Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Arus Pelangi: 1.850 Korban Persekusi dari 2006, Diperburuk RKUHP

RKUHP berpotensi membuat celah lebih besar untuk persekusi, terutama bagi LGBT.

24 September 2019 | 08.01 WIB

Pendukung LGBT dan HAM menganakan kacamata pelangi dalam unjuk rasa mendukung proposal untuk mengijinkan pernikahan sesama jenis di Taipei, Taiwan, 10 Desember 2016. AP/Chiang Ying-ying
Perbesar
Pendukung LGBT dan HAM menganakan kacamata pelangi dalam unjuk rasa mendukung proposal untuk mengijinkan pernikahan sesama jenis di Taipei, Taiwan, 10 Desember 2016. AP/Chiang Ying-ying

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Arus Pelangi mengumumkan Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia pada hari ini, Selasa 24 September 2019. Arus Pelangi sebagai organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak-hak orang LGBTI mencatat ada 1.850 korban persekusi yang terjadi sejak 2006 sampai 2018 atau selama 12 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Para korban persekusi itu menjadi bagian dari 172 peristiwa, terutama ujaran yang mengarah pada kebencian terhadap Lesbi, Gay, Biseksual, Transeksual, dan Interseksual atau LGBTI. "Patut diduga penyebab diskriminasi yang meluas dan sistemik tersebut disebabkan masifnya ujaran kebencian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, aparat penegak hukum, eksekutif, dan legislatif," kata Riska Carolina, peneliti dan penulis Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia kepada Tempo, Senin 23 September 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terkait dengan masifnya diskriminasi terhadap LGBTI, Riska mengatakan, rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP berpotensi membuat celah lebih besar untuk persekusi. Buktinya, pada pasal pencabulan sesuai draft versi 15 September 2019 menyebutkan pencabulan yang dilakukan dengan kekerasan/ancaman kekerasan, di depan umum, maupun pornografi oleh sesama jenis dipidana sampai dengan 9 tahun penjara.

Pasal yang mengatur tentang pencabulan ini, Riska melanjutkan, menunjukkan negara secara langsung menstigmatisasi LGBTI sebagai orang cabul dan pantas untuk dipidana. "Terlebih pasal pencabulan ini merupakan delik biasa yang dapat diadukan oleh siapapun," kata Riska. "Penyebutan secara spesifik 'sama jenisnya' merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksual dan identitas gendernya."

Selain itu, keterkaitan pasal pencabulan sesama jenis dengan pasal living law di RKUHP akan memperparah diskriminasi terhadap LGBTI secara sistemik. Pasal living law dalam RKUHP membuka keran dibuatnya peraturan daerah, terutama perda diskriminatif terhadap LGBTI. Mengutip data Komnas Perempuan, sampai dengan 2017 terdapat sebanyak 421 perda diskriminatif.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus