Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Fraksi Komisi Kesehatan DPR RI Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah mengecek dugaan ketidakakuratan alat uji cepat merek Biozek. Hal ini penting untuk memastikan agar pelayanan kepada masyarakat berjalan dengan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Jika akurasi tesnya bermasalah, tentu itu bisa mendatangkan masalah. Orang yang mestinya positif, setelah dites malah disebut negatif. Orang ini dikhawatirkan akan menyebarkan ke orang lain. Ini lebih mengkhawatirkan karena ada banyak orang tanpa gejala yang dinyatakan positif," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 12 Mei 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Politikus Partai Amanat Nasional itu berujar pemerintah harus memantau dan mengecek alat uji cepat yang sudah tersebar ke seluruh Indonesia itu. Dengan begitu, ia berharap tes-tes yang dilakukan benar-benar mendapatkan hasil yang sesungguhnya.
“Pengecekan dimaksudkan untuk dua tujuan. Pertama, untuk memastikan bahwa rapid test biozek memiliki akurasi yang benar. Kedua, memastikan bahwa tidak ada persaingan dagang di dalam isu ini. Hal ini sangat penting untuk mendudukkan persoalan secara adil," ucap dia.
Seiring dengan itu, ia meminta pemerintah tetap melakukan pengetesan lebih masif dengan menggunakan metode lain. Metode PCR dan swab dinilai memiliki tingkat akurasi yang dipercaya. "Walau agak sedikit mahal, tetapi tentu akan lebih menenangkan dan meyakinkan," ujar Saleh.
Hasil investigasi Tempo bersama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menemukan alat uji cepat itu tingkat akurasinya diragukan. Selain itu, alat yang didatangkan Kimia Farma itu diduga diproduksi di Cina oleh Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd dan hanya dikemas ulang dengan merek Biozek oleh Inzek International Trading BV di Apeldoorn, Gelderland, Belanda.
AllTest, juga Inzek, mengklaim alat uji cepat tersebut memiliki akurasi hingga 92,9 persen untuk mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan 98,6 persen untuk mendeteksi immunoglobulin G (IgG).
Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian Profesor Sir John Bell dari Oxford University menunjukkan tingkat akurasi peralatan uji cepat itu jauh lebih rendah. Buntut dari penelitian ini, Inggris membatalkan pembelian jutaan alat tes asal Cina tersebut.