Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak moratorium diberlakukan pada 2015, pengiriman buruh migran ke Timur Tengah secara ilegal justru meningkat.
Perbaikan tata kelola penting dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja migran Indonesia di negara penempatan.
Pencabutan moratorium wajib diikuti dengan peraturan untuk memberi pelindungan bagi pekerja migran
JAKARTA – Penghapusan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah tidak serta-merta menyelesaikan masalah buruh migran. Kebijakan pemerintah itu bisa menjadi sia-sia tanpa dibarengi perbaikan tata kelola perekrutan hingga pendidikan bagi para pekerja migran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto, mengatakan perbaikan penting dilakukan untuk melindungi para pekerja migran Indonesia di negara penempatan. “Mekanisme pelindungan harus dijalankan secara baik, yang dibarengi dengan perbaikan tata kelola terhadap pekerja migran,” ujar dia saat dihubungi pada Rabu, 30 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariyanto menjelaskan, sejak moratorium diberlakukan pada 2015, jumlah pengiriman buruh migran ke Timur Tengah secara ilegal justru meningkat. Sejak 2015 sampai 2019, Serikat Buruh mencatat 1.010 pekerja migran ditempatkan tidak sesuai dengan prosedur alias ilegal ke kawasan Timur Tengah. Negara yang disebut paling banyak menerima buruh migran tanpa prosedur adalah Arab Saudi.
Mereka yang dikirim secara ilegal itu kemudian diidentifikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). “Dari data kami, moratorium pengiriman buruh migran yang tertuang dalam keputusan Menteri Ketenagakerjaan atau kepmenaker malah menciptakan penempatan pekerja migran yang tidak prosedural,” ujar Hariyanto.
Kebijakan pencabutan moratorium bermula dari penjelasan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, beberapa hari lalu. Dia menyatakan pemerintah akan membuka kembali penempatan pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah. Kebijakan moratorium sebelumnya diatur dalam Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Dengan penghapusan moratorium tersebut, Menteri Ida juga mencabut Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi melalui sistem penempatan satu kanal.
Tenaga kerja Indonesia dari Arab Saudi saat didata oleh petugas Imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 2016. Dok. TEMPO/STR/Marifka Wahyu Hidayat
Menurut Hariyanto, keputusan menteri perihal moratorium itu justru bermasalah karena hanya melarang penempatan pekerja migran informal, seperti asisten rumah tangga. Namun kebijakan menteri tersebut tidak melarang buruh migran, seperti cleaning service. Celah itu pun dimanfaatkan sejumlah pelaku pelayanan jasa yang mengirim buruh migran. Mereka mengirim buruh migran dengan mekanisme formal, misalnya, menggunakan visa kerja sektor formal, yakni sebagai cleaning service.
Faktanya, kata dia, ketika sudah sampai di Arab Saudi, buruh migran itu dipekerjakan secara informal. Mereka direntalkan secara perorangan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. “Di sini muncul eksploitasi. Mekanisme outsourcing atau alih daya tenaga kontrak terjadi,” ujar Hariyanto.
Selain itu, pelaku kerap mengelabui petugas, yakni menggunakan visa ziarah. Fenomena ini malah kerap terjadi bahkan setelah keputusan menteri soal moratorium itu muncul. Artinya, semakin banyak pekerja migran yang bekerja secara tidak sesuai dengan prosedur (unprocedural) sehingga mereka pun sulit atau bahkan tidak mendapat pelindungan. “Mereka juga mudah dikelabui, misalnya perjanjian antara pekerja migran dan agensi. Agensi menawarkan gaji 2.400 rial (sekitar Rp 9 juta), tapi hanya diberi 1.000 rial (sekitar Rp 4 juta),” ujarnya.
Derita Pekerja Migran di Negeri Orang
Hariyanto mengatakan kebijakan pemerintah menghapus moratorium penempatan buruh migran sudah tepat. Tapi penghapusan moratorium harus dibarengi dengan perbaikan tata kelola dan pengawasan kepada para pekerja migran. Pemerintah, ujar Haryanto, harus menjalankan dengan baik Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Menurut Hariyanto, peraturan pelindungan tersebut selama ini belum berjalan. Dia menjelaskan, pemerintah provinsi mengawasi tata kelola di sektor swasta ataupun pemerintah. Pemerintah kabupaten menyiapkan tata kelola berbasis satu atap untuk memangkas birokrasi penempatan pekerja migran yang lama dan mahal. Adapun pemerintah desa berperan memberikan informasi yang aman, pendataan, penandatanganan, pendidikan, serta verifikasi data. “Bila itu dijalankan, pelan-pelan jaminan pelindungan bagi pekerja migran Indonesia bisa terealisasi."
Perihal jaminan pelindungan, pemerintah Indonesia harus menekan nota kesepahaman (MoU) dengan negara tujuan penempatan. Kerja sama itu harus menjamin dilindunginya warga Indonesia. Produk kerja sama itu bisa berupa asuransi bagi pekerja migran. Menurut Hariyanto, di Arab Saudi tidak boleh ada asuransi. Dengan kondisi itu, mekanismenya bisa saja tidak disebutkan asuransi, melainkan perlindungan warga negara berbentuk jaminan sosial.
Bila warga Indonesia terancam, pemerintah bisa menggunakan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelindungan Warga Negara Indonesia. Peraturan ini seharusnya berlaku bagi pekerja migran penempatan di negara tujuan yang tidak sesuai dengan prosedur. Sebab, pekerja migran tersebut hanyalah korban. Dengan begitu, tak ada alasan lagi bagi pemerintah membedakan warga Indonesia yang proses penempatannya prosedural atau tidak. “Pemerintah wajib melindungi warga negara,” ujar Hariyanto.
Sejumlah tenaga kerja Indonesia dari Arab Saudi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 2016. Dok. TEMPO/STR/Marifka Wahyu Hidayat
Suara Solidaritas Perempuan
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Andriyeni, mengatakan Kementerian Tenaga Kerja seharusnya sudah mencabut kebijakan moratorium sejak dulu. Dia menyayangkan kebijakan itu justru dicabut ketika sudah banyak perempuan pekerja migran Indonesia yang menjadi korban.
Solidaritas Perempuan mencatat, dalam empat tahun terakhir, dari 90 kasus yang ditangani, separuh di antaranya adalah perempuan buruh yang diberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur di negara penempatan, seperti Arab Saudi, Irak, dan Uni Emirat Arab. “Asal daerah perempuan buruh migran, antara lain, dari Sumbawa, Sigi, dan Lombok Barat,” kata Andriyeni.
Menurut dia, moratorium mengakibatkan perempuan rentan mengalami kekerasan, pelanggaran hak, eksploitasi, bahkan trafficking atau penyelundupan karena diberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur. Andriyeni juga mengatakan pencabutan moratorium tidak otomatis menyelesaikan akar masalah perempuan buruh migran, misalnya kekerasan yang kerap dialami. Menurut dia, kompleksitas masalah tersebut tidak akan berakhir bila negara masih memandang perempuan buruh migran sebagai komoditas.
Andriyeni mendorong kebijakan untuk melindungi buruh migran sesuai dengan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, khususnya Nomor 26, yang berhubungan dengan pekerja migran. Kovenan itu telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Moratorium Minim Pengawasan
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan kebijakan moratorium sepantasnya dicabut karena menimbulkan komplikasi serius. Kebijakan ini justru menimbulkan dualisme aturan. “Satu aturan melarang, tapi satu aturan lainnya malah memberi kesempatan adanya penempatan buruh migran. Itu menimbulkan kebingungan akar rumput,” kata Wahyu, kemarin.
Selama moratorium, pemerintah juga tidak mengawasi secara ketat sehingga menimbulkan implikasi serius, yakni meningkatnya angka perdagangan orang ke negara-negara Timur Tengah. “Ini terjadi karena aksesnya ditutup. Sementara itu, pasar gelap tenaga kerja masih sangat tinggi di Timur Tengah,” ujar Wahyu.
Dia meminta pemerintah menyiapkan proses bagi calon pekerja migran secara baik. Pemerintah juga harus mendorong adanya kerja sama perlindungan pekerja migran dengan negara-negara kawasan Timur Tengah.
Wakil Ketua Komisi IX DPR bidang Ketenagakerjaan, Kurniasih Mufidayati, mengatakan pencabutan moratorium wajib diikuti dengan peraturan untuk melindungi pekerja migran. Pelindungan itu, khususnya, untuk mereka yang akan bekerja di Timur Tengah. Sebab, menurut Kurniasih, lahirnya moratorium pengiriman buruh migran sebagai respons atas banyaknya tindakan pelanggaran hak pekerja migran, jam kerja yang berlebihan, upah yang tidak adil, serta situasi kerja yang tidak aman.
"Penting bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan penghapusan moratorium tidak akan membahayakan hak dan kesejahteraan pekerja migran. Langkah-langkah perlindungan yang kuat harus diimplementasikan, termasuk pengawasan yang lebih ketat terhadap kondisi kerja dan perlakuan terhadap pekerja migran," ujar dia, kemarin.
Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Chairul Fadhly Harahap, mengatakan belum bisa menjelaskan alasan dan pertimbangan Kementerian mencabut moratorium tersebut. Dia mengatakan rencana pencabutan moratorium tersebut masih dalam tahap pembahasan.
Perihal mekanisme pembukaan penempatan bagi para buruh migran, dia juga belum bisa menjelaskan lebih lanjut. Chairul hanya memastikan pembukaan penempatan bagi para buruh migran akan mengikuti mekanisme Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. “Kami dalam dua hari ke depan akan menyampaikan rilis. Selebihnya, kami belum bisa menjawab,” kata dia, kemarin.
Adapun Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, memastikan lembaganya pasti membantu WNI tanpa melihat status pekerja migran legal atau ilegal.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo