Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMPOMAS II telah berada di dasar laut. Sederet jenasah telah
dikubur. Namun masih banyak pertanyaan yang terapung-apung.
Seperti terdengar dari DPR pekan lalu, pertanyaan itu misalnya:
Mengapa Indonesia membeli "kapal bekas" yang tua?
Tampomas II memang kapal bekas. Kapal berbobot 2.500 ton ini
selesai dibangun Mei 1971 oleh perusahaan Mitsubishi Heavy
Industries di Shimonoseki, Jepang. Kapal ini kemudian dibeli
oleh Arimura Sangyo, Okinawa. Perusahaan ini menggunakannya
sebagai car-ferry (feri pengangkut mobil) dengan nama Central
VI. Dengan nama Emerald, kapal berukuran panjang 128, 595 meter
dan lebar 22 meter ini kemudian dijual pada Hayashi Marine, juga
suatu perusahaan Jepang.
Muncul kemudian Indonesia. Sejak 1967, pemerintah menyadari
tambahnya kebutuhan sarana angkutan laut. "Bisa dikatakan 90%
dari 232 kapal di Indonesia sudah 20 tahun usianya," ujar
Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut J.E. Habibie. Langkah terbaik
seharusnya membeli kapal penumpang baru. Tapi dana terbatas,
padahal kebutuhan mendesak. Pemerintah pun kemudian memutuskan
untuk membeli kapal penumpang bekas.
November 1979, dibentuk suatu tim teknis dengan tugas membeli
kapal yang mendekati persyaratan suatu kapal penumpang yang bisa
mengangkut penumpang kelas dek. Panitia Pengarah (Steering
Committee) Pengadaan Kapal Penumpang ini diketuai oleh J.E
Habibie.
Ada 6 kapal penumpang bekas yang akhirnya oleh tim
dipertimbangkan penawarannya, antara lain Emerald, Argo, Regina
dan Stella Scarlets. Tanggal 23 Februari 1980, tim teknis ini
melapor pada Sekjen Departemen Perhubungan telah dicapai
kecocokan harga untuk Emerald Menurut laporan tim negosiasi yang
diketuai H. Mandagi ini, harga US$ 6,4 juta yang dicapai dapat
dianggap wajar.
Pihak penjual kabarnya pada Oktober 1979 masih memasang harga
$7,5 juta. Namun Januari 1980 mereka menaikkannya jadi $8,7
juta. Harga ini termasuk biaya konversi menjadi kapal penumpang.
Dana untuk pembelian kapal ini diperoleh dari Bank Dunia berupa
pinjaman sebesar $ 5,8 juta serta hibah (grant) dari pemerintah
Norwegia sebesar $ 2,5 juta yang digunakan untuk pembayaran uang
muka. April 1980, Bank Dunia, setelah meminta beberapa syarat
tambahan, kemudian menyetujui taksiran harga yang diajukan oleh
PT PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional). PT PANN adalah
perusahaan negara yang bertugas di bidang pengadaan kapal niaga,
yang juga ikut serta dalam tim pembelian. Waktu itu Direktur
Utamanya M. Hussein Umar, Direktur Utama Pelni sekarang, 23
Februari 1980, PT PANN sebagai pembeli dan Komodo Marine Company
SA sebagai penJual menan(latangani SUdtu Memoradum of Agreement
pembelian kapal Great Emerald (eks Emerald) seharga $ 8,3 juta.
NAMUN menurut pengecekan wartawan TEMPO di Tokyo I. Ketut
Surajaya, baru pada April 1980. Komodo Marine membeli kapal
Emerald ini, dan mengubah namanya menjadi Great Emerald -- yang
oleh Indonesia kemudian diganti menjadi Tampomas II. Yang belum
jelas ialah -- bila memang demikian -- mengapa perusahaan Panama
ini hampir 2 bulan sebelumnya telah mengadakan perjanjian jual
beli kapal, yang waktu itu belum dimilikinya, dengan pihak
Indonesia?
Pelayaran perdana Tampomas II dilakukan dari 2 Juni sampai
dengan 13 Juni 1980. Rute yang ditempuh ialah
Padang-Jakarta-Ujungpandang.
Tapi pelayaran perdananya, yang mengajak sejumlah wartawan dan
anggota DPR, tak lancar. Menurut seorang wartawan, enam kali
mesin kapal rusak.
Hingga setelah musibah pekan lalu itu terjadi, orang meragukan
kemampuan para teknisi Indonesia menanganinya. Masalahnya,
garansi teknis selama 3 bulan dari pihak penjual pada pihak
pembeli ternyata tidak dilaksanakan. Para teknisi Jepang hanya
sekali ikut pelayaran perdana Tampomas II.
Menurut Direktur Utama Pelni Hussein Umar, sebelum
mengoperasikan Tampomas II, Pelni telah mengirim beberapa tenaga
inti -- nakoda, mualim I dan kepala kamar mesin -- ke Jepang
untuk mengenal peralatan baru kapal itu. Tenaga inti ini
kemudian melatih tenaga lainnya menangani Tampomas II. Teknisi
Jepang hanya bersifat sementara -- dan memang cepat dikirim
pulang. "Kalau kita sudah bisa menangani sepenuhnya kapal itu,
buat apa lagi mereka ada di sini?" sahut J.E. Habibie.
Toh kapten pertama Tampomas II M. Martopranoto, pada waktu
pelayaran perdana kapal ini pernah mengakui, ia belum akan bisa
menguasai instrumen kapal tersebut dalam satu tahun, karena
Tampomas II memakai sistem komputer. Waktu tenggelam, kapal itu
belum lagi dinas setahun di Indonesia.
Yang tetap menjadi tanda tanya adalah: apa penyebab malapetaka?
Menteri Roesmin Nurjadin dalam penjelasannya pada pers di
Departemen Perhubungan pekan lalu, menyimpulkan tidak terjadi
hal yang abnormal di ruang mesin. Kelainan terjadi pada ruang
geladak mobil. Khususnya pada kendaraan roda dua yang terletak
di sebelah belakang. Karena guncangan gelombang yang cukup kuat,
mungkin timbul api. Api menyebar. Lalu putuslah tali-temali
pengikat mobil.
Kesembronoan memang umum terdapat. Bukan merupakan rahasia lagi,
banyak sekali peraturan yang terang-terangan dan secara sadar
dilanggar. Peralatan keamanan dan keselamatan di Tampomas II,
menurut perjanjian jual beli disesuaikan dengan ketentuan SOLAS
1960 (Konvensi Internasional tentang Safety of Life at Sea).
Dalam perjanjian tersebut dinyatakan (dalam klausul 35) bahwa
penjual akan mengubah atau menambah sistem deteksi api di
geladak penumpang, hingga tiap ada kebakaran bisa diketahui.
Namun ternyata Tampomas II tidak memiliki sistem deteksi asap.
"Akibatnya kami tidak mengetahui adanya api," cerita Wishardi
Hamzah, Masinis III Tampomas II yang lolos dari musibah pada
TEMPO.
Kebakaran itu mungkin juga karena keteledoran. Menurut
peraturan, kendaraan bermotor yang diangkut untuk keamanan
diharuskan mengosongkan tangki bensinnya. Di beberapa negara
malahan berlaku ketentuan yang lebih ketat termasuk mengosongkan
isi radiator serta melepas dan mengisolasi kabel aki.
Ketentuan ini rupanya tidak dilaksanakan di Indonesia.
"Bagaimana mungkin kami bisa mengecek mobil yang diangkut itu
satu per satu," kilah seorang pejabat tinggi Ditjen Perla.
Peranan syahbandar agaknya menjadi sangat penting di sini.
Sebuah kapal sebelum bisa keluar pelabuhan harus memenuhi
beberapa syarat. Antara lain memiliki sertifikat kesehatan dan
angkutan, dan kemudian melapor ke syahbandar. Melalui laporan
nakoda dan pengecekan pihak syahbandar, baru dikeluarkan Surat
Izin Berlayar (SIB). Dalam prakteknya, banyak syahbandar yang
tak melakukan pengecekan ini. Malah ada yang terang-terangan
melanggarnya (lihat Daerah).
Syahbandar memang bisa memberikan dispensasi, misalnya dalam
jumlah penumpang.
Belum lagi terhitung penumpang gelap. Jumlah mereka biasanya
besar karena banyak awak kapal yang mengizinkan penurnpang tanpa
karcis naik ke kapal -- untuk kemudian membayar ongkos di atas.
Uang ini masuk ke kantung sendiri. Menurut kesaksian beberapa
awak Tampomas II yang selamat, jumlah penumpang gelap yang ikut
dalam pelayaran terakhir itu ditaksir sekitar 300 orang
--meskipun pihak Pelni dan Perla menganggap taksiran itu terlalu
tinggi. "Saya rasa tidak sampai sebanyak itu," kata Hussein
Umar, yang nampaknya sadar bahwa adanya penumpang gelap
merupakan penyelewengan kecil yang tak bisa dielakkan.
Tapi tak semuanya tak terelakkan sebenarnya. Misalnya kelalaian
untuk mengadakan latihan keselamatan laut bagi seluruh
penumpang. Latihan itu praktis tidak pernah dilakukan.
Bagaimana pun, pada akhirnya musibah Tampomas II telah memberi
banyak pelajaran. Menteri Roesmin menyebut dua contoh. Pertama,
perlunya perbaikan dalam pengamanan barang-barang berbahaya yang
diangkut dalam kapal. Kedua, perlunya menghilangkan
ketidaktahuan awak dalam memakai peralatan yang ada.
Menteri Roesmin nampaknya benar, Bayangan bencana Tampomas II
telah membuat orang mulai berhati-hati. Nakoda Tampomas I RT
Syarif, misalnya, setelah musibah Tampomas II, hanya bersedia
mengangkut 1.700 penumpang. "Lebih dari itu terpaksa saya
tolak," ujarnya. Dulu penumpang dibiarkan bergelimpangan di
gang-gang. Malah sering terjadi ada penumpang yang seenaknya
memasak air dengan kompor di dek penumpang. 'Sekarang tiap 3
jam sekali saya turun ke geladak untuk mengontrol," ujar
Syarif.
Yang jadi pertanyaan: bila bencana Tampomas II telah lenyap di
dasar kenangan, masih akan berlanjutkah sikap berhati-hati?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo