim ke rekening Agus.

Kenaikan tingkat dari student member, associate member, hingga full member didasarkan pada penilaian atas lukisan-lukisan yang dikirim saban triwulan sekali. Pengumuman disampaikan pihak AMFPA setiap tiga tahun sekali. Ada yang dinyatakan naik tingkat, ada yang masih memperpanjang kontrak alias tinggal kelas.

Beberapa pedoman penilaian lukisan antara lain pewarnaan dan kejelian. "Untuk aliran dan tema lukisan diserahkan kepada seniman," kata Agus. Butuh 23 tahun bagi Agus untuk menanti kabar gembira itu. Tepatnya pada 23 Maret 2013, dia dinyatakan diterima sebagai anggota di tingkat associate member.

Waktu pengangkatan berdasarkan waktu masuk pertama kali menjadi anggota. Di tingkatan itu, kewajiban anggota juga sama untuk mengirimkan karya-karyanya untuk dinilai dan diseleksi. "Saya berusaha maksimal untuk lebih teliti, detail, dan bermain komposisi warna. Kalau hijau ya enggak hijau polos. Ada yang kena sinar, jadi lebih terang," ucap Agus yang telah memproduksi 650 lukisan.

Setiap 3 sampai 5 tahun sekali para anggota AMFPA dar seluruh dunia berkumpul untuk pameran bareng. Agus pernah mengikuti pameran di Singapura, Thailand, Switzerland, Austria, dan Spanyol. Ada sembilan anggota associate member yang berasal dari Indonesia. Dan belum satu pun yang bergabung di tingkat full member.

Lukisan karya difabel Agus Yusuf yang ditunjukkan dalam Pameran Virtual Peace in Chaos, Juni 2020. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Belum ada rencana Agus dan teman-temannya untuk membentuk wadah perkumpulan pelukis dengan mulut dan kaki di Indonesia. Dia membayangkan kesulitan dalam memasarkan. Terlebih teknologi telah menggeser keberadaan kartu pos atau kartu ucapan selamat.

Agus terus menyibukkan diri dengan melukis. Dia memilih waktu bekerja di pagi ketimbang malam hari. Dia merasa lebih segar di pagi hari dan saat malam untuk beristirahat. Kegiatan melukis dimulai pukul 06.30 sampai 11.00, diseling dengan sarapan. Agus lebih sering melukis dengan menggunakan mulut ketimbang kaki karena lebih luwes. "Kalau pakai kaki, agak berat dengan posisi menggantung. Cepat capek," kata Agus yang butuh waktu satu bulan untuk merampungkan satu lukisan.

Acapkali Agus Yusuf meluangkan waktu ke luar rumah untuk mencari inspirasi. Memotret berbagai objek, seperti aneka binatang dan tumbuhan dengan kamera. Hasilnya dicetak dan diperbesar untuk kemudian dilukis. "Untuk melukis detail anatomi burung hingga bulu-bulunya dengan melihat foto supaya terlihat persis,” kata pelukis naturalis realis itu.

Pada Juni 2020 ini Agus dan teman-temannya seharusnya kopi darat. Saling melawat ke daerah masing-masing dan berujung pameran bersama. Namun pendemi Covid-19 membuat mereka memilih tinggal di rumah. Merampungkan karya yang tersisa dan memulai menggarap karya baru. "Saya membuat lukisan untuk persiapan pameran setelah wabah corona usai. Juga buat dikirim ke AMPFA," kata Agus Yusuf.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus