ISLAM Jamaah (IJ) pada 1971 dilarang Jaksa Agung -- waktu itu Soegih Arto. Tapi sejak 1972 bekas pengikutnya ditampung di Lemkari. Hingga tahun ini keadaan mereka jadi lain lagi: ada badai mengguncang organisasi itu. Di Padang, misalnya, Ketua MUI Drs. Aguslir Noer mengimbau Jaksa Tinggi Sum-Bar agar melarang Lemkari dan Jam'iyyatul Islam, miyah pimpinan Hai Karim Djamak. "Gelombang protes sesatnya kedua ajaran itu datang dari berbagai penjuru," kata Aguslir, 59 tahun. "Sewaktu dipanggil berdialog, pengakuan mereka memang lurus, tapi dalam prakteknya menyimpang." Kini di Sum-Bar ada 17 ajaran "sesat" yang dilarang. Tapi Lemkari dan JI yang dipimpin Djamak terus diamati. Aguslir mengaku belum melihat sendiri ajaran yang dituduh "sesat" itu. Ia cuma tahu dari berbagai surat protes, bahkan tak pernah menerima kesaksian orang yang menyaksikannya. Lalu semua protes dipercaya? Itu yang sekarang bikin pusing Kepala Jaksa Tinggi Harhanto Josohadidjojo. "Tudingan itu bertolak dari surat protes saja," katanya. "Namun, tak mungkin ada asap kalau tidak ada apinya." Pada 24 November ini, Pakem (Pengawas Aliran-Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat) Kejati Sum-Bar akan mengadakan rapat. "Karena ini soal agama, kami harus berhati-hati," tambah alumnus FH Unpad itu pada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Di Aceh, menurut Badrulzaman, Sekretaris Kanwil Departemen Agama, semua aliran "sesat" itu sudah disapu. Sejak 1984 ada 12 aliran, termasuk ajaran Bantaqiyah, disikat. Dan rata-rata di tiap provinsi memang selalu ada yang dilarang. Misalnya di Sum-Ut, Sidang Jemaat Kristus yang dikembangkan Raja Dame Jona Sihotang dilarang pada 1980. Di Ja-Bar, Aliran Kepribadian pada 1979 diberangus. Sekarang aliran kepercayaan yang boleh hidup ada 63 buah. Yang dilarang 123 jenis, berikut ajaran Ahmadiyah di Bandung dan sekitarnya, 1983. Bagaimana melakukan pengawasan terhadap kelompok itu "Mudah," kata Drs Amir, Sekretaris Pakem-Kejati Ja-Bar pada Sigit Haryoto dari TEMPO. "Walau ganti-ganti nama, mereka tak mengubah-ubah ajaran pokoknya. Tapi dengan adanya MUI dan Pakem di tingkat desa, maka tidak sulit mengawasinya" Di Ja-Teng, Agomo Jowo Sanyoto pimpinan Ki Kere Klaten, 1983, dilarang. Menyusul 1981, Agama Islam Alim Adil dan buku Riwayatul Muhimmah karangan K.H. Ahmad Rivai. Yang lain, buku Azan Panggilan dari Menara Masjid karangan Dr. Kennet Cragg (1978), brosur Nabi Isa Cinta Masjid dan Gereja (1980), Allah Menyatakan Sifatnya Kepada Mezbach Awam (1984). Jaksa Agung pada 31 Juli dan 7 Desember 1976 melarang Aliran Kepercayaan Manunggal dan Ajaran Siswa Al-Kitab/Saksi Yehova. Pada 30 September 1983 Aliran Inkar Sunnah yang dikembangkan Abdurrahman juga dibredel Jaksa Agung. Kemudian, pada 12 Maret 1984 ajaran Children of God turut disapu. Yang agak repot di DKI Jaya. Menurut H. Fachruddin Saleh, Sekretaris Umum MUI DKI, aliran Isa Bugis, yang dilarang pada 197O-an, sampai sekarang masih bergerak secara diam-diam. Aliran ini menerjemahkan Quran seenaknya saja. Dalam Musyawarah Nasional II, 1980, MUI telah memvonis Ahmadiyah sebagai jemaah di luar Islam. "Pengikut Islam Jamaah dan Ahmadiyah adalah orang-orang yang mau kacau," kata Dr. Peunoh Dali dari Komisi Fatwa MUI Pusat. Menurut dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta itu, dalam ajaran agama sebenarnya tak ada gerakan-gerakan. Namun, IJ dan Ahmadiyah rupanya menginginkan "gerakan lebih". Pengikut IJ dan Inkar Sunnah, ujar Dali, adalah muslim juga. Cuma, jalan yang mereka tempuh bengkok-bengkok. Dan itu perlu diluruskan. Untuk itulah organisasi seperti Lemkari dibutuhkan guna meluruskan mereka. "Tapi nampaknya mereka cuma ganti baju saja, sedangkan isinya tetap," kata Dali pada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Kalau sudah begini, diajak untuk kebaikan masih juga menolak, maka tak ada jalan lain. Daripada merusakkan, ajaran mereka harus diberantas. Menurut Ketua Umum Majelis Dakwah (MDI) Golkar, K.H. Thohir Widjaja, pada Agung Firmansyah dari TEMPO, Lemkari itu dibentuk sebagai organisasi untuk meluruskan eks anggota IJ, yang sebelum dilarang banyak membuat keributan. Tapi jika sekarang ada data otentik yang membuktikan aktivitas negatif mereka, kata Thohir, jelas mereka harus ditindak dan organisasinya dibubarkan. "Dan jika moyangnya dilarang, kenapa cucunya sidak," kata Supriadi, Asisten Umum dan Kepala Humas Kejaksaan Agung. Itu, maksudnya, bila IJ sebagai "moyang" sudah dilarang, kenapa aliran lain atau cucunya yang seajaran dibiarkan? Syaratnya harus ada bukti bahwa Lemkari itu menjalankan ajaran IJ. Lain dengan Drs. Shodiq, Kepala Bagian Humas Departemen Agama. Ia melihat bahwa apa yang dilakukan Lemkari, seperti di Jawa Timur yang sedang dihebohkan MUI itu, hanya melegalisasi dan tak mampu membina. "Padahal, Lemkari itu tujuannya membina. Sedangkan Pengurus Lemkari Pusat sudah berupaya menyadarkan mereka," katanya. Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri, Harisoegiman, Jumat pekan ini akan mengadakan pertemuan dengan Dewan Direktorium Lemkari. "Kita belum bisa mengambil langkah-langkah kongkret sebelum mendengar langsung dan sumbernya," kata ayah dua anak itu. Untuk itu, ia juga akan meminta pendapat MUI, Departeman Agama, dan departemen lain yang terkait. Katanya, "Kita harus minta bukti hitam di atas putih." Pihak Lemkari sendiri sudah siap. "Kalau pemerintah akhirnya membubarkan Lemkari, ya tidak apa-apa. Kita pasrah," ucap Sjamsuddin Zahar, Sekjen Lemkari. Lemkari adalah organisasi sosial keagamaan dan tidak mengharuskan anggotanya berpikiran seragam. Karena itu, meski dilarang, "kami akan melanjutkan misi organisasi, yakni berdakwah, apakah secara perorangan atau kelompok." Dr. Kuntowijoyo, dosen sejarah di Fakultas Sastra UGM, mengatakan pada Heddy Lugito dari TEMPO, pelarangan terhadap aliran-aliran agama yang dianggap meresahkan masyarakat harus diberlakukan secara tegas. Kalau tidak, pelarangan itu tidak efektif. Apalagi mereka mendapat angin untuk hidup secara eksklusif. Barangkali perkembangan IJ akan lain jika dibiarkan saja. Kalaupun IJ terus dibiarkan, barangkali sudah kembali ke mainstream-nya. "Atau kalau terus hidup, tapi fanatisme dan radikalismenya hilang," kata Kuntowijoyo. Munculnya aliran-aliran sempalan itu,' ujarnya lagi, disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, tipisnya keimanan seseorang dan ketidaktahuan tentang ajaran agama yang benar. Pengikut itu biasanya karena mereka tidak punya pengetahuan secara mendalam tentang ajaran agama. Akibatnya, terjadilah keguncangan jiwa. Munculnya ajaran sempalan juga berkait dengan proses berkembangnya masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang berkembang, selalu timbul dislokasi sosial. Dislokasi sosial itu timbul karena perubahan yang baru dalam masyarakat itu sendiri. Misalnya, tiba-tiba orang yang semula kaya menjadi miskin, atau yang miskin mendadak kaya. "Hal ini bisa saja mengakibatkan mereka kehilangan pegangan dan pijakan," kata Kuntowijoyo. Kelompok sosial yang baru muncul itu kemudian berusaha mencari sebuah otoritas baru. Karena dalam diri mereka timbul anggapan bahwa otoritas yang lama sudah tak dapat dipercayai lagi. Dan kebanyakan pengikut aliran baru itu berasal dari kelompok pemeluk agama marginal. Jalaluddin Rakhmat, dosen ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan mereka yang tertarik pada sempalan, karena dasar utama dari kelompok ini adalah kecenderungan memberontak dari konvensi sosial yang ada. Mereka merasa agama yang konvensional itu tak lagi memberi kepuasan hidup. Mengapa? "Persoalan hidup itu kompleks, dan agama yang kovensional memberi jawaban yang kompleks juga, sehingga mereka bingung. Mereka ingin jawaban yang sederhana," kata Jalal pada Hedy Susanto dari TEMPO. Ketika orang bingung memecahkan persoalan kepemimpinan, mereka tampil dengan konsep imamah. "Jadi, mudah saja, kata mereka, yaitu dengan bai'at dan Anda punya pemimpin," tambah Jalal, bersemangat. Maka, pemimpin bagi mereka adalah tempat untuk melarikan diri dari persoalan-persoalan hidup yang ruwet. Mereka lalu merasa teguh karena merasa ada "imam". Dr. Taufik Abdullah, peneliti dari LIPI, melihat bahwa setiap agama itu punya doktrin asli, baku, atau ortodoksi. Sedangkan soal benar atau salah, itu payah menentukannya. Tapi yang pasti: ortodoksi itu sangat tergantung konsensus mayoritas. Jadi, kalau ada yang keluar dari ukuran baku itu, maka mereka disebut sempalan. Secara umum, suatu aliran disebut sempalan, menurut Taufik, bila ajaran itu dianggap telah menyimpang dari ortodoksi, mayoritas, serta mengganggu sistem nilai dan kekuasaan. Pada umumnya sempalan akan menjadi masalah kalau menimbulkan perbedaan dengan mayoritas. Contohnya, Sekh Siti Jenar yang dikucilkan oleh Wali Songo. Para Wali itu tidak lagi memperbincangkan benar tidaknya ajaran Siti Jenar, tapi karena dianggap telah mengganggu sistem nilai dan kekuasaan, sehingga masjid-masjid jadi kosong, maka ajaran Sekh Siti Jenar menjadi sempalan. "Karena sudah meresahkan masyarakat dan kekuasaan," kata Taufik pada wartawan TEMPO Muchsin Lubis. Salah satu yang dapat menimbulkan masalah di tengah kaum sempalan, karena mereka itu selalu bersikap eksklusif, sehingga memancing reaksi. Sedangkan eksklusif itu dalam Islam dianggap jelek. Misalnya IJ tadi. Taufik Abdullah sendiri pernah mengalami suatu pengalaman tak enak. Ketika dia mau berjabatan tangan dengan seorang anggota IJ, dalam suatu pesta perkawinan, tangan Taufik tidak diterimanya. Sikap eksklusif itu, katanya, anggapan diri lebih baik dari orang lain. "Ini 'kan membuat orang tersinggung," ujarnya lagi. Agama itu sangat menganjurkan toleran. Tapi ada satu hal, agama bisa tidak toleran bila sudah menyangkut akidah. Kalau akidah sudah terancam, toleransi akan menjadi masalah. Tapi Taufik tidak punya pandangan pribadi tentang perlu tidaknya pelarangan terhadap kaum sempalan itu. "Itu tergantung sikap pemerintah sendiri, apakah sempalan itu meresahkan atau tidak," katanya. Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogya, Dr. Simuh, mengatakan bahwa IJ itu tidak bisa dilarang. Sebenarnya, Islamnya itu baik dan tidak menyimpang, hanya mereka membentuk kelompoknya sendiri, melakukan aktivitas hanya dengan kelompoknya saja dan merasa kelompoknya pula yang paling benar. "Yang penting," katanya pada Siti Nurbaiti dari TEMPO, "bukan membubarkan atau melarang kelompok itu, tetapi membuka pikiran agar mereka tidak berpikiran sempit, merasa hanya mereka yang benar." Jika aliran ini dilarang, tambah Simuh lagi, mereka akan ganti nama. Contohnya sudah ada. "Sekarang disebut Lemkari, tetapi orang-orangnya tetap juga mereka," katanya. Simuh sekitar lima tahun lalu, di Solo, pernah meneliti IJ. "Mereka baik-baik, bagus-bagus. Pengajian yang mereka lakukan juga baik dan jemaahnya bahkan taat-taat. Hanya, Islam Jamaah itu menerjemahkan Quran dan hadis menurut penafsiran sendiri," ujar Simuh. Misalnya, katanya lagi, salat Jumat yang dilakukan IJ itu khotbahnya tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pada itu, Ketua Korps Mubalig Kemayoran, Drs. Soemary Muslih, yang sekitar 1970-an gigih mencari fakta mengenai IJ untuk diberikan kepada Kejakaan Agung, mengatakan, aliran sempalan dalam Islam itu tidak perlu dilarang. "Itu tidak mungkin," ucapnya. Yang penting bagaimana mengajar umat Islam agar lebih dewasa, terutama dalam berpikir. "Jadi, kita boleh sepakat untuk tidak sependapat," katanya. Cuma, kalau sudah membahayakan, pelarangan itu perlu. Namun, bila masyarakat sendiri memang dewasa, mereka tak akan menelan mentah-mentah ajaran siapa pun. Dengan demikian, kata Soemary, ia tidak khawatir. "Sebab, barang yang palsu itu tetap akan ketahuan nanti. Mana Islam yang benar dan mana yang salah, itu pasti akan tersaring." ZMP, AT, dan TBS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini