Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan larangan LGBT di Fakultas Teknik UGM hanya fenomena gunung es dari wajah kampus yang mengekang kemerdekaan civitas academica.
Dekanat Fakultas Tekni UGM berdalih membuat aturan karena menerima aduan dari para mahasiswa. Mereka juga menilai LGBT bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan norma masyarakat Indonesia.
Larangan LGBT di kampus UGM justru dinilai melanggar konstitusi. Dalih Fakultas Teknik juga dianggap bermasalah.
JAKARTA — Kelompok masyarakat pemantau pendidikan serta pegiat hak asasi manusia mengkritik surat edaran larangan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Kebijakan baru itu dianggap diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Surat edaran tersebut harus segera dicabut karena menjadi preseden buruk bagi kampus yang semestinya menjadi benteng kebebasan akademik," kata Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Satria Unggul Wicaksana pada Jumat, 15 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satria mengatakan kampus semestinya menjamin kebebasan dan pelindungan akademik terhadap dosen ataupun mahasiswa tanpa memandang status atau orientasi seksual. Karena itu, kata dia, kebijakan perguruan tinggi yang tidak menghormati harga diri dan kemanusiaan di lingkungan kampus harus ditentang.
Menurut Satria, pengelola kampus semestinya memahami bahwa orientasi seksual berada di ranah privat. Dia menilai kebijakan larangan LGBT seperti yang dikeluarkan oleh Fakultas Teknik UGM bukan saja diskriminatif, tapi juga berpotensi memicu persekusi terhadap kelompok tersebut. "Ini jelas bertentangan dengan kebebasan akademik yang semestinya dijunjung tinggi di dalam kampus," kata Satria yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surabaya.
Satria menilai surat edaran Fakultas Teknik UGM ini menambah panjang daftar kebijakan kampus yang belakangan semakin sering mengancam kebebasan di lingkungan akademik. "Regulasi bermasalah seperti di Fakultas Teknik UGM sekarang ini merupakan fenomena gunung es," katanya.
Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, punya kekhawatiran yang sama dengan Satria. Menurut dia, kebijakan kampus yang diskriminatif, seperti surat edaran Fakultas Teknik UGM tersebut, bisa memicu persekusi terhadap minoritas LGBT. "Aturan itu harus dicabut karena tidak berdasar, bersifat karet, dan diskriminatif," katanya.
Dalih Kampus Melarang LGBT
Surat edaran berisi penolakan dan pelarangan LGBT itu diteken Dekan Fakultas Teknik UGM, Selo, pada 1 Desember 2023. Melalui surat edaran itu, Fakultas Teknik mengancam sanksi maksimal bagi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang terbukti menyebarluaskan paham, pemikiran, sikap, serta perilaku mendukung LGBT karena dianggap bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan norma yang berlaku di Indonesia.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Fakultas Teknik UGM Sugeng Sapto Surjono mengatakan surat edaran itu dikeluarkan setelah adanya keluhan dari kalangan mahasiswa perempuan ihwal perilaku seorang mahasiswa laki-laki yang dinilai tak wajar dan meresahkan. Mahasiswa laki-laki tersebut dilaporkan kerap berpenampilan layaknya perempuan. "Yang bersangkutan juga menggunakan toilet putri," kata Sugeng.
Dengan berbagai pertimbangan, menurut Sugeng, Dekanat membuat surat edaran tersebut. "Peraturan ini juga sudah kami diskusikan dan konsultasikan dengan berbagai pihak di lingkungan fakultas ataupun universitas," ujarnya.
Sugeng menampik tudingan bahwa kampusnya dianggap melarang LGBT. Sebab, dia beralasan, surat edaran tersebut hanya berlaku untuk lingkup internal Fakultas Teknik. Menurut dia, Dekanat telah mendengarkan kritik dari berbagai kalangan. "Untuk menanggapi kritik tersebut, kami perlu untuk membicarakan dari sisi internal dulu," kata Sugeng.
Suasana perkuliahan di Kampus UGM, DI Yogyakarta, 2020. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu menyatakan setiap kebijakan yang dibuat oleh Fakultas Teknik menjadi bagian dari kebijakan universitas. "Itu juga menjadi tanggung jawab dari universitas," katanya.
Surat edaran larangan LGBT yang diteken Dekan Fakultas Teknik UGM itu memang menyebutkan peraturan Rektor UGM sebagai konsiderans. Dua peraturan yang dijadikan rujukan itu adalah Peraturan Rektor UGM Nomor 59/SK/HT/2014 tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM serta Peraturan Rektor UGM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kode Etik Tenaga Kependidikan UGM.
Bertentangan dengan Konstitusi dan HAM
Koordinator Riset dan Program Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Albert Wirya, menilai surat edaran larangan LGBT justru bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 27 UUD 1945 secara jelas menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum sehingga semua warga negara berhak mendapat pelindungan.
Prinsip non-diskriminasi, kata Albert, juga dapat ditemukan pada Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945. Negara wajib melindungi setiap warga negara dari pembedaan perlakuan yang berdampak pada berkurangnya atau hilangnya hak asasi seseorang. "Kelompok minoritas LGBT termasuk dalam warga negara yang berhak mendapat pelindungan itu," katanya.
Albert mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Karena itu, negara ini wajib menjunjung tinggi HAM dan memegang teguh prinsip kesetaraan serta non-diskriminasi sesuai dengan komitmennya.
Mahasiswa baru mengikuti pembukaan Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) Universitas Gajah Mada (UGM) 2022 di Lapangan GSP UGM, Sleman, D.I Yogyakarta. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Albert juga mempertanyakan dalih Dekanat Fakultas Teknik UGM ihwal adanya tindakan meresahkan seorang mahasiswa yang ditengarai sebagai LGBT. Jika persoalannya adalah penggunaan toilet perempuan oleh mahasiswa LGBT, kata dia, pengelola kampus semestinya justru melindungi semua mahasiswanya dengan menyediakan toilet bagi kelompok minoritas tersebut.
Lebih dari itu, Albert menilai surat edaran itu juga berbahaya lantaran membatasi kebebasan setiap individu untuk berpikir dan bersikap. Surat edaran itu memuat ancaman sanksi bagi dosen, mahasiswa, ataupun tenaga kependidikan yang berperilaku atau menyebarluaskan paham, pemikiran, dan sikap mendukung LGBT.
Padahal, kata Albert, kampus semestinya justru menjadi rumah bagi diskusi keberagaman, termasuk ihwal orientasi seksual dan identitas gender. "Aturan tersebut kontraproduktif dengan kampus yang seharusnya terbuka terhadap pemikiran dan ide tentang LGBT," katanya.
Menurut Albert, surat edaran yang dikeluarkan Fakultas Teknik UGM itu menunjukkan lembaga pendidikan belum mempunyai dan menyediakan pengetahuan yang memadai tentang keberagaman identitas gender serta orientasi seksual. Alih-alih memberikan pelindungan atas kebebasan berekspresi, kata dia, "Kampus malah menebalkan homofobia dan permusuhan terhadap LGBT di lingkungan civitas academica."
IMAM HAMDI | SHINTA MAHARANI | PRIBADI WICAKSONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo