Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anatomi kapal bekas

Pembelian kapal tampomas ii yang tenggelam dipertanyakan. dibeli dari komodo marine sebagai kapal bekas yang sudah dimodifikasi. tidak memenuhi syarat-syarat keamanan. (nas)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPOMAS II telah berada di dasar laut. Sederet jenasah telah dikubur. Namun masih banyak pertanyaan yang terapung-apung. Seperti terdengar dari DPR pekan lalu, pertanyaan itu misalnya: Mengapa Indonesia membeli "kapal bekas" yang tua? Tampomas II memang kapal bekas. Kapal berbobot 2.500 ton ini selesai dibangun Mei 1971 oleh perusahaan Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki, Jepang. Kapal ini kemudian dibeli oleh Arimura Sangyo, Okinawa. Perusahaan ini menggunakannya sebagai car-ferry (feri pengangkut mobil) dengan nama Central VI. Dengan nama Emerald, kapal berukuran panjang 128, 595 meter dan lebar 22 meter ini kemudian dijual pada Hayashi Marine, juga suatu perusahaan Jepang. Muncul kemudian Indonesia. Sejak 1967, pemerintah menyadari tambahnya kebutuhan sarana angkutan laut. "Bisa dikatakan 90% dari 232 kapal di Indonesia sudah 20 tahun usianya," ujar Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut J.E. Habibie. Langkah terbaik seharusnya membeli kapal penumpang baru. Tapi dana terbatas, padahal kebutuhan mendesak. Pemerintah pun kemudian memutuskan untuk membeli kapal penumpang bekas. November 1979, dibentuk suatu tim teknis dengan tugas membeli kapal yang mendekati persyaratan suatu kapal penumpang yang bisa mengangkut penumpang kelas dek. Panitia Pengarah (Steering Committee) Pengadaan Kapal Penumpang ini diketuai oleh J.E Habibie. Ada 6 kapal penumpang bekas yang akhirnya oleh tim dipertimbangkan penawarannya, antara lain Emerald, Argo, Regina dan Stella Scarlets. Tanggal 23 Februari 1980, tim teknis ini melapor pada Sekjen Departemen Perhubungan telah dicapai kecocokan harga untuk Emerald Menurut laporan tim negosiasi yang diketuai H. Mandagi ini, harga US$ 6,4 juta yang dicapai dapat dianggap wajar. Pihak penjual kabarnya pada Oktober 1979 masih memasang harga $7,5 juta. Namun Januari 1980 mereka menaikkannya jadi $8,7 juta. Harga ini termasuk biaya konversi menjadi kapal penumpang. Dana untuk pembelian kapal ini diperoleh dari Bank Dunia berupa pinjaman sebesar $ 5,8 juta serta hibah (grant) dari pemerintah Norwegia sebesar $ 2,5 juta yang digunakan untuk pembayaran uang muka. April 1980, Bank Dunia, setelah meminta beberapa syarat tambahan, kemudian menyetujui taksiran harga yang diajukan oleh PT PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional). PT PANN adalah perusahaan negara yang bertugas di bidang pengadaan kapal niaga, yang juga ikut serta dalam tim pembelian. Waktu itu Direktur Utamanya M. Hussein Umar, Direktur Utama Pelni sekarang, 23 Februari 1980, PT PANN sebagai pembeli dan Komodo Marine Company SA sebagai penJual menan(latangani SUdtu Memoradum of Agreement pembelian kapal Great Emerald (eks Emerald) seharga $ 8,3 juta. NAMUN menurut pengecekan wartawan TEMPO di Tokyo I. Ketut Surajaya, baru pada April 1980. Komodo Marine membeli kapal Emerald ini, dan mengubah namanya menjadi Great Emerald -- yang oleh Indonesia kemudian diganti menjadi Tampomas II. Yang belum jelas ialah -- bila memang demikian -- mengapa perusahaan Panama ini hampir 2 bulan sebelumnya telah mengadakan perjanjian jual beli kapal, yang waktu itu belum dimilikinya, dengan pihak Indonesia? Pelayaran perdana Tampomas II dilakukan dari 2 Juni sampai dengan 13 Juni 1980. Rute yang ditempuh ialah Padang-Jakarta-Ujungpandang. Tapi pelayaran perdananya, yang mengajak sejumlah wartawan dan anggota DPR, tak lancar. Menurut seorang wartawan, enam kali mesin kapal rusak. Hingga setelah musibah pekan lalu itu terjadi, orang meragukan kemampuan para teknisi Indonesia menanganinya. Masalahnya, garansi teknis selama 3 bulan dari pihak penjual pada pihak pembeli ternyata tidak dilaksanakan. Para teknisi Jepang hanya sekali ikut pelayaran perdana Tampomas II. Menurut Direktur Utama Pelni Hussein Umar, sebelum mengoperasikan Tampomas II, Pelni telah mengirim beberapa tenaga inti -- nakoda, mualim I dan kepala kamar mesin -- ke Jepang untuk mengenal peralatan baru kapal itu. Tenaga inti ini kemudian melatih tenaga lainnya menangani Tampomas II. Teknisi Jepang hanya bersifat sementara -- dan memang cepat dikirim pulang. "Kalau kita sudah bisa menangani sepenuhnya kapal itu, buat apa lagi mereka ada di sini?" sahut J.E. Habibie. Toh kapten pertama Tampomas II M. Martopranoto, pada waktu pelayaran perdana kapal ini pernah mengakui, ia belum akan bisa menguasai instrumen kapal tersebut dalam satu tahun, karena Tampomas II memakai sistem komputer. Waktu tenggelam, kapal itu belum lagi dinas setahun di Indonesia. Yang tetap menjadi tanda tanya adalah: apa penyebab malapetaka? Menteri Roesmin Nurjadin dalam penjelasannya pada pers di Departemen Perhubungan pekan lalu, menyimpulkan tidak terjadi hal yang abnormal di ruang mesin. Kelainan terjadi pada ruang geladak mobil. Khususnya pada kendaraan roda dua yang terletak di sebelah belakang. Karena guncangan gelombang yang cukup kuat, mungkin timbul api. Api menyebar. Lalu putuslah tali-temali pengikat mobil. Kesembronoan memang umum terdapat. Bukan merupakan rahasia lagi, banyak sekali peraturan yang terang-terangan dan secara sadar dilanggar. Peralatan keamanan dan keselamatan di Tampomas II, menurut perjanjian jual beli disesuaikan dengan ketentuan SOLAS 1960 (Konvensi Internasional tentang Safety of Life at Sea). Dalam perjanjian tersebut dinyatakan (dalam klausul 35) bahwa penjual akan mengubah atau menambah sistem deteksi api di geladak penumpang, hingga tiap ada kebakaran bisa diketahui. Namun ternyata Tampomas II tidak memiliki sistem deteksi asap. "Akibatnya kami tidak mengetahui adanya api," cerita Wishardi Hamzah, Masinis III Tampomas II yang lolos dari musibah pada TEMPO. Kebakaran itu mungkin juga karena keteledoran. Menurut peraturan, kendaraan bermotor yang diangkut untuk keamanan diharuskan mengosongkan tangki bensinnya. Di beberapa negara malahan berlaku ketentuan yang lebih ketat termasuk mengosongkan isi radiator serta melepas dan mengisolasi kabel aki. Ketentuan ini rupanya tidak dilaksanakan di Indonesia. "Bagaimana mungkin kami bisa mengecek mobil yang diangkut itu satu per satu," kilah seorang pejabat tinggi Ditjen Perla. Peranan syahbandar agaknya menjadi sangat penting di sini. Sebuah kapal sebelum bisa keluar pelabuhan harus memenuhi beberapa syarat. Antara lain memiliki sertifikat kesehatan dan angkutan, dan kemudian melapor ke syahbandar. Melalui laporan nakoda dan pengecekan pihak syahbandar, baru dikeluarkan Surat Izin Berlayar (SIB). Dalam prakteknya, banyak syahbandar yang tak melakukan pengecekan ini. Malah ada yang terang-terangan melanggarnya (lihat Daerah). Syahbandar memang bisa memberikan dispensasi, misalnya dalam jumlah penumpang. Belum lagi terhitung penumpang gelap. Jumlah mereka biasanya besar karena banyak awak kapal yang mengizinkan penurnpang tanpa karcis naik ke kapal -- untuk kemudian membayar ongkos di atas. Uang ini masuk ke kantung sendiri. Menurut kesaksian beberapa awak Tampomas II yang selamat, jumlah penumpang gelap yang ikut dalam pelayaran terakhir itu ditaksir sekitar 300 orang --meskipun pihak Pelni dan Perla menganggap taksiran itu terlalu tinggi. "Saya rasa tidak sampai sebanyak itu," kata Hussein Umar, yang nampaknya sadar bahwa adanya penumpang gelap merupakan penyelewengan kecil yang tak bisa dielakkan. Tapi tak semuanya tak terelakkan sebenarnya. Misalnya kelalaian untuk mengadakan latihan keselamatan laut bagi seluruh penumpang. Latihan itu praktis tidak pernah dilakukan. Bagaimana pun, pada akhirnya musibah Tampomas II telah memberi banyak pelajaran. Menteri Roesmin menyebut dua contoh. Pertama, perlunya perbaikan dalam pengamanan barang-barang berbahaya yang diangkut dalam kapal. Kedua, perlunya menghilangkan ketidaktahuan awak dalam memakai peralatan yang ada. Menteri Roesmin nampaknya benar, Bayangan bencana Tampomas II telah membuat orang mulai berhati-hati. Nakoda Tampomas I RT Syarif, misalnya, setelah musibah Tampomas II, hanya bersedia mengangkut 1.700 penumpang. "Lebih dari itu terpaksa saya tolak," ujarnya. Dulu penumpang dibiarkan bergelimpangan di gang-gang. Malah sering terjadi ada penumpang yang seenaknya memasak air dengan kompor di dek penumpang. 'Sekarang tiap 3 jam sekali saya turun ke geladak untuk mengontrol," ujar Syarif. Yang jadi pertanyaan: bila bencana Tampomas II telah lenyap di dasar kenangan, masih akan berlanjutkah sikap berhati-hati?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus