Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 101 kepala daerah habis masa jabatannya pada tahun ini dan akan diisi oleh penjabat yang ditunjuk kementerian.
Kementerian Dalam Negeri hanya menerbitkan peraturan menteri sebagai aturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah.
Ombudsman mengeluarkan tindakan korektif atas aturan yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri.
JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah. Desakan ini disampaikan lantaran masa jabatan sejumlah kepala daerah segera habis, salah satunya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat pimpinan gabungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta yang digelar pada Selasa, 13 September 2022, menetapkan tiga nama calon penjabat pengganti Anies. Penetapan dilakukan meski aturan teknis penunjukan kepala daerah belum terbit. Tiga nama yang diusulkan adalah Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono; Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Marullah Matali; serta Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar. DPRD mengusulkan tiga nama tersebut sebagai penjabat gubernur pengganti Anies, yang masa jabatannya berakhir pada 16 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, lantas mempertanyakan mekanisme pemerintah memutuskan satu nama penjabat tersebut. Dia menuturkan DPRD sudah mengajukan tiga nama sebagai penjabat gubernur, sedangkan Kementerian Dalam Negeri nanti bisa juga mengusulkan tiga nama lainnya. “Terus terang saya tidak mengerti mekanismenya. Kalau enam nama itu beda semua, lalu bagaimana nanti mekanisme untuk memutuskan satu nama penjabat itu?" ujar Robert saat dihubungi Tempo, Selasa lalu.
Robert Endi Jaweng. TEMPO/Ratih Purnama
Tanpa aturan yang jelas, Robert mengatakan, penunjukan penjabat kepala daerah rentan berujung polemik. "Jangan sampai DPRD sudah gontok-gontokan rapat mencari tiga nama, tapi ujung-ujungnya di Kementerian Dalam Negeri tidak memakai nama yang diajukan. Kan sudah banyak terjadi begitu," ujar dia. "Inilah akibat mekanisme yang tidak jelas."
Mengkhianati Profesionalisme TNI
Sebanyak 101 kepala daerah habis masa jabatannya pada tahun ini. Mereka akan digantikan oleh penjabat kepala daerah yang dipilih oleh presiden dan Menteri Dalam Negeri. Mereka yang bakal dilantik akan menjabat hingga selesainya pemilihan kepala daerah serentak pada akhir 2024.
Dari sejumlah nama yang telah dilantik, muncul sejumlah penjabat kepala daerah yang dianggap bermasalah. Ada yang masih merangkap jabatan, ada juga yang menyandang status "terlarang" menjadi kepala daerah. Misalnya, Menteri Tito menunjuk tentara aktif, Brigadir Jenderal Andi Chandra As'adudin, sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat pada Juni lalu.
Penunjukan mantan Kepala Badan Intelijen Daerah Sulawesi Tengah itu dinilai melanggar sejumlah aturan. Sejumlah pegiat menyebut penunjukan itu tidak sesuai dengan semangat dan amanat reformasi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai penunjukan Andi menjadi penjabat kepala daerah merupakan bentuk “Dwifungsi TNI” dan melanggar peraturan perundang-undangan serta mengkhianati profesionalisme TNI.
Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 mengatur secara tegas bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa. Kemudian Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa peran TNI adalah alat pertahanan negara. Dalam implikasinya, anggota TNI aktif terpisah dari institusi sipil negara. Koalisi menilai penunjukan Brigjen Andi Chandra melanggar Tugas Pokok dan Fungsi TNI sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 34 Tahun 2004 menegaskan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun kepala daerah merupakan jabatan sipil yang hanya dapat ditempati oleh warga sipil.
Rekomendasi Ombudsman
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) lantas melaporkan sejumlah kasus pengangkatan penjabat kepala daerah bermasalah itu sebagai dugaan maladministrasi.
Ombudsman menindaklanjuti laporan tersebut dan mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) pada 19 Juli lalu. Hasil pemeriksaan menyatakan Kementerian Dalam Negeri terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan penjabat kepala daerah. Ombudsman mengeluarkan tiga tindakan korektif kepada Kementerian Dalam Negeri.
Salah satu tindakan korektif Ombudsman kepada Kementerian Dalam Negeri adalah agar Kementerian menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah (PP) sehubungan dengan proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian penjabat kepala daerah. Menteri Dalam Negeri diberi tenggat waktu selama 30 hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut sejak LAHP diterbitkan. Namun, hingga Selasa kemarin, Menteri Dalam Negeri belum juga melaksanakan tindakan korektif tersebut.
Alih-alih menerbitkan peraturan pemerintah seperti yang diminta Ombudsman, Kementerian Dalam Negeri justru menyiapkan aturan teknis pelaksanaan penunjukan penjabat kepala daerah dalam format peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri). "Draf akhir sudah selesai dan sudah dibahas teknis antar-kementerian. Saat ini dalam tahap pembahasan di level pimpinan sebelum mendapatkan persetujuan," ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benni Irwan, saat dimintai konfirmasi, kemarin.
Benni enggan menjelaskan alasan pemerintah memutuskan payung hukumnya adalah permendagri. Ia juga enggan merinci aturan yang tengah digodok tersebut. "Tunggu saja permendagri-nya, ya," ucap dia.
Ombudsman tentu saja mempersoalkan payung hukum yang dipilih dalam penunjukan penjabat kepala daerah adalah permendagri. Robert menegaskan, sesuai dengan mandat Pasal 86 ayat 6 UU Pemerintahan Daerah, ketentuan persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur, bupati/wali kota, dan aturan pengangkatan penjabat kepala daerah mesti diatur dalam peraturan pemerintah.
Alasan lainnya, otoritas yang mengangkat penjabat kepala daerah bukan hanya Menteri Dalam Negeri yang menunjuk penjabat bupati/wali kota, tapi juga ada presiden yang menunjuk penjabat gubernur. “Bagaimana mungkin presiden menjalankan tata cara pengangkatan kalau hanya berdasarkan permendagri? Ini sama saja seorang bupati memakai aturan yang dikeluarkan kepala dinas. Logika kayak begini, kan, harusnya sudah jelas. Apakah Menteri Dalam Negeri tidak paham?" ujar Robert.
Dia menjelaskan, aturan teknis penunjukan kepala daerah yang baru tentu akan merevisi sejumlah peraturan menteri dan peraturan pemerintah terdahulu. "Norma yang hendak diatur juga tidak hanya soal pengangkatan penjabat, tapi juga lingkup dan batas kewenangannya, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian. Semua materi tersebut mesti diatur dalam produk hukum setingkat peraturan pemerintah atau PP," tutur Robert.
Secara prosedur, Robert melanjutkan, peraturan pemerintah juga dianggap lebih partisipatif dibanding peraturan Menteri Dalam Negeri. Sebab, pembentukan peraturan itu dinilai jarang melibatkan partisipasi publik dan umumnya hanya mengikutsertakan konsultan serta pakar saat pembahasannya. "Partisipasi itu kan harus mendengarkan rakyat, paling tidak stakeholder utama, yakni asosiasi pemerintah dan DPRD," ujar dia.
Jika Kementerian Dalam Negeri berkukuh menerbitkan peraturan menteri dan bukan peraturan pemerintah, Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi. "Melihat gelagat Kementerian Dalam Negeri masih kekeh, ujung-ujungnya Ombudsman bisa mengeluarkan rekomendasi. Bahkan rekomendasi penjatuhan sanksi," tuturnya. "Rekomendasi ini produk pamungkas Ombudsman yang akan ditujukan kepada atasan menteri, yaitu presiden."
Sikap Pegiat Melihat Sepak Terjang Kementerian
Kontras, ICW, dan Perludem mengecam sikap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mengabaikan serta tidak menindaklanjuti tindakan korektif yang telah disampaikan Ombudsman. Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldi, mengingatkan bahwa tindakan korektif oleh Ombudsman bersifat mengikat secara hukum dan wajib dijalankan dalam kurun waktu 30 hari berdasarkan Pasal 16 Peraturan Ombudsman RI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri. "Tidak taatnya Menteri Dalam Negeri tersebut menunjukkan sikap pembangkangan, tidak memahami peraturan perundang-undangan, etika antar-lembaga negara, dan mencerminkan sikap penyelenggara negara yang tidak patut," ujar dia.
Menurut Andi, tindakan korektif yang dikeluarkan Ombudsman itu wajib diikuti untuk mendorong perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, bersih, dan terbuka sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik. Dia menegaskan, saat ini telah terjadi kekosongan hukum mengenai peraturan pengangkatan hingga pemberhentian penjabat kepala daerah. “Tidak ada alasan apa pun bagi Menteri Dalam Negeri selain melaksanakan tindakan korektif Ombudsman," ujarnya.
Rangkaian penunjukan penjabat kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri tanpa aturan pelaksana dinilai tidak sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi. "Proses tanpa dasar itu menyebabkan minimnya akuntabilitas serta sarat akan potensi konflik kepentingan. Minimnya pelibatan masyarakat dalam proses tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas partisipasi masyarakat yang dijamin konstitusi," ujar Andi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PPU-XX/2022, pengisian penjabat kepala daerah tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Mahkamah mengamanatkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana untuk memastikan mekanisme pengisian penjabat kepala daerah yang transparan dan akuntabel.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menyesalkan banyaknya pengisian penjabat yang kadung dilakukan tanpa berdasarkan regulasi yang jelas. "Pengabaian rekomendasi Ombudsman merupakan preseden buruk yang bisa makin memperburuk spekulasi dan kontroversi sehubungan dengan kepentingan pragmatis di balik pengisian penjabat," ujar dia.
Menurut Titi, pengangkatan penjabat ini tidak bisa disamakan dengan penunjukan pelaksana tugas kepala daerah akibat cuti dan sejenisnya. Penjabat kepala daerah ini akan memimpin selama satu tahun dan dapat diangkat kembali. Status penjabat kepala daerah akan berlangsung hingga pemilihan kepala daerah serentak pada akhir 2024 usai.
Kewenangan dan tanggung jawab penjabat kepala akan serupa dengan kepala daerah hasil pemilihan langsung. Mereka hanya dilarang memutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pembangunan pejabat sebelumnya. Dengan demikian, para pegiat demokrasi meminta penunjukan penjabat kepala daerah ini tidak dilakukan secara serampangan.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mendesak Kementerian Dalam Negeri mematuhi tindakan korektif Ombudsman dan tidak memaksakan payung hukum sebatas peraturan Menteri Dalam Negeri. "Sudah jelas Ombudsman menyatakan bahwa regulasi yang paling tepat adalah peraturan pemerintah," tuturnya. "Kami minta Menteri Dalam Negeri tidak membangkang."
Kurnia khawatir polemik akan makin panjang jika Menteri Dalam Negeri tidak mematuhi tindakan korektif Ombudsman. Sebab, ketika Ombudsman sudah menerbitkan rekomendasi, sifatnya final dan mengikat. Jadi, "bolanya" akan pindah ke presiden. “Kami berharap presiden segeralah menegur bawahannya karena tidak memahami payung hukum yang tepat dalam konteks pengangkatan penjabat kepala daerah," ujar Kurnia.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo