Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah sudah meminta masukan dari KPU dan Bawaslu mengenai muatan draf Perpu Pilkada.
Tak ada kondisi kegentingan memaksa sehingga Presiden Jokowi mesti menerbitkan Perpu Pilkada.
Anggota Komisi II DPR menyetujui percepatan jadwal pencoblosan calon kepala daerah.
JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri mengumpulkan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Hotel Ayana, Jakarta Pusat, Senin, 25 September lalu. Dalam kegiatan tersebut, Kemendagri meminta masukan keempat pihak itu mengenai muatan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana harian Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Yudia Ramli, mengatakan tim Kemendagri mendengarkan masukan keempat pihak dalam rapat konsinyering tersebut. Hasil dari pertemuan itu, mereka mempersilakan pemerintah menerbitkan perpu pilkada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah itu, kata Yudia, tim internal Kemendagri mengharmonisasi muatan draf perpu pilkada. “Saat ini tim internal sedang melakukan harmonisasi,” kata dia, Rabu, 27 September 2023.
Yudia melanjutkan, pemerintah akan mengirim draf perpu pilkada ke DPR lebih dulu setelah pembahasan di tingkat pemerintah tuntas. Draf perpu akan sampai di tangan Komisi Pemerintahan DPR sebelum Presiden Joko Widodo menerbitkan perpu pilkada.
Pemerintah hendak menerbitkan perpu pilkada dengan maksud mempercepat pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024. Awalnya, KPU menetapkan jadwal pencoblosan pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024. Kemudian pemerintah ingin mempercepat waktu pencoblosan dua bulan lebih awal, atau pada September 2024. Rencana percepatan itu terhalang oleh ketentuan Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada yang mengatur pemungutan suara serentak pemilihan kepala daerah digelar pada November 2024.
Pemungutan suara pada 27 November itu sesungguhnya menjadi kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu, Komisi II DPR, dan Kemendagri. Jadwal itu sudah memperhitungkan pemilihan presiden jika berlanjut ke putaran kedua. Pencoblosan dalam pemilihan presiden akan digelar pada 14 Februari tahun depan.
Pemungutan suara di Sawah Besar, Jakarta, 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Guspardi Gaus, mengakui bahwa Komisi II memang mempersilakan pemerintah menerbitkan perpu untuk mengubah jadwal pencoblosan pilkada serentak saat rapat konsiyering. "Dalam pertemuan itu, ada saran dari berbagai pihak. Nanti pemerintah yang akan menentukan apakah saran dari DPR bisa dimasukkan," kata dia.
Politikus Partai Amanat Nasional itu menjelaskan, Komisi II hanya memberi masukan tentang muatan perpu kepada pemerintah. Sedangkan penerbitan perpu pilkada tetap menjadi hak prerogatif presiden.
Fraksi PAN, kata Guspardi, mendukung rencana tersebut karena memahami urgensi percepatan pilkada 2024. Urgensi itu, di antaranya, adalah mencegah 545 daerah dijabat penjabat kepala daerah per Januari 2025. "Ini juga menghindari kritik dari organisasi masyarakat sipil yang menolak adanya penjabat," kata dia.
Selain itu, percepatan jadwal pemungutan suara bisa memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Guspardi juga mendukung karena ada keserentakan pelantikan. Tapi ia tetap menekankan kesiapan KPU dalam melaksanakan percepatan pilkada tersebut.
“Jangan sampai menimbulkan beban dan keruwetan bagi penyelenggara pemilu. Sebab, akan terdapat irisan antara tahapan akhir Pemilu 2024 dan tahapan awal pilkada 2024,” kata Guspardi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Mohammad Toha, mengatakan tidak keberatan atas percepatan pilkada ini. Tapi pemerintah semestinya mensimulasi waktu percepatan pilkada ini lebih dulu. “Simulasi dari pendaftaran, pencoblosan, sengketa hasil, putusan pengadilan, hingga pelantikannya," kata Toha.
Pendapat berbeda disampaikan anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrat, Ongku P. Hasibuan. Ia menilai tidak ada alasan kuat bagi pemerintah untuk mempercepat pilkada 2024. Sebab, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir, pemerintah dapat mengangkat penjabat kepala daerah.
"Percepatan pilkada juga akan menimbulkan keruwetan bagi penyelenggara pemilu. Sebab, ada irisan antara tahapan akhir Pemilu 2024 dan tahapan awal pilkada 2024," kata Ongku.
Saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan percepatan pilkada ini dimaksudkan untuk menghindari potensi kekosongan jabatan kepala daerah pada 1 Januari 2025. Pada saat itu, ada 545 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya per akhir 2024.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan), Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetimpo, dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 11 Januari 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Kepentingan Keluarga Jokowi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), M. Nur Ramadhan, mengatakan pemerintah tak perlu menerbitkan perpu untuk mempercepat jadwal pilkada. Tapi pemerintah dapat mewujudkan agenda percepatan pilkada itu dengan mengubah UU Pilkada.
"Jika memang semua fraksi sepakat memajukan jadwal pilkada, tidak perlu ada hambatan dengan menggunakan proses legislasi di DPR,” kata Ramadhan, kemarin.
Ia menjelaskan, perpu merupakan instrumen yang seharusnya digunakan pemerintah dalam situasi kegentingan yang membutuhkan tindakan cepat. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yang menyebutkan tiga syarat utama terbitnya perpu, yaitu adanya keadaan mendesak, kekosongan hukum, dan kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang lewat prosedur biasa.
"Dengan jadwal pelaksanaan pilkada yang telah disusun, menandakan tidak ada kegentingan yang hadir dalam persoalan pilkada ini," ujar Ramadhan.
Menurut dia, adanya upaya mempercepat jadwal pilkada karena pemerintah dan DPR tidak memiliki perencanaan yang matang tentang pelaksanaan pilkada. Adapun potensi kekosongan jabatan kepala daerah seharusnya dapat diprediksi dan dipetakan sejak awal.
"Percepatan ini dapat merusak tatanan demokrasi dan merugikan prinsip-prinsip akuntabilitas serta transparansi yang sangat penting dalam pemerintahan yang sehat," katanya.
Dosen hukum tata negara di Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat dengan Ramadhan. Feri mengatakan pemerintah seharusnya tidak menerbitkan perpu untuk mempercepat jadwal pilkada. Apalagi tak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perpu.
"Dalam konteks ini hampir tidak ada syarat yang menunjukkan timbulnya hal ihwal kegentingan memaksa. Jadi, tak boleh dikeluarkan perpu," kata Feri. "Kalau dipaksakan, itu akan merusak sistem ketatanegaraan."
Feri melihat ada kepentingan lain sehingga perpu pilkada tetap akan diterbitkan. Ia juga menduga keluarga Jokowi diuntungkan oleh percepatan jadwal pemungutan suara ini. Dua putra Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, serta menantunya, M. Bobby Afif Nasution, disebut-sebut akan bertarung dalam pilkada serentak tahun depan.
"Sebab, Presiden, pada September masih berkuasa. Anak-menantunya dalam pilkada akan diuntungkan," kata Feri.
Pihak lain yang juga bakal diuntungkan oleh percepatan pilkada adalah anggota DPR hasil Pemilu 2024. Mereka memungkinkan ikut pilkada tanpa perlu mengundurkan diri dari jabatannya di Senayan.
"Jadi, ini bisa saja konspirasi DPR di parpol dan pemerintah yang melihat keuntungan itu," ujar Feri.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dedi Kurnia Syah, mengatakan keluarga Jokowi diuntungkan oleh rencana percepatan pemungutan suara ini. Sebab, saat pencoblosan, Jokowi masih menjabat presiden dan berpeluang mengintervensi pelaksanaan pilkada untuk memuluskan jalan Gibran, Kaesang, dan Bobby.
Gibran, yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, ada kemungkinan didorong menjadi calon gubernur. Lalu Bobby akan maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan Kaesang juga diprediksi bertarung dalam pilkada tahun depan.
"Hal ini sama halnya dengan pilkada Surakarta yang lalu. Jokowi kala itu memanggil calon rival Gibran ke Istana. Hasilnya, Gibran seperti diberi karpet merah menuju ruang kerja wali kota tanpa berkeringat," kata Dedi.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, juga menilai percepatan pilkada akan menguntungkan Gibran, Kaesang, dan Bobby yang dipredikisi maju menjadi calon kepala daerah pada 2024. "Kalau Jokowi masih menjabat, akan lebih mudah bagi mereka untuk menang. Karena ada potensi Jokowi bisa memainkan kekuasaannya."
HENDRIK YAPUTRA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo