Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggaran negara yang dialokasikan pemerintah untuk membayar influencer atau pemengaruh dan buzzer atau pendengung sungguh besar.
Jumbonya anggaran untuk dua jenis pekerjaan itu terungkap dalam kajian Indonesia Corruption Watch yang hasilnya dipaparkan di Jakarta, kemarin.
ICW mencatat, dalam enam tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan Rp 90,4 miliar untuk pendengung.
JAKARTA – Anggaran negara yang dialokasikan pemerintah untuk membayar influencer atau pemengaruh dan buzzer alias pendengung sungguh besar. Jumbonya anggaran untuk dua pekerjaan itu terungkap dalam kajian Indonesia Corruption Watch, yang hasilnya dipaparkan di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICW menyebutkan kegiatan influencer dan buzzer ini bertujuan mempromosikan kebijakan dan program kerja. Persisnya, menurut ICW, kegiatan tersebut lebih sebagai upaya menggiring opini publik soal kebijakan dan program kerja pemerintah. ICW mencatat, dalam enam tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan Rp 90,4 miliar untuk pendengung. Nilai itu hanya sebagian kecil dari total anggaran pemerintah untuk aktivitas digital yang mencapai Rp 1,29 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti ICW, Egi Primayogha, menyatakan anggaran yang dikhususkan bagi para pendengung ada sejak 2014. Anggaran negara untuk para pemengaruh makin masif sejak 2017. “Hingga akhirnya meningkat pada tahun-tahun berikutnya,” kata Egi dalam pemaparan hasil kajian ICW di Jakarta, kemarin.
Temuan ini merupakan riset ICW di kanal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Egi mengumpulkan data itu menggunakan kata kunci influencer untuk mencari anggaran bagi pendengung dan key opinion leader untuk mencari pemengaruh atau artis. Hasilnya, mereka menemukan 133 paket pengadaan yang berhubungan dengan aktivitas digital. Sebanyak 40 paket di antaranya merupakan anggaran untuk membayar pendengung dan pemengaruh, yang nilainya mencapai Rp 90,45 miliar.
Egi menyebutkan pendengung dan pemengaruh kerap mempromosikan program kerja Presiden Joko Widodo selama enam tahun terakhir. Ia menemukan banyak paket penganggaran untuk para pendengung. “Tampak Jokowi tak percaya diri dengan program-programnya sehingga perlu menggelontorkan dana untuk influencer,” kata dia.
Ia melampirkan contoh alokasi anggaran untuk pendengung dan pemengaruh. Salah satunya adalah anggaran sosialisasi Penerimaan Peserta Didik Baru pada 2019 yang menggandeng dua artis. Keduanya dibayar Rp 117,4 juta. Egi juga menemukan beberapa paket anggaran berupa branding pariwisata.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah, mengatakan penelitian ini memang dilakukan setelah ramai pemberitaan ihwal puluhan artis yang dibayar untuk mengkampanyekan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. “Yang kami tangkap ini hanya gunung es dari fenomena pemerintah membayar influencer dan pendengung,” tutur Wana.
Ia tidak memiliki bukti apakah artis-artis yang mendukung RUU Cipta Kerja tersebut dibayar melalui anggaran pemerintah. Hanya, ia menemukan adanya kecenderungan bahwa pembayaran pemengaruh itu diduga kuat dilakukan oleh pemerintah. Menurut dia, ada kemungkinan penganggaran itu dimasukkan ke beberapa istilah anggaran yang tidak tertangkap oleh hasil penelitian ICW.
Staf Khusus Kantor Staf Presiden, Albert Nego Tarigan, belum bersedia menjawab ketika diminta konfirmasi ihwal anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk pendengung dan pemengaruh itu. Sebelumnya, dia membantah bahwa pemerintah membayar artis untuk mendukung RUU Cipta Kerja. “Mungkin (silahkan) ditelusuri dari influencer-nya saja,” ucap Nego.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, juga menduga pemerintah terlibat dalam praktik pembayaran pendengung dan influencer untuk mengkampanyekan RUU Cipta Kerja. Jika tidak, pemerintah seharusnya telah membuktikan bahwa mereka tidak terlibat dalam skandal ini. “Siapa pun itu, apalagi institusi negara, yang memakai buzzer, dia sedang memanipulasi publik,” tutur Asfin.
Menurut dia, mengkampanyekan RUU Cipta Kerja adalah skandal, mengingat kebijakan ini bakal mengikat semua orang di Indonesia. Artinya, perlu partisipasi publik untuk mengkritik dan mengevaluasi rancangan undang-undang sapu jagat ini secara terbuka. Hanya, hal itu tidak terjadi. Justru, kata dia, aturan ini dikampanyekan puluhan artis karena dibayar.
Asfinawati khawatir kampanye bayaran tersebut bakal berdampak serius pada produk undang-undang yang dihasilkan parlemen nantinya. Artinya, pasal-pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja berpotensi lolos jika publik mendapat informasi palsu mengenai imbas undang-undang ini. “Kami ingin tahu kepentingan siapa yang dia suarakan untuk mendukung RUU Cipta Kerja itu?”
AVIT HIDAYAT | EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo