Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bahlil Sebut Raja Jawa, Guru Besar UGM: Pengakuan Dinasti dan Bentuk Penghambaan

Guru Besar UGM Prof Koentjoro menanggapi pernyataan Bahlil Lahadalia yang menyebut Raja Jawa dalam pidato perdana sebagai Ketua Umum Golkar.

25 Agustus 2024 | 08.16 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Golkar yangjuga Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyinggung Raja Jawa di depan para kader Partai Golkar saat Munas lalu, yang dihadiri Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan beberapa pimpinan partai politik. Ia mengingatkan para kader agar tidak bermain-main dengan Raja Jawa, jika tidak ingin celaka.

“Kita harus lebih paten lagi. Soalnya, Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini,” kata Bahlil, pada 21 Agustus 2024.

Kendati begitu, Bahlil enggan memberitahu siapa sosok yang dimaksud sebagai Raja Jawa."Sudah. Waduh ini. Sudah banyak, sudah lihat kan barang ini kan? Ya tidak perlu saya ungkapkan lah. Enggak perlu," katanya.

Merespons pernyataan Bahlil, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Koentjoro mempertanyakan alasan di balik penyebutan Raja Jawa di Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan negara yang tidak memiliki raja.

“Sejak kapan, Indonesia ada Raja Jawa? Kenapa seorang petinggi partai politik (parpol) mengatakan ada Raja Jawa?” kata Koentjoro kepada Tempo.co, pada 24 Agustus 2024.

Lebih lanjut, Koentjoro menyampaikan, jika ada sebutan raja, maka ada pengakuan dinasti dalam negara tersebut.

“Apakah ini ada dinasti sehingga raja, anak, dan menantunya menjabat sebagai bupati dan lain sebagainya? Apakah ini bukan suatu pengaruh kuat?” ujarnya.

Koentjoro menekankan, Indonesia sebagai negara demokrasi bukan kerajaan. Jika ada raja, berarti ada “penghambaan” suatu pihak atau orang tertentu ke seseorang yang disebut raja tersebut.

“Jika seseorang yang bukan raja, lalu diangkat sebagai raja berarti ada penghambaan seseorang kepada yang disebut raja tersebut. Padahal, sudah jelas, ini (Indonesia) negara demokrasi, bukan kerajaan,” kata Koentjoro.

Koentjoro mengungkapkan, penghambaan Raja Jawa di Indonesia terwujud melalui langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Keputusan Baleg DPR ini tidak mencapai keadilan seluruh rakyat dan jauh dari pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya. 

“DPR memiliki kepentingan untuk partainya dan penghambaan kepada Raja Jawa. Ini bentuk penghambaan kepada raja sehingga semua dipermainkan,” kata dia. 

Koentjoro menyatakan, ada pembodohan yang dilakukan Raja Jawa dalam konstitusi. “Raja Jawa menyuruh rakyat menghormati putusan lembaga negara. Artinya, ia menyuruh menghormati putusan dari MK dan DPR. Pernyataan ini menunjukkan penghindaran, tidak ada maknanya. Seharusnya, ia memberi petunjuk putusan ini benar atau enggak?” katanya.  

Koentjoro sangat menyayangkan penyebutan Raja Jawa di Indonesia sebagai negara demokrasi. Sebab, raja dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan suatu wilayah yang mengharuskan pihak lain tunduk. Indonesia tidak menganut sistem kerajaan karena semua dilakukan atas nama rakyat.

Pilihan Editor: Pro-Kontra Bahlil Gantikan Airlangga Hartarto Jadi Ketua Umum Golkar, Isrus Marham Vs Agung Laksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus