Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banjir terjadi untuk pertama kalinya di Desa Wadas, Purworejo, setelah pihak pemerintah membuka lahan untuk jalan ke lokasi tambang.
Warga Wadas khawatir bencana banjir akan lebih parah jika rencana penambangan batu andesit di Wadas diteruskan.
Banjir di Wadas menjadi bukti pemerintah abai terhadap lingkungan.
BUDIN, 32 tahun, bersama puluhan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sibuk membuat pelindung arus air yang mengalir dari atas lereng bukit menuju permukiman, Sabtu siang pekan lalu. Pelindung itu dimaksudkan agar air yang bercampur lumpur tersebut tidak menghantam rumah-rumah warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian warga lagi berusaha membersihkan gorong-gorong yang tertutup lumpur akibat air bah. Lalu warga lainnya mengatur aliran air bah menggunakan papan agar tidak langsung menerobos rumah ataupun musala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, hujan mengguyur Wadas. Setelah hujan berlangsung satu jam, terjadi banjir bandang dari lereng bukit ke arah permukiman. Arus air cukup deras, yang awalnya mengalir dari titik lokasi pembukaan lahan yang akan dijadikan jalan menuju ke area rencana tambang quarry atau penambangan terbuka batu andesit. Batuan ini akan dijadikan bahan baku pembangunan Bendungan Bener, yang berjarak sekitar 11 kilometer dari Wadas.
“Banjir ini yang pertama kali terjadi di Wadas,” kata Budin, Senin, 27 Maret 2023.
Ia mengatakan pihak kontraktor tambang mulai membuka lahan untuk dibuat jalan menuju lokasi tambang, beberapa hari lalu. Lahan yang dibuka itu persis berada di atas jalan utama Desa Wadas. Jadi, saat hujan deras pada Sabtu siang lalu, air hujan bercampur lumpur mengalir deras dari atas menuju jalan utama desa. Lalu air mengalir ke permukiman melalui jalan utama desa itu.
“Air mengalir sambil membawa lumpur. Kondisi ini membuat sumur sebagai sumber air bersih tidak bisa digunakan sampai sekarang,” ujar Budin.
Siswanto, 40 tahun, juga mengakui banjir bandang pada Sabtu lalu merupakan kejadian pertama di Wadas. Ia menyebutkan penyebab air bah ini adalah aktivitas pembukaan lahan untuk keperluan jalan menuju lokasi penambangan batu andesit. Pembukaan lahan tersebut mengakibatkan area resapan air di lereng-lereng Wadas berkurang.
Ia berharap banjir bandang ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk membatalkan rencana penambangan batu andesit di Wadas. Sebab, pembukaan lahan itu baru sekitar 2 hektare, tapi sudah mengakibatkan banjir.
Siswanto memprediksi banjir bandang di Wadas semakin parah ketika penambangan batu andesit dimulai. Area tambang itu direncanakan seluas 114 hektare.
“Baru membuat akses jalan saja, sudah terjadi banjir. Apalagi kalau sudah ada aktivitas tambang. Tanah kami bisa rusak,” kata Siswanto.
Ia bisa memperkirakan bagaimana risiko yang dihadapi warga Wadas jika penambangan quarry itu dilanjutkan.
Banjir di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 25 Maret 2023. Dok. Anggota Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo mengatakan banjir di Wadas terjadi akibat hujan deras. Lokasi banjir berada di dekat akses jalan masuk menuju quarry Bendungan Bener.
BPBD juga menyebutkan jalan di Wadas ditutup sementara akibat imbas banjir tersebut. Rencananya, pemerintah desa akan membuat tambahan gorong-gorong untuk melancarkan aliran air ketika hujan terjadi lagi.
Budin mengatakan penutupan jalan ini membuat akses ke pasar dan sekolah terdekat tertutup. “Kami jadi harus memutar satu desa. Itu dua kali perjalanan,” kata Budin.
Kontroversi penambangan quarry di Wadas berlangsung sejak 2018 lalu. Sebagian besar warga Wadas menentang rencana penambangan batu andesit di hutan desa mereka karena akan merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencarian masyarakat sebagai petani.
Mereka menggelar berbagai aksi penolakan, di antaranya pada 8 Februari 2022. Saat itu, pihak Badan Pertanahan Nasional hendak mengukur tanah warga yang setuju dijadikan lokasi tambang. Ratusan polisi yang mengamankan pengukuran tanah saat itu bertindak represif dan menangkap 60 warga. Belakangan, mereka dilepaskan.
Bendungan Bener masuk dalam proyek strategis nasional. Bendungan ini direncanakan akan mengaliri lahan sawah seluas 15.069 hektare. Proyek yang dimulai pada 2018 ini ditargetkan rampung tahun ini.
Dana proyek bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 2,06 triliun. Bendungan tersebut dikerjakan tiga perusahaan milik badan usaha milik negara, yaitu PT Brantas Abipraya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Waskita Karya Tbk.
Dalam pembangunan bendungan ini, pemerintah berencana mengambil batu andesit di Wadas. Izin bendungan itu satu paket dengan penambangan batu andesit di Wadas. Sesuai dengan rencana, pemerintah akan mengambil 15,53 juta meter kubik material batu andesit di Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener.
Proyek strategis nasional Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Bukti Pemerintah Abai terhadap Lingkungan
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan kawasan di sekitar Desa Wadas merupakan hutan lindung. Hutan semacam itu berfungsi sebagai penyangga supaya tidak terjadi banjir. “Namun pertambangan membuat penyangga hilang sehingga terjadi banjir,” kata Sekar, kemarin.
Sekar mengatakan aktivitas tambang berdampak besar terhadap ketersediaan air. Ketika musim kering, kata dia, air akan sulit didapatkan. Tapi, ketika musim hujan, air justru melimpah hingga mengakibatkan banjir karena pepohonan sudah ditebang.
Ia mencontohkan beberapa daerah di Kalimantan Selatan. “Area daerah aliran sungai atau penyimpan air dipakai untuk pertambangan sehingga airnya ke perkampungan,” kata Sekar.
Selain itu, kata dia, aktivitas pertambangan akan menghilangkan sebagian ekosistem. Biodiversitas tidak akan sebanyak sebelum ada pertambangan. Hewan-hewan juga akan pergi meninggalkan tempat itu. Apalagi, kata Sekar, warga Desa Wadas banyak yang membudidayakan lebah. Lebah tidak akan nyaman hidup di hutan yang kualitasnya kurang bagus. “Ujung-ujungnya, mata pencarian warga yang hilang,” ujarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Gandar Mahojwala, mengatakan bencana banjir menjadi bukti bahwa analisis pegiat lingkungan diabaikan. Aktivitas pertambangan meningkatkan kerentanan daya dukung lingkungan. Tidak ada lagi penyangga air sehingga peningkatan kerentanan banjir mudah terjadi. “Apalagi perbukitan Wadas itu menjadi penyangga Bedang Menoreh yang rawan bencana, terutama tanah longsor. Seharusnya ini tidak bisa ditambang,” kata Gandar.
Dia mengatakan daerah penyangga Bedang Menoreh ini rawan banjir dan tanah longsor meski tak ada tambang. Tapi keberadaan tambang quarry nantinya akan meningkatkan peluang terjadinya bencana. “Kajian ini juga sudah lama, bahkan pemerintah yang mengeluarkan,” katanya.
Gandar mendesak aktivitas penambangan di Wadas dihentikan. Ia menilai kegiatan pertambangan akan meningkatkan keterpaparan masyarakat Wadas terhadap bencana. “Keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas. Harus penghentian sepenuhnya,” ujar Gandar.
Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Yosiandi Redi Wicaksono, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai banjir di Wadas ini. Kepala Desa Wadas, Fahri Setyanto, mengatakan BBWSSO menerjunkan alat berat untuk mengganti gorong-gorong di Wadas. Gorong-gorong yang lama seluas 60 sentimeter diganti dengan saluran air ukuran 1 meter.
Siswanto mengakui BBWSSO memang bergegas mengganti gorong-gorong di Wadas setelah banjir terjadi, Sabtu lalu. “Tapi itu bukan solusi,” kata Siswanto. Masalah utamanya, kata dia, bukan urusan gorong-gorong, melainkan pembukaan lahan rencana penambangan quarry di Desa Wadas yang mengabaikan lingkungan.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo