Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bersiap Menolak Sebelum Disahkan

Ancaman aksi turun ke jalan bakal digelar untuk menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Koalisi masyarakat sipil menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi setelah rancangan itu jadi disahkan.

26 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagi YLBHI, penerapan pasal-pasal dalam RKUHP bak pasal karet dan rentan disalahgunakan.

  • Pembahasan RKUHP telah disepakati di tingkat I oleh Komisi Hukum DPR dan pemerintah pada Kamis, 24 November 2022.

  • Pemerintah dan parlemen dinilai tak melibatkan akademikus dan masyarakat sipil dalam menyusun draf RKUHP.

JAKARTA — Sejumlah organisasi masyarakat sipil bersiap menggelar aksi turun ke jalan untuk menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Organisasi sipil yang tergabung dalam beberapa aliansi ini juga menyiapkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi setelah rancangan itu jadi disahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, sejumlah organisasi sipil, kemarin, 25 November 2022, merundingkan sikap penolakan menghadapi rencana pengesahan RKUHP. “Kami telah membahas dengan teman-teman dan melihat perkembangan penerapan pasal-pasal dalam RKHUP yang semakin memburuk,” kata Isnur, saat dihubungi pada Jumat, 25 November 2022. Organisasi sipil yang terlibat dalam pembahasan dan bersiap menolak RKUHP itu terdiri atas Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Berekspresi, dan koalisi lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isnur mencontohkan munculnya ketentuan pelarangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Hal itu tertuang pada Pasal 188 dan berisi enam ayat. Ayat pertama saja, misalnya, disebutkan: setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Bagi YLBHI, penerapan pasal-pasal tersebut bak pasal karet dan rentan disalahgunakan. Terlebih setelah munculnya sejumlah kasus yang sudah ada. Menurut dia, para penegak hukum kerap menggunakan pasal ini untuk mengekang kebebasan berpikir dan berpendapat. “Pasal ini jelas antidemokrasi dan menjadi alat pembungkaman. Melihat perkembangan kasus-kasus yang ada, ini nanti, ya, menjadi semakin berbahaya,” ujar Isnur.

Pemerintah dan parlemen menuntaskan pembahasan RKUHP dengan mencoba mengakomodasi pembahasan pasal-pasal bermasalah. Mereka merumuskan ulang 23 poin pasal yang dinilai kontroversial. Di antaranya penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden, juga penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pasal-pasal yang dianggap bermasalah juga mencakup pemberlakuan pidana mati, pelarangan ajaran komunisme, dan kohabitasi atau pasangan yang tinggal dalam satu atap tanpa ikatan perkawinan.

Pembahasan RKUHP telah disepakati di tingkat I oleh Komisi Hukum DPR dan pemerintah pada Kamis, 24 November 2022. Keputusan ini diambil setelah DPR Komisi Hukum dan pemerintah membahas 23 poin rangkuman dari daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan fraksi kepada pemerintah.

Aliansi Reformasi KUHP mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 14 November 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Dari sembilan fraksi, tujuh fraksi menyetujui draf final RKUHP dibawa ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna. Mereka adalah Fraksi Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Adapun dua fraksi lainnya menyetujui dengan catatan, yakni Fraksi PDIP dan PKS.

YLBHI menilai, dengan temuan pasal yang dianggap bermasalah itu, mereka  mengkoordinasi gerakan koalisi masyarakat sipil dan merumuskan rencana menolak agenda pengesahan RKUHP. “Rencananya aksi turun jalan, tapi belum pasti. Kami sedang menggodok dan nanti disampaikan persiapannya,” ucap Isnur. Koalisi masyarakat sipil juga menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi jika undang-undang ini disahkan.

Temuan DIM Versi Koalisi Masyarakat Sipil

Peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyatakan koalisi berembuk untuk mengkritik berbagai temuan pasal dalam RKUHP yang diduga bermasalah. Dia mengatakan, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), bersama organisasi sipil lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Berekspresi, membuat semacam DIM (daftar inventarisasi masalah) dalam RKUHP. “Untuk mengurai pasal demi pasal dalam RKUHP yang dianggap bisa mengancam kebebasan,” ujar Herdiansyah.

Tidak hanya berisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah, Herdiansyah juga menyoroti penyusunan produk legislasi yang dinilai serampangan. Pemerintah dan parlemen dinilai tak melibatkan akademikus dan masyarakat sipil dalam menyusun draf RKUHP. Pemerintah hanya mensosialisasi draf yang sudah rampung disusun melalui rapat dengar pendapat di parlemen dan agenda penyerapan aspirasi publik.

Herdiansyah juga mengkritik pembahasan RKUHP yang tergesa-gesa dan dilakukan secara senyap atau tidak transparan kepada publik. Hal ini sama persis ketika pemerintah mengesahkan sejumlah undang-undang yang dianggap bermasalah, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. “Sama sekali tidak ada wadah atau forum yang bisa mengadu gagasan tentang pasal-pasal RKUHP secara terbuka, juga tidak diberi ruang mengajukan kritik.”

Dia juga mempersoalkan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Oemar Sharif Hiariej, yang menyebutkan bahwa masyarakat yang merasa haknya tidak diakomodasi dalam RKUHP dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Herdiansyah, pernyataan tersebut sama persis ketika pemerintah mengesahkan undang-undang lain yang bermasalah. Persoalannya, dia melanjutkan, Mahkamah Konstitusi kini dinilai sudah tidak independen karena justru mengamankan agenda pemerintah dan parlemen.

Klaim Parlemen Agar Masyarakat Sipil Memberi Masukan

Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, parlemen sudah menerima berbagai elemen masyarakat sipil untuk memberi masukan soal RKUHP. Menurut dia, pandangan tersebut termasuk dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang merupakan gabungan lebih dari 20 organisasi di bidang hukum dan hak asasi manusia. “Sebagian besar dari mereka yang memberikan masukan juga terakomodasi,” ujar Arsul. 

Dia menjelaskan, akomodasi usul masyarakat sipil tentunya harus dikompromikan dari berbagai sudut pandang. Arsul juga menyebutkan adanya usul yang tidak terakomodasi dalam RKUHP. Hal ini terjadi karena DPR perlu mempertimbangkan dan mengakomodasinya dari berbagai sudut pandang. “DPR tidak semata menuruti kehendak kelompok tertentu.” 

Arsul mempersilakan bila masyarakat sipil hendak menggelar demonstrasi menolak agenda pengesahan RKUHP, sepanjang itu dilakukan sesuai dengan aturan dan tidak anarkistis. Parlemen bakal tetap mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat. “Yakni pada pekan depan. Tentu hari pastinya akan dirapatkan lebih dulu dalam rapat musyawarah pengganti Badan Musyawarah yang diikuti pimpinan DPR dan perwakilan fraksi,” tutur dia.

Adapun juru bicara Tim Perumus RKUHP, Albert Aries, menjelaskan bahwa berbagai tudingan masyarakat terhadap RKUHP merupakan hal yang wajar. Namun, menurut dia, pembahasan RKUHP telah melalui partisipasi publik dan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil. “Sejak ditundanya pengesahan RKUHP pada 2019, kami terus mensosialisasi dan menggelar dialog publik untuk melibatkan masyarakat agar didengar,” ucap Albert. 

Menurut dia, pemerintah telah mengakomodasi banyak masukan. Salah satu di antaranya ihwal penerapan Pasal 240 tentang ancaman penghinaan terhadap presiden, kekuasaan umum, dan lembaga negara. Pasal itu dibuat untuk membedakan kritik dengan penghinaan. Bagi dia, penghinaan memiliki sifat universal, yakni upaya untuk melawan hukum dengan menyerang harkat dan martabat presiden. Proses pembahasan pasal tersebut mengakomodasi saran organisasi sipil.

Albert juga mencontohkan, pemerintah mengakomodasi Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya menyangkut pers nasional melaksanakan perannya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Albert menjelaskan, ketentuan ini diakomodasi dalam penjelasan pada Pasal 240 RKUHP, sehingga memberi jaminan kebebasan kritik bagi pers atau masyarakat sipil.

Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, membantah klaim parlemen dan pemerintah yang telah mengakomodasi masukan Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam menyusun draf RKUHP. Salah satu di antaranya usul penghapusan penerapan pasal penghinaan. “Dalil yang menjadi rujukan kami merupakan putusan Mahkamah Konstitusi yang pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden pada 2006. Artinya, pasal RKUHP ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.”

AVIT HIDAYAT | IMA DINI SHAFIRA | FENTI GUSTINA (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus