Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Banjir Dukungan untuk Korban UU ITE

Sebuah klinik kecantikan di Surabaya melaporkan konsumennya yang mengulas hasil perawatan di media sosial Instagram. Revisi UU ITE mendesak dilakukan.

15 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Stella Monica, pasien klinik kecantikan, tengah menanti vonis atas kasus pencemaran nama UU ITE.

  • Ia dilaporkan klinik kecantikan di Surabaya karena mengulas hasil perawatan.

  • Pegiat hak asasi mendesak pengadilan membebaskan Stella.

JAKARTA – Berbagai organisasi masyarakat mendesak hakim membebaskan Stella Monica dari jeratan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang mengatur pencemaran nama. Stella, 26 tahun, menambah panjang daftar nama korban pasal tersebut karena mengutarakan kritik di ruang publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga nirlaba pembela hak asasi manusia, Amnesty International Indonesia, berharap hakim Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Stella, pasien klinik kecantikan, dari segala tuntutan jaksa. Hukuman terhadap Stella dinilai bakal menambah panjang cedera hak kebebasan berpendapat. “Stella harus bebas karena ia menyampaikan kritik sebagai konsumen secara damai. Tak ada yang salah dari tindakannya,” kata Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Stella memasuki tahap akhir. Pekan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya akan membacakan putusan. Jaksa dalam sidang sebelumnya menuntut Stella dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 10 juta subsider 2 bulan kurungan.

Stella Monica di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, 28 Oktober 2021. Dokumentasi Pribadi.

Tuduhan pencemaran nama ini bermula pada awal 2019. Stella saat itu tengah menjalani perawatan kulit di klinik L’Viors di Surabaya. Pada akhir tahun yang sama, Stella memutuskan berhenti ke klinik itu karena merasa ketergantungan obat. Ia lalu mengunggah cerita tentang pengalamannya di klinik tersebut lewat media sosial Instagram Story. Banyak pengikutnya mengomentari dengan keluhan yang sama tentang hasil perawatan di L’Viors. Stella pun membagikan ulang cerita-cerita itu ke akun Instagram-nya.

Di sinilah kasus menjadi panjang. Klinik L’Viors merasa Stella mencemarkan nama dan memintanya memohon maaf di depan publik. Pada Juni 2020, polisi siber Kepolisian Daerah Jawa Timur menyelidiki kasus ini. Polisi memeriksa Stella sebagai saksi atas laporan klinik L’Viors.

Nurina mengatakan unggahan Stella di media sosial terhadap pelayanan L’Viors merupakan kritik di ruang publik sehingga tak berdasar untuk diadili. Keputusan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan kepolisian menyebutkan pendapat, penilaian, dan hasil evaluasi tak dapat dipidanakan. Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama juga hanya bisa diselidiki jika diadukan oleh perorangan, bukan korporasi, seperti klinik kecantikan.

Toh, kasus tetap berlanjut. Stella ditetapkan menjadi tersangka pada Oktober 2020. Berkas perkara Stella dilimpahkan ke kejaksaan dan berlanjut ke pengadilan. Sidang perdana digelar pada April lalu. Pada 21 Oktober, jaksa menuntut Stella dengan pidana 1 tahun penjara karena dinilai melanggar UU ITE. Jaksa mengklaim klinik juga bisa melaporkan Stella lantaran dianggap mempunyai marwah yang setara dengan perorangan.

Stella Monica, pelanggan klinik kecantikan di Surabaya, dituntut 1 tahun penjara. Bermula dari curhat di media sosial yang dianggap mencemarkan nama klinik.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai alasan klinik ini janggal. Korporasi berbeda dengan perorangan sehingga seharusnya Stella dibebaskan. “Jangan menawarkan jasa kalau tidak siap mendapat ulasan,” kata Habibus Salihin dari LBH Surabaya.

Dukungan dan desakan pembebasan terhadap Stella Monica juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Paguyuban Korban UU ITE, Institute for Criminal Justice Reform, serta sejumlah lembaga masyarakat sipil lainnya.

Stella juga mendapat dukungan dari 22 ribu orang yang meneken petisi ”Stella Monica Tak Bersalah, Stop Pidanakan Konsumen” di laman Change.org. Petisi yang ditulis Eni, ibu Stella Monica, itu meminta agar anaknya dibebaskan. Ia khawatir masa depan anaknya hancur karena kriminalisasi pasal karet itu. “Saya berharap ada keadilan untuk anak saya,” kata Eni.

Pasal 27 ayat 3 sudah menjerat banyak orang. Dosen Universitas Syiah Kuala Aceh, Saiful Mahdi, juga dijerat pasal yang sama karena mengkritik proses rekrutmen dosen dalam grup percakapan WhatsApp. Saiful lalu menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo pada pertengahan Oktober lalu. Amnesti Saiful adalah yang kedua dalam sejarah kepresidenan Jokowi. Amnesti pertama juga diberikan kepada korban pasal karet UU ITE.

Muhammad Arsyad dari Paguyuban Korban UU ITE mengatakan saat ini perkumpulannya tengah memantau sekitar 24 kasus mirip kasus Stella. Ia menilai revisi UU ITE amat mendesak agar kritik-kritik di ruang publik terjamin oleh negara.

INDRI MAULIDAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus