Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPU menyatakan akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal syarat pencalonan mantan narapidana sebagai anggota legislatif.
Jeda lima tahun cukup untuk berintrospeksi dan beradaptasi dengan masyarakat.
YLBHI menilai putusan MK belum maksimal dan belum sesuai dengan harapan untuk menimbulkan efek jera.
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal syarat pencalonan mantan narapidana sebagai anggota legislatif. Komisioner KPU, Idham Holik, mengatakan proses seleksi calon anggota legislatif tidak akan banyak berubah setelah keluarnya putusan MK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Idham menjelaskan, mekanisme syarat pencalonan nantinya mengacu pada peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang diselaraskan dengan undang-undang. "Saat ini kami sedang dalam proses menyesuaikan rancangannya dengan putusan MK," ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis, 1 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, rancangan PKPU akan didiskusikan lagi dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi pemerintahan, pada awal 2023. "Sesuai dengan Pasal 75 ayat 4 Undang-Undang Pemilu, dalam pembentukan PKPU, Komisi Pemilihan Umum wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah."
Dalam kesempatan terpisah, seperti dilansir Antara, kemarin, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan akan mengkonsultasikan materi putusan uji materi Mahkamah Konstitusi itu kepada pembentuk undang-undang, yakni presiden dan Komisi II DPR. Hasyim menyebutkan hal-hal yang perlu dikonsultasikan KPU antara lain ihwal apakah pemberlakuan dalam PKPU hanya untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten, kota, atau termasuk juga calon anggota DPD.
Mahkamah Konstitusi memutuskan mantan terpidana baru dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dengan jeda lima tahun setelah keluar dari penjara. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya, Rabu, 30 November 2022.
Ilustrasi daftar nama calon anggota legislatif yang dipajang di kantor Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan, Makassar. Dokumentasi TEMPO/Fahmi Ali
Putusan uji materi dengan Nomor 87/PUU-XX/2022 diajukan warga Bekasi, Leonardo Siahaan. Dia mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang Pemilu menyatakan bakal caleg harus memenuhi syarat tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya mantan terpidana. Pemohon mengemukakan beberapa dampak buruk akibat pasal itu, yang dinilai memberikan ruang bagi eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Introspeksi Diri
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan norma dalam Pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat. Dalam putusannya, Mahkamah menambahkan beberapa persyaratan. Pertama, tidak pernah menjadi terpidana karena tindak pidana yang diancam penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana kasus politik dengan rezim yang berkuasa. Kedua, mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani hukuman dan secara terbuka mengumumkan latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana. Ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Jeda Lima Tahun Mantan Napi
MK dalam putusannya menilai jeda lima tahun cukup untuk berintrospeksi dan beradaptasi dengan masyarakat. Putusan ini juga untuk menyelaraskan syarat pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang Pilkada mengatur bahwa mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus menunggu lima tahun masa jeda, yang terhitung sejak masa hukumannya berakhir.
Karena itu, Mahkamah menilai tidak boleh ada pembedaan persyaratan bagi calon kepala daerah dan calon anggota legislatif. Apalagi MK menyebutkan fakta empiris bahwa kepala daerah yang pernah menjalani masa pidana dan tak diberi waktu cukup untuk beradaptasi dan melebur ke masyarakat ternyata kembali melakukan pidana.
Beragam Pendapat
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut dia, hal itu bisa menjadi preseden baik menjelang Pemilu 2024. "Kami mendesak KPU dan Bawaslu serta partai politik mengimplementasikan putusan tersebut secara baik serta konsisten," ujarnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi, mengajak masyarakat menghormati putusan Mahkamah itu. Dia mengatakan putusan tersebut tidak memberikan dampak berarti bagi penjaringan bakal calon anggota legislatif dari partainya pada pemilu mendatang. "Bukan masalah harus ada jeda lima tahun bagi napi korupsi yang hukumannya di atas 5 tahun. Bagi yang tuntutannya di bawah 5 tahun, ya, tidak ada masalah," ujarnya.
Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia, Ariyo Bimmo, mengatakan putusan Mahkamah tersebut memberikan kepastian bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Namun ia menuturkan partainya tidak akan mengajukan nama bakal caleg dengan rekam jejak terpidana kasus korupsi, walaupun diperbolehkan setelah jeda lima tahun. "Bukan berarti PSI mau menerima calon legislatif yang pernah tersangkut kasus korupsi," ujar dia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, menilai putusan MK tersebut belum maksimal dan belum sesuai dengan harapan untuk menimbulkan efek jera, khususnya bagi mantan napi korupsi. "Apakah ada jaminan bahwa koruptor yang dipenjara kemudian tidak akan melakukan korupsi kembali? Jadi, lima tahun tentu bukan jaminan orang berefleksi, berubah, atau bertobat," tutur Isnur.
Meski begitu, Isnur menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut dia, jeda lima tahun bagi napi, termasuk terpidana korupsi, merupakan perkembangan baru. "Mudah-mudahan ke depan ada yang lebih progresif lagi," ujarnya.
ILONA ESTERINA PIRI | IMA DINI SHAFIRA | ADYA NURUL DAN TIMOTHY (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo