Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bawaslu belum menelusuri aliran dana janggal temuan PPATK.
Bawaslu belum memberi tanggapan atas surat yang dikirim PPATK.
Bawaslu beralasan masih sibuk mengawasi laporan awal dana kampanye.
JAKARTA – Pegiat pemilu mempertanyakan komitmen Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menelusuri aliran dana mencurigakan yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab, hingga saat ini, Bawaslu belum sekalipun menyampaikan hasil dari penelusuran itu. “Karena temuan PPATK penting untuk melacak dana kampanye ilegal yang diduga berputar dan digunakan untuk kepentingan pemilu,” kata peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, kemarin, 9 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bawaslu, kata Kahfi, semestinya menyampaikan perkembangan hasil penelusuran mereka kepada publik. Jika memang ada kendala, Bawaslu tidak perlu ragu untuk menyampaikan hambatan yang dihadapi dalam penelusuran data dari PPATK tersebut. “Upaya ini penting untuk memastikan dana yang digunakan untuk kampanye itu ilegal atau tidak,” ujarnya. “Apalagi kalau melihat konteks data yang diberikan, bukan saja bisa dijatuhi sanksi administrasi, tapi juga sanksi pidana.”
Menurut Kahfi, Bawaslu bisa menelusuri temuan PPATK itu dengan memetakan aliran dana kepada pengurus partai hingga peserta pemilu. Temuan PPATK tersebut bisa membantu Bawaslu untuk berfokus dalam pengawasan laporan awal dana kampanye (LADK), laporan pemberi sumbangan dana kampanye (LPSDK), serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).
Adapun PPATK menemukan transaksi keuangan mencurigakan pada lebih dari 6.000 rekening pengurus partai hingga peserta pemilu. Transaksi janggal tersebut diduga digunakan untuk kepentingan Pemilu 2024.
Seorang pejabat PPATK menyebutkan ada beberapa transaksi keuangan yang mengarah pada politik uang. Misalnya, pada masa kampanye, ditemukan aliran dana miliaran rupiah yang masuk ke rekening seorang anggota pengurus partai politik. Tidak berselang lama, uang di rekening tersebut ditukar dengan mata uang pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu. “Ini jadi pertanyaan, untuk apa penukaran uang itu? Apakah untuk transportasi atau politik uang?” kata pejabat PPATK ini. “Kejadiannya juga baru.”
Contoh lain, ada rekening bendahara partai politik yang menampung uang hingga ratusan miliar rupiah. PPATK kemudian mendapati pergerakan yang masif dari rekening tersebut ke rekening sejumlah calon legislator. Padahal rekening khusus dana kampanye (RKDK) peserta pemilu sama sekali tidak bergerak alias tak ada transaksi keuangan.
Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
PPATK juga mencium transaksi keuangan yang mencapai triliunan rupiah pada ribuan rekening tersebut berasal dari kegiatan ilegal, seperti penambangan ilegal, perambahan hutan, penjualan satwa liar, pencucian uang, hingga indikasi korupsi. Duit yang diduga dari hasil kejahatan tersebut ditengarai, di antaranya, dipergunakan untuk kegiatan kampanye pemilu.
PPATK juga menemukan aliran dana pinjaman dari sebuah bank perkreditan rakyat di Jawa Tengah kepada sekelompok debitor. Duit kredit itu belakangan diduga dikumpulkan ke seorang pengusaha, lalu dialirkan lagi ke sejumlah korporasi dan koperasi. Korporasi ataupun koperasi di hilir aliran duit tersebut diduga terafiliasi dengan sejumlah pentolan partai di daerah.
Peneliti dari Forum Indonesia Transparansi Anggaran (Fitra), Gurnadi Ridwan, curiga Bawaslu memang tidak pernah menelusuri temuan yang disampaikan PPATK tersebut. “Padahal, dengan potensi transaksi elektronik saat ini, sangat memungkinkan terjadi modus pencucian uang atau serangan fajar berbasis uang digital,” ujarnya.
Pendapat serupa disampaikan oleh dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Menurut dia, Bawalsu sepertinya memang tidak memprioritaskan isu aliran dana kampanye ini sebagai bagian dari pengawasan. Dengan demikian, temuan PPATK banyak yang tidak ditindaklanjuti. “Padahal UU Pemilu mengatur pemidanaan bagi yang memanipulasi pelaporan dana kampanye,” ujarnya. “Hanya, pembuktiannya selama ini tidak pernah dilakukan.”
Adapun hukuman pidana bagi peserta pemilu yang tidak memberikan keterangan dengan benar tentang laporan dana kampanye diatur dalam Pasal 496 Undang-Undang Pemilu. Ancaman hukuman bagi mereka yang melanggar adalah hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan denda Rp 12 juta. Selain itu, pada Pasal 497 Undang-Undang Pemilu, dinyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Namun pasal pidana tersebut tidak bergigi. Sebab, selama ini uji faktualitas pengeluaran dana kampanye caleg tidak pernah dibandingkan dengan pelaporan dana kampanye yang dilaporkan kepada partai. Walhasil, hingga saat ini, tidak pernah ada temuan pelanggaran. Bawaslu juga tidak menjadikan laporan dana kampanye sebagai isu prioritas pengawasan. “Kewenangan yang besar dan banyak tidak efektif dilakukan untuk pengawasan dana kampanye,” ujar Titi.
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Pemilu 2004 dan 2009, kata Titi, ditemukan aliran dana janggal. Kejanggalan ini muncul karena penyumbang dana tidak sesuai dengan profil orang yang memiliki kemampuan. Misalnya terdapat tukang tambal ban yang menyumbang ratusan juta rupiah kepada salah satu peserta pemilu.
Selain itu, terdapat temuan sumbangan jumbo dari satu perusahaan yang disalurkan secara terpecah-pecah. Tujuannya mengaburkan identitas sumber dana agar terlihat seolah-olah berasal dari banyak penyumbang. “Padahal kalau ditelusuri, dananya bersumber dari satu orang, tapi dipecah melalui beberapa pihak atau anak perusahaan.”
PPATK Berkali-kali Surati Bawaslu
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan telah beberapa kali melayangkan surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu untuk berkoordinasi guna membahas tindak lanjut atas temuan PPATK. Namun Bawaslu belum memberikan tanggapan atas surat-surat tersebut. “Hingga saat ini sudah beberapa kali surat informasi kami sampaikan kepada Bawaslu khususnya,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Ivan, baru KPU yang merespons dan mempelajari surat yang disampaikan PPATK. KPU juga telah mengundang PPATK untuk membahas temuan aliran janggal transaksi keuangan pengurus dan penyelenggara pemilu. “Sudah ada rapat dengan KPU terkait dengan surat kami,” ucapnya.
Menurut pelaksana tugas Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Handoko, pertemuan dengan KPU digelar sebelum libur Natal lalu. Dalam pertemuan itu, KPU menyatakan penelusuran atas transaksi mencurigakan peserta pemilu menjadi kewenangan Bawaslu. “Memang bukan ranah KPU dan kami sudah memberikan gambaran umum terhadap temuan transaksi mencurigakan itu kepada KPU,” ujarnya. “Yang ditunggu tindak lanjut Bawaslu karena kami sudah mengirim beberapa surat kembali ke mereka.”
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja (kanan) serta anggota Bawaslu, Puadi, memberikan keterangan ihwal surat dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Media Center Bawaslu, Jakarta, 19 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Anggota KPU, Idham Holik, membenarkan PPATK telah membantu penyelenggara pemilu mengawasi transaksi keuangan kampanye. Namun temuan PPATK itu tidak masuk dalam obyek yang dicermati KPU. Sebab, kewenangan KPU hanya sebatas mencermati dan meminta lembaga akuntan publik mengaudit rekening khusus dana kampanye. “Sedangkan yang diserahkan PPATK bukan hasil pencermatan RKDK, tapi rekening partai, pengurus partai, dan masing-masing individu peserta pemilu, yang bukan menjadi kewenangan KPU,” ujarnya.
Adapun KPU menerima surat informasi adanya temuan transaksi janggal dari PPATK pada 12 Desember lalu. Dalam keterangannya, PPATK menjelaskan bahwa transaksi keuangan yang mereka analisis tersebut berpotensi digunakan untuk penggalangan suara yang akan merusak demokrasi Indonesia. Salah satu laporan yang disampaikan kepada KPU adalah temuan PPATK atas data transaksi janggal yang tercatat di rekening salah satu bendahara partai selama periode April-Oktober 2023. Jumlah transaksi gelap di rekening itu mencapai lebih dari Rp 500 miliar. “Tindak lanjut atas temuan itu menjadi kewenangan Bawaslu dalam pengawasannya,” ujarnya.
Komisioner Bawaslu, Puadi, mengatakan belum bisa menindaklanjuti temuan PPATK karena masih berfokus menangani laporan awal dana kampanye. Sebab, tenggat penyerahan dokumen LADK itu jatuh pada 7 Januari 2024, bahkan tenggat itu harus diperpanjang karena banyak LADK peserta pemilu yang belum memenuhi ketentuan. “Kami tidak terlalu jauh memikirkan pekerjaan lain karena mesti berfokus pada apa yang ada di depan mata,” katanya. “Sekarang sedang menginventarisasi atas pengawasan LADK.”
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo