Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tidak semua orang dengan disabilitas pendengaran menggunakan istilah tunarungu. Terminologi ini, bagi sebagian kelompok disabilitas pendengaran justru tidak menggambarkan keadaan mereka yang sebenarnya. Sebagian penyandang disabilitas pendengaran lebih suka disebut Tuli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari sebuah fungsi, sedangkan Tuli merupakan istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda," tulis Michele, seorang staf pengajar bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia atau Pusbisindo melalui pesan singkat, 28 Juni 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah Tuli juga merupakan akar kata bahasa Indonesia yang menggambarkan ragam jenis keadaan seseorang, bukan ketidakmampuan berbicara. Adapun terminologi tunarungu, menurut beberapa kelompok penyandang disabilitas pendengaran, dianggap sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar sekaligus bicara. Bukan sebagai keragaman budaya, cara, atau ragam komunikasi alternatif.
"Saya lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat karena lugas dan jelas menyampaikan segala hal," ujar Surya Sahetapy yang juga pengajar di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia melalui video yang dibuatnya sekitar Juni lalu.
Dalam video tersebut, Surya berbicara tanpa menggunakan bahasa isyarat melainkan bahasa verbal. Video tersebut juga menunjukkan, bukan berarti orang yang Tuli tidak dapat berbicara. "Berkomunikasi seperti ini bukan sebuah aktivitas yang mudah bagi saya karena harus melalui tahapan terapi wicara sejak umur delapan tahun," ujar Surya.
Terapi wicara juga bukan sebuah kegiatan yang nyaman dilakukan bagi teman-teman yang Tuli. Sebab, ada alat yang digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam mulut. Dengan berbagai alasan yang sudah dipaparkan, pengenalan bahasa isyarat sebagai ragam cara berkomunikasi di kalangan umum dapat menjadi pilihan agar teman Tuli dapat menyampaikan pendapat mereka dengan lugas dan efektif.