Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Amir Musafir Itu Kini Ddiadili

Persidangan kasus GPK Warsidi di lampung masih berjalan. Giliran para tokoh gerakan di Jakarta mulai diadili.Mulai dari Nur Hidayat -- pemimpin pergerakan peristiwa lampung --, Maulana Abdul, Ridwan, dll.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang berkapasitas 200 pengunjung, tak terisi penuh. Padahal, pagi itu, Senin pekan ini, di sana mulai diadili Nur Hidayat, 30 tahun, amir musafir (pemimpin pergerakan) peristiwa Lampung. Bersama Nur, hari itu pengadilan yang sama mulai menyidangkan pula dua pembantu sang amir, yaitu Maulana Abdul Latief dan Ridwan bin Casari. Sehari kemudian, PN Jakarta Timur mengadili dua lagi pengikut gerakan ini, Fauzie, pegawai Biro Pusat Statistik, dan Abdul Fattah Qosim, mubalig yang tinggal di Tanjungpriok, Jakarta Utara. Pada 20 November ini, dua kawanan mereka, Dede Syaifuddin dan Sukardi, akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sedang Darsono, yang sebelumnya aktif sebagai pegawai Lembaga Studi Pembangunan (LSP) Jakarta, dan dikenal juga sebagai tokoh gerakan ini, masih belum jelas kapan akan maju ke meja hijau. Pengadilan Negeri Tanjungkarang di Lampung, sampai Rabu pekan lalu, telah usai mengadili enam terdakwa perkara GPK (gerakan pengacau keamanan) Warsidi. Mereka, lima di antaranya Zamzuri, Fadillah, Herianto, Sofyan, dan Sugeng Yulianto, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sedang Munjaini alias Munjen kena 20 tahun penjara. Sebagaimana kebanyakan terdakwa dalam perkara kerusuhan di Cihideung, Lampung Tengah, di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, para terdakwa di Jakarta pun menolak didampingi penasihat hukum. "Sudah berkali-kali saya ditawari pembela, tapi terima kasih saja," ujar Nur Hidayat kepada hakim. Bekas pegawai Ditjen Bea Cukai dan karateka nasional itu tampak sedikit kurus, dengan rambut gondrong, berkumis, dan memelihara jenggot. Hanya Ridwan bin Casari, bekas anggota DI/TII dari Jawa Barat itu, yang tampak didampingi pengacara LBH Furqon B. Authon dan Sri Purwani. Kenapa ia menyempal? "Sebab, ia merasa tak terlibat dengan gerakan ini," ujar Furqon. Dari surat tuduhan jaksa, bisa disimpulkan bahwa semua terdakwa dituduh melanggar pasal 13 Undang-Undang nomor 11/PNPS/1963, atau yang lebih dikenal dengan undang-undang anti-subversi, yang memberi ancaman maksimal: hukuman mati. Bersama-sama dengan para pembantunya Fauzie, Abdul Fattah Qosim, Maulana Abdul Latief, Ridwan bin Casari, Sukardi, Dede Syaifuddin, yang diadili secara terpisah, Nur Hidayat telah dituduh melakukan serangkaian perbuatan dengan motif atau latar belakang suatu ide atau kehendak politik: tercapainya suatu kehidupan masyarakat Islam di Indonesia yang melaksanakan ajaran Islam secata total, utuh, dan konsekuen (kaffah), dengan landasan Quran dan hadis. Masyarakat seperti yang mereka maksudkan berada di dalam suatu negara Islam. Untuk itu, Pancasila dan UUD '45 yang menjadi dasar negara Indonesia harus diubah. Guna merealisasikan cita-cita ini, mereka membuat dua program. Dalam jangka panjang mendirikan negara Islam, dan jangka pendek: membentuk Islamic Village atau base camp di seluruh Indonesia. Program itu dilaksanakan dengan cara merekrut jamaah perjuangan, lalu menyiapkan revolusi dalam tiga fase. Fase pertama membentuk jamaah yang siap mati syahid, untuk dilatih di base camp itu, dan kemudian digerakkan untuk mengadakan kekacauan dan meledakkan tempat-tempat tertentu di Jakarta. Fase kedua, menumbuhkan jaringan dan perwakilan-perwakilan gerakan di seluruh Indonesia. Dan terakhir, menciptakan kondisi kacau dengan melakukan pembunuhan, peledakan, pembajakan, penyebaran brosur dan pamflet, pengerahan massa untuk demonstrasi-demonstrasi, sampai pemerintah tumbang, dan negara Islam itu terbentuk. Dalam berbagai rapat dan ceramah yang dilakukan Nur Hidayat dan temannya Darsono atau Fauzie, di Jakarta, di Lampung, di Bima, maupun di tempat lain, mereka selalu menekankan bahwa pemerintah yang ada sekarang zalim. Dengan seenaknya -- entah dasarnya dari mana -- mereka membuat analisa, seakan-akan pemerintah sekarang segera akan tumbang. Para pejabat tinggi mereka kotak-kotakkan sebagai pengikut nasionalis, sosialis, dan komunis, dan siapa pun di antara kelompok pejabat itu yang berkuasa, menurut analisa ini, umat Islam tetap akan rugi dan dipojokkan. Dari sekian kali rapat yang mereka adakan, yang terpenting agaknya rapat di rumah Haji Didin Sholehuddin, seorang guru SD, awal Desember 1988, yang dihadiri sekitar 20 jamaah dari Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Rapat itu memilih Nur Hidayat sebagai amir musafir dan Muhammad Utsman, bekas mahasiswa UGM Yogyakarta yang merupakan tangan kanan Warsidi di Lampung, diangkat sebagai khatib alias sekretaris. Sedang Anwar alias Warsidi (tak hadir dalam pertemuan) yang memimpin jamaah di Cihideung, Lampung Tengah, cuma diangkat sebagai pimpinan (amir) untuk Lampung. Di sini diputuskan, permukiman Warsidi di Cihideung, dijadikan proyek Islamic Village atau base camp untuk melatih pasukan berani mati. Maka, sejak akhir Desember 1988 atau awal Januari 1989, para jamaah harus mulai hijrah ke Cihideung. Paling lambat, akhir Februari, seluruh rencana hijrah sudah selesai. Akhir Desember 1988, Nur Hidayat, Fauzie, dan Darsono mulai memberangkatkan jamaahnya dari Jakarta ke Cihideung. Di antaranya, termasuk Muhammad Ali alias Alex, 37 tahun, penduduk Jalan Warakas, Tanjungpriok, seorang jago silat dan kungfu. Saat berangkat ke Cihideung, menurut jaksa, Alex membawa 300 anak panah dari Jakarta. Sementara itu, Nur Hidayat mengutus orang-orangnya untuk membuat cabang gerakan di daerah-daerah: Fauzie ke Mataram dan Bima (NTB), Darsono ke Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan, Wahidin dan Ridwan ke Palembang dan Medan. Tapi kabarnya yang berhasil adalah Fauzie. Ia berhasil menghubungi Abdul Gani Masykur, tokoh Muhammadiyah setempat, yang menjanjikan dukungan pada gerakan mereka. Gani Masykur dan teman-temannya kini sedang diadili di Bima karena mengadakan gerakan yang juga bertujuan mendirikan negara Islam. Yang lainnya gagal. Wahidin, misalnya, karena sakit tak sampai ke Medan. Sedangkan Ridwan, kata Jaksa Lukman Kartaprawira, yang juga Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, kepada TEMPO, "Senangnya cuma jalan-jalan. Ia avonturir. Yang berhasil cuma kunjungan ke Bima itu." Setelah mendengar laporan dari kurir bahwa Cihideung digerebek oleh aparat keamanan, 7 Februari 1989, Nur Hidayat dan kawan-kawannya di Jakarta berkali-kali mengadakan rapat di Jakarta. Di sanalah mereka memberi nama gerakan itu: Komando Mujahidin Fisabilillah (KMF). Mereka membuat selebaran gelap yang dikirimkan ke kantor kedubes asing, serta para pejabat tinggi di Jakarta. Isinya: peristiwa Lampung menurut versi mereka. Untuk mengalihkan perhatian aparat keamanan yang sedang menguber pengikut Warsidi di Lampung, Nur Hidayat dkk. membuat rencana untuk membakar pompa bensin di jembatan Semanggi, sepanjang Jalan Gatot Subroto sampai Tanjungpriok, meledakkan dan membakar Pasar Pagi dan pusat perbelanjaan di Glodok. Itu mereka rencanakan pada 2 Maret 1989. Pernah pula mereka punya maksud untuk membunuh John Naro (ketika itu Ketua Umum PPP) dan Ketua MUI Hasan Basri, karena kesal membaca tanggapan kedua tokoh itu di koran-koran, tentang peristiwa Lampung. Anggota mereka sebar ke daerah. Fauzie, misalnya, dikirim lagi ke Bima untuk minta bantuan. Maulana Abdul Latif ke Jawa Timur, Sukardi ke Jawa Tengah, dan Ridwan bersama Dede Syaifuddin ke Subang. Ridwan dan Dede bertugas menimbulkan kekacauan di daerah itu. Tampaknya, membuat rencana memang mudah. Seperti ternyata kemudian, tak satu pun rencana itu kesampaian. Mereka memang berhasil menyiapkan ratusan panah beracun dan bom molotov. Tapi, sebelum dipakai, semua dapat disita aparat keamanan, ketika 27 Februari 1989 tempat persembunyian mereka di kawasan Pangkalan Jati, Jakarta Timur, digerebek aparat keamanan. Nur Hidayat membantah sebagian surat tuduhan jaksa. Misalnya, menurut dia mereka baru menyiapkan gerakan bersenjata itu setelah pecah peristiwa Lampung. "Sebelumnya, kami tak pernah bicara soal senjata dan kekerasan," katanya bersemangat dengan suara lantang. Tapi ketua majelis hakim Din Muhammad, yang memimpin sidang itu, menyela, "Sabarlah nanti ada waktunya menyampaikan bantahan itu. Saya tahu Saudara penuh semangat karena itu Saudara punya pengikut." Di depan pengadilan, yang diperlukan tentulah alat bukti dan saksi-saksi, bukan cuma semangat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus