Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Provinsi Baru Papua Dianggap Bukan Solusi

Sejumlah pegiat hak asasi manusia, perkumpulan gereja, dan peneliti mengkritik kebijakan pemekaran Papua. Konflik di Papua terus berlangsung dan tak peduli dengan adanya pembentukan provinsi baru.

18 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Perwakilan Rakyat kemarin mengesahkan Undang-Undang DOB tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.

  • Pemekaran daerah otonomi di Papua dinilai tidak mengakomodasi penyelesaian kasus dan konflik di Papua.

  • Beberapa provinsi baru menghadapi persoalan serius ihwal rendahnya indeks pembangunan manusia.

JAKARTA – Sejumlah pegiat hak asasi manusia, perkumpulan gereja, dan peneliti mengkritik realisasi pemerintah dalam pemekaran Papua. Mereka menilai konflik terus berlangsung dan tak pernah surut, meski parlemen dan pemerintah mengklaim pembentukan daerah otonomi baru atau DOB di Papua bisa menjadi salah satu penyelesaian konflik dan pemerataan kesejahteraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengatakan konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan TNI-Polri terus berlangsung. Korban berjatuhan di antara dua kubu, bahkan mengorbankan masyarakat sipil. “Pemerintah tidak memiliki format penyelesaian akar masalah di Papua, yakni konflik bersenjata,” ujar Theo saat dihubungi pada Kamis, 17 November 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teranyar, TPNPB OPM menyerang di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, pada 13 November lalu. Insiden ini mengakibatkan seorang prajurit mengalami luka tembak. Beberapa hari sebelumnya, TPNPB OPM juga mengklaim membunuh prajurit TNI yang bertugas sebagai Bintara Pembina Desa atau Babinsa di Kampung Bonega, Komando Distrik Militer (Kodim) 1715, Kabupaten Yahukimo.

Menurut Theo, konflik dan kekerasan bersenjata akan terus berlangsung dan tak peduli dengan adanya pembentukan provinsi baru di Papua. Justru kekerasan semakin meningkat karena TPNPB OPM juga menyerang warga sipil non-Papua. Masalah ini terjadi karena kelompok pro-kemerdekaan Papua getol melawan kebijakan pemerintah. Dia menyarankan agar pemerintah menyelesaikan masalah ini dengan cara berdialog dengan TPNPB OPM, bukan dengan menambah provinsi baru di Papua.

Dewan Perwakilan Rakyat kemarin mengesahkan Undang-Undang DOB tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Provinsi baru itu merupakan bagian dari pemekaran wilayah Papua Barat. Pada Juli lalu, pemerintah bersama parlemen telah mengesahkan pembentukan provinsi baru, yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan, yang sebelumnya bagian dari Provinsi Papua.

Theo mempersoalkan pembentukan daerah otonomi di Papua yang tidak mengakomodasi penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Wamena (2003) dan kasus Paniai (2014). Pemerintah hanya berupaya menuntaskan kasus Wamena dengan cara non-yudisial. Upaya itu telah ditolak oleh keluarga korban ketika bertemu dengan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di Kabupaten Jayawijaya pada 11 November 2022.

Hose Murib, pendeta sekaligus perwakilan keluarga korban tragedi Wamena, menyatakan menolak tawaran pemerintah, termasuk penyelesaian melalui jalur yudisial ataupun non-yudisial. “Untuk mencegah pelanggaran hak asasi serupa terulang di masa yang akan datang, kami keluarga korban dan korban meminta perundingan perspektif  HAM yang difasilitasi Dewan HAM PBB,” tulis Hose kepada Tim PPHAM.

Dia mendesak pemerintah agar memperkenankan Dewan HAM PBB turun ke Papua bersama jurnalis internasional untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Wamena. Hose kecewa karena pemerintah tidak bersikap transparan menuntaskan kasus tersebut. Keluarga korban mengaku sama sekali tak pernah mengetahui ihwal penyelesaian kasus Wamena.

Koordinator Pastor Papua, John Bunay, menjelaskan berbagai persoalan tak pernah diselesaikan pemerintah, terutama masalah-masalah yang ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2004. Justru pembentukan empat provinsi baru di Papua disebut bakal menambah masalah baru di kalangan masyarakat. “Realitasnya, baliho-baliho bertuliskan Pemerintah Provinsi Papua Tengah diturunkan dan dirusak oleh masyarakat,” ucap dia.

Perusakan terjadi akibat masyarakat menolak pembentukan provinsi baru. Terlebih penjabat Gubernur Papua Tengah tidak bisa bekerja karena belum didukung infrastruktur untuk bekerja. Menurut Bunay, masyarakat Papua tidak berharap adanya pembangunan infrastruktur, terlebih pemekaran provinsi baru. “Masyarakat hanya meminta hal mendasar, yakni keadilan dan upaya untuk menyelesaikan akar konflik bersenjata di Papua.”

Bunay juga melihat pembangunan provinsi baru terkesan dibuat tergesa-gesa dan tak terencana. Pemerintah pusat dinilai tak berhasil merumuskan akar masalah di masing-masing wilayah Papua. Semestinya pemerintah menuntaskan konflik dan dugaan pelanggaran HAM berat. Kemudian menyiapkan sumber daya manusia yang akan ditugaskan di Papua Tengah maupun di provinsi lain.

Peneliti konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth, melihat pemerintah memang berupaya memeratakan kesejahteraan di Papua. Karenanya, pemerintah membentuk empat provinsi baru di Bumi Cenderawasih. “Di Papua memang masih banyak persoalan. Salah satunya sumber daya manusia atau SDM. Kalau kita tidak ada SDM, siapa yang mau mengisi?” kata Adriana.

Menurut Adriana, beberapa provinsi baru menghadapi persoalan serius ihwal rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). Hal ini diperparah oleh adanya konflik bersenjata di sejumlah provinsi Papua. Di luar itu, pemerintah pusat juga tidak memiliki pemetaan tata kelola sumber daya alam di masing-masing provinsi. Padahal ini bisa memicu masalah baru jika tata kelola tidak dilakukan dengan baik.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay, ragu akan kesimpulan pemerintah yang mengklaim pemekaran Papua dengan membentuk provinsi baru bakal memicu peningkatan kesejahteraan. Dia mencontohkan, pemberian izin kepada perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), hak guna usaha (HGU), izin usaha pertambangan (IUP), dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) berada di atas tanah adat masyarakat Papua. “Pemilik tanah ulayat bahkan tidak memiliki hak pembagian hasil sesuai ketentuan,” ucap dia. Pemerintah juga dinilai gagal mengimplementasikan hasil penelitian LIPI pada 2004 yang menemukan empat akar masalah di Papua. Di antaranya pelurusan sejarah, pelanggaran HAM, marginalisasi orang asli Papua, dan pembangunan yang timpang. 

AVIT HIDAYAT | ARYA PRASETYA (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus