Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pemerhati bidang pendidikan menilai pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional tak perlu buru-buru.
Road map seharusnya menjadi arah dasar pembuatan RUU Sistem Pendidikan Nasional.
Pemerintah menyebutkan pembentukan RUU Sisdiknas masih pada tahap pertama, yaitu perencanaan.
JAKARTA — Sejumlah pemerhati bidang pendidikan menilai langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendorong Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 terburu-buru. Selain belum siap, menurut mereka, draf dan naskah akademik RUU tersebut belum jelas dasar pembahasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua dewan pembina di Perkumpulan Sekolah Digital Indonesia, Indra Charismiadji, menyatakan terkejut atas rencana Kementerian. “Hal yang membuat kami kaget adalah road map atau peta jalan pendidikan nasional saja belum jadi. Padahal seharusnya ini yang menjadi dasar pembuatan RUU Sistem Pendidikan Nasional," ujar Indra, kemarin, 27 Maret. “Road map itu seharusnya menjadi arah pendidikan kita ke depan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, pada Maret 2021, Komisi X DPR yang membidangi pendidikan sebenarnya telah meminta Kementerian memperbaiki konsep "Peta Jalan Pendidikan 2020-2035". Namun, setahun berselang, road map tersebut belum juga rampung. Kementerian disebut justru menyusun draf RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya yang kemudian diselesaikan pada Desember 2021. Pada periode Januari hingga Februari 2022, Kementerian kemudian mengagendakan sejumlah uji publik bersama pakar hukum dan pendidikan, organisasi dan penyelenggara pendidikan, asosiasi guru, serta pemerintah.
Namun uji publik tersebut belakangan ditengarai tak memenuhi kaidah. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) misalnya, hanya diberi waktu selama lima menit untuk memberikan pandangannya dalam agenda pembahasan itu. Padahal seharusnya pelibatan publik mencakup agenda diskusi, permintaan masukan untuk kemudian dipelajari. Agendanya pun seharusnya dilakukan lebih dari sekali.
”Jadi, kami menganggapnya itu hanya syarat formal bahwa seolah-olah telah melibatkan publik. Dan itu bukan hanya PGRI yang diklaim. Banyak teman lain juga merasa dirugikan," ujar Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi, kemarin.
Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI), Ellen Nugroho, juga menyayangkan tidak dilibatkannya praktisi pendidikan non-formal dan informal. Padahal, menurut dia, mereka juga ikut berkepentingan jika revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 itu dibahas dan kemudian diundangkan. Karena itu, pada Februari lalu, PHI telah mengajukan surat permohonan informasi publik kepada Kementerian untuk mengakses draf RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya.
Namun permohonan ini kemudian ditolak. "Jawaban Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), draf itu masuk informasi yang dikecualikan," kata Ellen. Anggota Komisi X DPR, Andreas Pareira, juga mengatakan rancangan revisi Undang-Undang Sisdiknas belum masuk ke komisinya.
Masih tertutupnya draf dan naskah akademik ini dinilai sejumlah kalangan sebagai hal yang janggal dalam penyusunan undang-undang. Masalah ini membuat Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) mendatangi Komisi X DPR pada Kamis pekan lalu dan menuntut agar RUU Sisdiknas tak dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2022.
Aliansi ini terdiri atas Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Tamansiswa, serta Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu).
Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia mengatakan, pembuatan undang-undang yang baik mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam seluruh tahap, dari perencanaan, penyusunan, hingga pembahasan. "Faktanya, hal ini tidak dilakukan dalam perencanaan RUU Sisdiknas," kata Ketua Umum MPK, David Tjandra.
Seorang siswa mengerjakan tugas di SD Ar Rafi, Bandung, Jawa Barat, 8 September 2021. TEMPO/Prima Mulia
Dengan pengerjaan yang terburu-buru ini, APPI menilai, revisi UU Sisdiknas tidak akan menghasilkan produk undang-undang sistem pendidikan yang visioner dan membawa kemajuan. Pragmatisme jangka pendek dalam merancang UU Sisdiknas harus dijauhkan. Selain itu, pembahasan sejatinya mengutamakan kesiapan sistem pendidikan yang maju dan tanggap akan tantangan zaman. APPI juga mendorong Kementerian membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai kalangan untuk mendesain "Peta Jalan Pendidikan Nasional", naskah akademik, dan draf RUU Sisdiknas.
Menanggapi hal tersebut, pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Anang Ristanto, mengatakan bahwa pembentukan RUU Sisdiknas saat ini masih pada tahap pertama, yaitu perencanaan. Selanjutnya, kata dia, masih ada tahap penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Ia mengklaim sosialisasi ihwal pendidikan dengan berbagai pihak masih terus berlangsung sekaligus mengulas dan memformulasi berbagai masukan yang sudah diterima. Hal ini nantinya dijadikan sebagai bahan penyempurnaan naskah akademik dan rancangan undang-undang. “Kami bekerja sekuat tenaga agar proses ini berjalan lancar dan rancangan selanjutnya siap dalam waktu dekat untuk disebarluaskan ke publik dan menerima masukan," kata Anang.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo