Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi hanya akan membahas 14 dari 44 amicus curiae yang diterima.
Para pakar hukum tata negara berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengakomodasi seluruh permohonan amicus curiae.
Rapat permusyawaratan hakim dalam sengketa hasil pilpres 2024 akan berlangsung hingga Ahad.
SEBANYAK 44 permohonan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan diterima Mahkamah Konstitusi hingga Jumat, 19 April 2024. Dari 44 permohonan amicus curiae tersebut, majelis hakim konstitusi yang menyidangkan sengketa hasil pemilihan presiden 2024 masih menyelisik dan tidak semua permohonan dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mahkamah Konstitusi hanya akan membahas 14 dari 44 amicus curiae yang diterima hingga Selasa, 16 April 2024," ujar juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono saat ditemui di kantornya, Jumat kemarin. “Mengapa hanya 14? Itu keputusan otoritas majelis hakim.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa aksi menggelar salat asar berjemaah di kawasan Patung Kuda, 19 April 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Sidang sengketa pilpres 2024 memasuki babak akhir dengan pembacaan putusan pada Senin, 22 April 2024. Delapan hakim konstitusi selama tiga hari ini menggelar rapat permusyawaratan hakim. Menjelang putusan, sejumlah kalangan, seperti akademikus, politikus, dan organisasi kemasyarakatan, berempati dengan mengajukan amicus curiae. “Mahkamah Konstitusi tidak mengklasifikasikan. Permohonan bisa dipertimbangkan sebagian atau seluruhnya,” ujar Fajar.
Perselisihan hasil pilpres 2024 diajukan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni kubu nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Kubu 01 dan kubu 03 menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan pasangan nomor urut 02, Prabowo-Gibran, sebagai pemenang pilpres 2024.
Fajar menjelaskan rapat permusyawaratan hakim masih dilakukan delapan hakim konstitusi hingga Jumat kemarin. Meski putusan sengketa pemilihan presiden ini diagendakan digelar pada Senin, 22 April 2024, Fajar belum dapat memastikan kapan para hakim konstitusi merampungkan rapat tersebut. “Terkait dengan dinamika rapat permusyawaratan hakim, tidak ada yang mengetahui kecuali hakim konstitusi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Yance Arizona berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengakomodasi seluruh permohonan amicus curiae yang disampaikan sejumlah kalangan. Menurut dia, tidak ada aturan khusus yang mengharuskan hakim konstitusi mengakomodasi seluruh permohonan amicus curiae sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara. Namun Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, memahami, dan mengikuti rasa keadilan yang berkembang di masyarakat dalam memutuskan perkara.
Ketentuan tersebut, kata pengajar di Universitas Gadjah Mada ini, menjadi modal untuk meyakinkan hakim konstitusi mengakomodasi seluruh permohonan amicus curiae. “Amicus curiae menjadi salah satu sumber yang dapat dijadikan pertimbangan hakim memutuskan perkara,” ujar Yance saat dihubungi Tempo pada Jumat, 19 April 2024.
Ihwal limitasi hanya 14 amicus curiea, Yance menegaskan hakim konstitusi semestinya tetap mengakomodasi seluruh permohonan. Sebab, rapat permusyawaratan hakim terakhir oleh hakim konstitusi yang menyidangkan sengketa pilpres belum selesai.
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, mengatakan hakim konstitusi memiliki otoritas menggunakan atau menolak permohonan amicus curiae sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara. Namun, kata dia, hakim konstitusi diharapkan menggunakan substansi materi amicus curiae sebagai perspektif alternatif dalam memutuskan perkara demi menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. “Mahkamah Konstitusi bisa mengambil argumentasi yang relevan sebagai salah satu alternatif pertimbangan dalam memutus sengketa pilpres,” katanya.
Castro menjadi salah satu pihak yang mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi. Beserta Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil, dalam dokumen amicus curiae yang diperoleh Tempo, Castro menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi. Dia menyebutkan KPU dinilai salah dalam memaknai putusan Mahkamah pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang merupakan putusan pluralitas dalam menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden nomor urut 02.
KPU, dalam dokumen amicus curiae tersebut, juga dinilai salah menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden yang dimuat dalam Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023. Sebab, hal tersebut adalah perbuatan yang batal demi hukum karena sejak awal pencalonan Gibran tidak memenuhi syarat apabila merujuk pada putusan 90/PUU-XXI/2023 Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan tersebut berisikan adanya perbedaan argumentasi hakim konstitusi yang memperluas persyaratan bahwa hanya mereka yang berpengalaman sebagai gubernur bisa ikut kontestasi pemilihan presiden.
Akibat tidak terpenuhinya persyaratan sebagai calon wakil presiden, kata dia, Mahkamah tidak perlu ragu untuk bisa mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 02 dalam pelaksanaan pilpres 2024.
Castro berharap Mahkamah juga memberi penjelasan ihwal limitasi 14 permohonan amicus curiae yang diserahkan kepada hakim konstitusi. “Agar fair dan tidak menimbulkan persepsi liar di publik,” katanya. Apalagi materi permohonan amicus curiae pada prinsipnya hal yang setara karena berasal dari masyarakat.
Yance pun sependapat dengan Castro. Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dia menilai Mahkamah harus mampu mengakomodasi keseluruhan permohonan amicus curiae yang masuk hingga rapat permusyawaratan hakim terakhir dilakukan. Dengan begitu, pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutuskan perkara sengketa pemilihan presiden ini menjadi lebih komprehensif, tidak saja terbatas bukti persidangan, tapi juga aspirasi publik.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari (tengah) saat membacakan pemenang Pemilu 2024, di gedung KPU, Menteng, Jakarta, 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Amicus Curiae dalam Praktik Peradilan
Salah satu berkas amicus curiea yang diajukan Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Center for Law and Social Justice) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada memaparkan tradisi mengenai amicus curiae berasal dari hukum Romawi dan mulai dipraktikkan pada abad ke-9. "Pada awalnya, praktik amicus curiae digunakan oleh negara-negara dengan sistem hukum common
law. Namun sekarang amicus curiae lazim digunakan pada negara dengan sistem hukum civil law," demikian isi berkas amicus curiea yang diterima Tempo, kemarin.
Disebutkan pula, amicus curiae atau lazim disebut friends of the court merupakan masukan dari individu ataupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. ”Pasal inilah yang menjadi dasar praktik amicus curiae dapat diterapkan dalam sistem hukum civil law. Sebab, adanya amicus curiae dapat membantu hakim memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang terdapat di masyarakat."
Kajian Hukum dan Keadilan Sosial memberi contoh praktik amicus curiae dalam lingkup peradilan di Indonesia, yakni putusan Nomor 1269/PID.B/2009/PN. TNG kasus Prita Mulyasari. Kasus Prita menarik perhatian masyarakat karena ibu dua anak ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, karena mengirim surat elektronik yang menyebar di Internet mengenai layanan salah satu rumah sakit di kawasan Tangerang.
Prita kemudian diadili di Pengadilan Tangerang. Dalam perjalanan kasus tersebut, beberapa lembaga, seperti ICJR (The Institute for Criminal Justice Reform) dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), memberikan amicus curiae terhadap kasus tersebut. Mereka mempersoalkan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Contoh lain, masih dari data Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM, adalah ketika Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengajukan amicus curiae dalam perkara tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Terdakwa dalam kasus tersebut adalah Heri Budiawan, yang diperiksa di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Elsam mempersoalkan hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Majelis hakim konstitusi bakal membacakan putusan sengketa hasil pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada Senin, 22 April 2024. Dalam perkara ini, delapan hakim konstitusi bakal memberi putusan. Mereka adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Adapun hakim konstitusi Anwar Usman tidak menangani perkara sengketa hasil pilpres ini lantaran terbukti melanggar etik berat. Hal ini sesuai dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023. Putusan etik tersebut berhubungan dengan putusan perkara 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang diketok Anwar sebagai ketua majelis disebut-sebut melenggangkan Gibran maju dalam pencalonan wakil presiden. Anwar adalah ipar Presiden Joko Widodo. Sedangkan Gibran putra sulung Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan ini