Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan Kakek Presiden Prabowo Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Sebuah lembaga riset dan konsultasi menyatakan, kakek Presiden Prabowo layak menjadi pahlawan nasional.

28 Oktober 2024 | 15.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sygma Research and Consulting menilai R.M Margono Djojohadikusumo, layak memperoleh gelar pahlawan nasional. "Jawa Timur ingin menjadi inisiator agar R.M Margono Djojohadikusumo dapat meraih kehormatannya, saya berpikir beliau sangat berhak untuk itu," kata Komisaris Sygma Research and Consulting, Yuristiarso Hidayat dalam Forum Discussion Group (FGD) Kajian Historis Usulan Gelar Pahlawan Nasional di Aula PWI Jawa Timur, Surabaya, Jumat, 25 Oktober 2024 dikutip dari Antara.

Margono ini merupakan ayah Sumitro Djojohadikusumo. Artinya, ia kakek Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Lantas, apa alasan Margono Djojohadikusumo layak memperoleh gelar pahlawan nasional?

Yuristiarso Hidayat mengatakan pengusulan Margono Djojohadikusumo memperoleh gelar pahlawan menjadi pertimbangan. Sebab, idenya berasal dari Jawa Timur sedangkan daerah asal Margono Djojohadikusumo di Kabupaten Banyumas. "Dasar pertimbangannya lahirnya Hari Pahlawan Nasional di Surabaya," ujarnya.

Seiring usulan itu, ujar Yuris, akan dilakukan kajian mendalam bersama akademisi serta praktisi melalui roadshow di sejumlah kota. "Apalagi usulan ini telah mendapatkan dukungan dari Pemkab Banyumas sebagai syarat mendapat gelar pahlawan nasional berbekal berbagai dokumen penting dengan melibatkan peneliti, sejarawan, dan berbagai pihak penyusun kajian," katanya.

Kajian historis mendalam tersebut membedah peran Margono Djojohadikusumo dalam sejarah Indonesia. Menurut Yuris, keluarga Margono tercatat sebagai pejuang karena kedua anaknya gugur dalam peristiwa Pertempuran Lengkong, yaitu Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikusumo dan Taruna Soejono Djojohadikusumo. Nama mereka kemudian diabadikan dalam nama cucu-cucunya seperti mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad yang kini menjabat sebagai Presiden RI Prabowo Subianto serta adiknya Hashim Sujono. 

Adapun ayah Margono adalah priyayi yang menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda. Cucu buyut Raden Tumenggung Banyakwide atau dikenal sebagai Panglima Banyakwide, yang diklaim sebagai pengikut setia Pangeran Diponegoro.

Margono Djojohadikoesoemo adalah seorang politikus dan bankir Indonesia. Dia adalah pendiri dan presiden pertama Bank Negara Indonesia, dan juga anggota Panitia Pemeriksa Pekerjaan Persiapan Kemerdekaan.

Kariernya berawal dari pegawai di Dinas Perkreditan Rakyat dan naik pangkat, menjabat posisi yang biasanya dipegang oleh orang Belanda di Madiun. Keberhasilannya membuat pejabat Hindia Belanda mengirimnya ke Belanda pada 1937 untuk membantu Kementerian Urusan Jajahan.

Sekembalinya ke Indonesia, Margono bekerja di Departemen Urusan Ekonomi hingga pendudukan Jepang pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang, Margono bekerja di Shomin Ginko (Bank Rakyat) dan kemudian membantu Mangkunegara VII di Keraton Mangkunegaran. 

Di sana, ia bertugas mengurus bahan makanan, penyuluhan petani, dan mengawasi rumah gadai. Margono dikenal karena kemampuannya memanipulasi pasukan Jepang untuk melindungi persediaan bahan makanan rakyat. Setelah proklamasi kemerdekaan, Margono diangkat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberi nasihat kepada pemerintahan. 

Pada 1946, ia mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) dan memindahkannya ke Yogyakarta saat pemerintah Indonesia hijrah ke sana. BNI berfungsi sebagai bank sentral dan berperan dalam ekonomi Indonesia yang baru merdeka.

Margono terlibat dalam upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional. Salah satu usaha penting adalah pengiriman beras ke India oleh Perdana Menteri Sjahrir. Selain itu, Margono menyelamatkan aset BNI berupa emas seberat tujuh ton saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. 

Emas tersebut dijual ke Macau, dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan pangan, biaya diplomasi, dan persediaan perang melawan Belanda. Margono juga disebut berperan hingga tercapainya pengakuan Indonesia secara de facto dan de jure melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Pada 1950, ia ikut mendirikan Yayasan Hatta yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, bertujuan meningkatkan kecerdasan generasi penerus bangsa. Margono meninggal pada 25 Juli 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah. 

KHUMAR MAHENDRA | MICHELLE GABRIELA | DANIEL A. FAJRI | ANTARA

Pilihan Editor: Kisah Ayah Prabowo dalam Gerakan Melawan Orde Lama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus