Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Markas Besar Kepolisian RI saat ini menghadapi berbagai persoalan internal.
Menurut Kompolnas, penyebab utama berbagai kejahatan ini diduga adalah gaya hidup mewah pejabat Polri.
Perdagangan narkoba hasil sitaan barang bukti seakan-akan menjadi modus lama.
JAKARTA – Penangkapan Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa yang diduga sebagai dalang perdagangan narkoba barang bukti sitaan menambah panjang potret bobroknya Korps Bhayangkara. Markas Besar Kepolisian RI saat ini menghadapi persoalan pembunuhan yang menyeret mantan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, kabar konsorsium kasus perjudian 303, dan pada awal bulan ini kasus kekerasan tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Albertus Wahyurudhanto, menyatakan bahwa kasus narkoba yang menyeret Teddy Minahasa menambah panjang daftar persoalan di institusi kepolisian. Berbagai kasus keterlibatan polisi dalam kejahatan narkoba tidak terlepas dari kesalahan sistem internal kepolisian yang harus diperbaiki. “Makanya pelaku di hulu harus ditangkap, kemudian diperbaiki sistemnya. Penyebab utama berbagai kejahatan ini adalah gaya hidup mewah pejabat Polri,” ujar Wahyu kepada Tempo, Senin 17 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irjen Teddy Minahasa. Dok. Polri
Menurut Wahyu, segala persoalan yang membelit kepolisian akhir-akhir ini merupakan tampias dari gaya hidup anggotanya yang berlebihan. Para pejabat kepolisian disinyalir bergaya hidup mewah, sehingga membutuhkan penghasilan lebih besar ketimbang gaji yang diterima. Imbasnya, mereka akan melakukan segala cara, termasuk diduga memperdagangkan sabu-sabu yang menjadi barang bukti sitaan dan seharusnya dimusnahkan.
Teddy Minahasa sebelumnya sempat ditunjuk oleh Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menjadi Kapolda Jawa Timur. Dia semestinya menggantikan Inspektur Jenderal Nico Afinta, yang diduga terseret perkara kekerasan polisi dalam tragedi tewasnya 132 orang di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu. Belakangan, Kapolda Sumatera Barat itu batal dilantik sebagai Kapolda Jawa Timur karena terjerat skandal narkoba.
Pengungkapan keterlibatan Teddy dalam kasus narkoba merupakan pengembangan kasus yang ditangani Polres Metro Jakarta Pusat dan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Hasil pengembangan itu ditindaklanjuti oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dengan menangkap Teddy pada Kamis lalu. Teddy dijerat dengan pelanggaran kode etik dan tindak pidana perdagangan narkoba.
Polres Metro Jakarta Pusat awalnya menangkap dua pengguna sabu-sabu bernama Hendra dan Mas, yang merupakan pacar Hendra. Polisi menyita sabu seberat 44 gram. Polisi mengembangkan penyelidikan ke bandar yang diduga beberapa polisi, termasuk Ajun Inspektur Dua Achmad Darrmawan, Kepala Polsek Kalibaru, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Para polisi itu diduga dipasok dari jaringan yang dipimpin Teddy Minahasa dan Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara, mantan Kepala Polres Bukittinggi, Sumatera Barat.
Dari data kepolisian yang pernah dirilis media, pada 2018, polisi yang diduga terseret kasus narkoba mencapai 297 orang. Jumlah tersebut naik sekitar dua kali lipat pada 2019 menjadi 515 orang. Pada 2020, sebanyak 113 polisi dipecat, yang sebagian besar diduga terseret kasus narkoba.
Wahyu mendesak Markas Besar Polri bertanggung jawab dengan cara mengusut tuntas jejaring Teddy. Menurut dia, polisi bertanggung jawab membongkar jaringan bisnis haram perdagangan narkoba yang diduga dikendalikan anggota kepolisian. “Karena bicara narkoba enggak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada jaringannya,” ujar Wahyu.
Modus Lama Aparat
Pendiri Lokataru, Haris Azhar, menyebutkan kasus penyalahgunaan narkoba yang menyeret Teddy sudah jamak dilakukan oleh penegak hukum. Menurut pegiat hak asasi ini, perdagangan narkoba hasil sitaan barang bukti menjadi modus sejak dulu. “Ini peluang kejahatan yang diduga dilakukan penegak hukum sejak dulu dan terus berulang," kata Haris.
Pernyataan Haris itu berbekal pengalamannya ketika mendapat pengakuan dari terpidana mati gembong narkoba Freddy Budiman. Sebelum dieksekusi pada 2016, Freddy sempat bercerita kepada Haris ihwal keterlibatan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Markas Besar Kepolisian sebagai beking bisnis narkoba. Freddy selalu meminta izin kedua lembaga itu ketika hendak menyelundupkan narkoba ke Indonesia.
Terpidana mati Freddy Budiman berbincang dengan polisi saat penggerebekan laboratorium narkoba di Ruko Taman Palem, Jakarta, 14 April 2015. Dok. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Menurut Haris, Freddy harus membagikan uang puluhan miliar rupiah ke beberapa pejabat tinggi di masing-masing lembaga penegak hukum. Karena dekat dengan petinggi polisi, Freddy bahkan difasilitasi mobil TNI milik jenderal bintang dua dari Medan menuju Jakarta untuk membawa narkoba. Sang jenderal duduk di samping Freddy yang sedang mengangkut narkoba di bagian belakang. “Perjalanan saya aman tanpa gangguan apa pun,” kata Haris, menirukan pernyataan Freddy.
Cerita ini sempat dibantah oleh Markas Besar Kepolisian dan BNN. Polisi bahkan sempat berupaya memeriksa Haris Azhar, tapi belakangan kasusnya menguap. Kepolisian tak pernah menyelidiki sejumlah jenderal yang ditengarai terlibat dalam skandal bisnis narkoba. Justru Haris dilaporkan oleh TNI, Markas Besar Kepolisian, dan BNN atas tuduhan pencemaran nama.
Kasus narkoba yang membelit jenderal kepolisian juga sempat mencuat ketika dokumen Konsorsium 303 beredar di media sosial. Konsorsium 303 disinyalir merujuk pada bisnis haram yang dipimpin oleh Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, dalang pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. “Di dalam Konsorsium 303 terdapat bisnis beking perjudian, narkoba, dan beberapa sektor lain, termasuk beking bisnis korporasi dalam tambang ilegal,” ucap Rony Saputra, dosen hukum pidana Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.
Menurut dia, praktik lancung tersebut diduga jamak dilakukan kepolisian, bahkan realitas yang menjadi pengetahuan umum publik. Persoalannya, bisnis haram yang menyeret perwira polisi ini tak tersentuh penegakan hukum. Karena itu, ia mendorong Presiden Joko Widodo membentuk tim independen bersama Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang bertugas untuk membongkar kebobrokan di lingkup internal kepolisian.
Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (tengah) dalam ungkap kasus narkotik yang melibatkan anggota kepolisian sebagai tersangka kasus dugaan peredaran sabu-sabu, di Jakarta, 14 Oktober 2022. EMPO/ Febri Angga Palguna
Pembentukan tim independen ini merupakan upaya membersihkan institusi kepolisian dari perilaku lancung pejabat tinggi. Apalagi Presiden Joko Widodo dalam kepemimpinannya pernah memiliki gagasan revolusi mental. “Mental kepolisian harus diperbaiki, harus kembali sebagai pengaman dan pengayom masyarakat.”
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengatakan terdapat dua model penyalahgunaan kekuasaan dalam pengungkapan kasus narkoba oleh kepolisian. Pertama yakni munculnya istilah “potong tukar kepala” atau “operasi petik”, yang berarti polisi mengetahui daftar bandar narkoba tapi tidak berupaya mengungkap. “Tetapi dia bekerja sama dengan bandar narkoba untuk menangkap penyalahgunaan narkoba yang sedang disasar,” kata dia.
Modus kedua yakni penggelapan barang bukti narkoba ketika disita polisi. Umumnya, polisi bakal menyortir atau mengurangi barang bukti narkoba. Setelahnya, narkoba diperdagangkan kembali oleh kepolisian. Proses perdagangan bakal dilakukan melalui kaki tangan para pengedar narkoba.
Adapun Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, belum menjawab ketika dimintai komentar dan konfirmasi ihwal upaya lembaganya melakukan pembersihan terhadap praktik lancung, terutama dalam kasus Teddy Minahasa.
Rencananya, polisi memeriksa Teddy pada Senin ini. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Nurul Azizah, menyebutkan polisi menunda pemeriksaan Teddy karena sakit. "Rencananya, pada hari ini juga dilaksanakan pemeriksaan terhadap IJPTM (Inspektur Jenderal Teddy Minahasa) perihal dugaan pelanggaran kode etik. Akan tetapi, yang bersangkutan kurang sehat, maka diminta agar memeriksakan diri ke dokter,” kata Nurul. Meski begitu, dia tetap memeriksa lima saksi yang diduga mengetahui praktik lancung yang dilakukan Teddy.
Nurul belum mengungkap hasil dari pemeriksaan etik terhadap lima orang tersebut. Ia juga tidak menyebutkan nama kelima orang itu. Perihal pemeriksaan Teddy Minahasa di Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan perdagangan narkoba, Nurul juga mengungkapkan bahwa kondisi Teddy masih sakit. Sehingga pemeriksaan itu pun urung terlaksana. "Otomatis pemeriksaan di Polda Metro Jaya belum juga terlaksana," ujarnya.
AVIT HIDAYAT | HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL | MUHSIN SABILLAH | ADYA NURUL (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo