Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR merencanakan pembelian 100 unit televisi 43 inch.
Pengadaan televisi itu tidak tepat, apalagi di tengah kesulitan negara yang saat ini menghadapi krisis.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar saat dimintai konfirmasi mengatakan paket pengadaan ini sudah lama direvisi.
JAKARTA — Anggaran Rp 1,5 miliar untuk pengadaan televisi di ruang kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai protes. Menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR merencanakan pembelian 100 unit televisi 43 inch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Indonesia Budget Center (IBC), Ibeth Koesrini, mengatakan anggaran Rp 1,5 miliar untuk 100 unit TV 43 inch terlalu besar dan tidak masuk akal. Apalagi di marketplace atau pasar online, harga Rp 15 juta itu setara dengan smart TV berukuran 66 inch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dengan sekian tenaga ahli untuk setiap anggota, belum lagi jika anggota Dewan menemui tamu, televisi sebagai perangkat penunjang tidak akan maksimal penggunaannya,” ujar Ibeth, saat dihubungi, Rabu, 5 Oktober 2022. ”Rapat sering kali tidak menggunakan media tersebut, sehingga ini pemborosan anggaran."
Dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang diakses pada 5 September 2022, paket pembelian TV ini diberi nama "Pengadaan TV LED 43 Inch untuk Ruang Kerja Anggota". Kode pengadaan itu adalah RUP 36341964. Pagu anggarannya mencapai Rp 1,55 miliar.
Pengadaan barang ini menggunakan metode pemilihan e-Purchasing. E-Purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik (e-Katalog). Pemanfaatan barang/jasa paket ini dimulai Agustus 2022 hingga Desember 2022. Pelaksanaan kontrak dilakukan pada Agustus hingga Oktober 2022. Adapun jadwal pemilihan penyedia dilakukan pada Agustus 2022.
Ibeth menilai pengadaan televisi itu tidak tepat, apalagi di tengah kesulitan negara menghadapi besarnya kebutuhan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Belum lagi saat ini inflasi meningkat, potensi krisis/resesi akibat konflik global, dan krisis lingkungan. Dengan begitu, menurut dia, pengadaan televisi sebesar Rp 1,5 miliar tak masuk akal. ”Usulan pengadaan televisi harus dibatalkan dan perlu dievaluasi dan diaudit keuangan di Sekretariat Jenderal DPR.”
Televisi terpasang di dinding Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 Oktober 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Apalagi, menurut dia, ini bukan pertama kalinya DPR menganggarkan pengadaan barang yang dinilai bukan hal mendesak. Pada tahun ini saja, DPR tercatat sempat mengajukan pengadaan gorden untuk rumah dinas anggota DPR dengan pagu anggaran Rp 48,7 miliar. Ada juga pembuatan kalender cetak tahun 2023 dengan anggaran Rp 955 juta, yang akhirnya dibatalkan.
Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Irma Suryani Chaniago meminta pengadaan televisi dibatalkan jika tidak menggunakan e-Katalog. “Agar tidak ada fraud, pastinya," ujar politikus Partai NasDem tersebut. Menurut dia, BURT memang telah menetapkan pengadaan harus dengan menggunakan e-Katalog. Dia menuturkan, para anggota Dewan dan staf ahli sebetulnya jarang meminta televisi diganti, kecuali benar-benar sudah tidak layak.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, saat dimintai konfirmasi, mengatakan paket pengadaan ini sudah lama direvisi. Meski begitu, dia enggan menjelaskan lebih detail revisi yang dimaksudkan. Dia meminta agar menanyakan hal tersebut ke Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal DPR, Rudi Rochmansyah.
Boros anggaran
Adapun Rudi saat dihubungi hanya menyebutkan bahwa paket itu sudah direvisi sejak Juli 2022. Dia pun enggan menjelaskan revisi yang dimaksud. Dalam data SiRUP LKPP disebutkan bahwa data sudah diperbarui pada 10 Oktober 2022. Padahal, beberapa jam sebelumnya, pembaruan data terakhir kali dilakukan pada 2 Agustus 2022.
Rudi mengatakan semua paket kegiatan di kementerian atau lembaga pada awal tahun harus diumumkan di SiRUP, tapi belum tentu dilaksanakan karena ada proses perubahan atau revisi. “Jadi, sampai sekarang kami memang belum melaksanakan dan tak ada proses tender," ujar Rudi.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai pengadaan barang yang tidak dilandasi pertimbangan hal yang mendesak seakan-akan menegaskan bahwa perencanaan yang dibuat DPR itu asal-asalan. Lucius menegaskan, di masa mendatang, semua anggota Dewan seharusnya dilibatkan dalam penyusunan rencana anggaran. “List rencana pengadaan itu harus diinformasikan secara terbuka agar publik bisa memberi masukan. Setelah proses itulah Sekjen DPR bisa menyesuaikan dengan anggaran agar diusulkan kepada Badan Anggaran DPR,"ujar Lucius.
EGI ADYATAMA | HELMALIA PUTRI (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo