Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Beda Pendapat Angka Parliamentary Threshold

Partai politik non-parlemen menghendaki angka ambang batas parlemen menjadi nol persen. Partai di DPR menentangnya.

 

2 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA Partai politik berbeda pendapat dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen. Sebagian partai politik sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Dwiyanto Soeparno menilai penghapusan ambang batas tersebut sudah sejalan dengan sikap partainya yang didengungkan sejak Pemilihan Umum 2019. Eddy mengakui ada dua konsekuensi berbeda atas penghapusan ambang batas parlemen ini. Pertama, penghapusan ini akan berdampak pada agenda penyederhanaan partai politik. Di sisi lain, putusan tersebut akan mengurangi perolehan suara partai yang terbuang dalam pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itu merupakan solusi yang baik di mana kita tetap bisa memanfaatkan seluruh kemampuan suara yang ada sehingga tidak ada lagi yang hilang atau mubazir,” kata Eddy, Jumat, 1 Maret 2024.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Buruh Ilhamsyah sependapat dengan Eddy. Ia mengatakan Partai Buruh sejak awal menghendaki pemilu legislatif tanpa ambang batas parlemen atau nol persen.

“Adanya ambang batas merupakan pemberangusan kedaulatan rakyat yang sudah diberikan kepada partai politik atau calon anggota legislatif saat pemilu,” kata Ilhamsyah.

Sebelum putusan uji materi Mahkamah Konstitusi tersebut, kata dia, Partai Buruh sudah mendorong Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Pemilu, di antaranya menghapus ketentuan ambang batas parlemen. Tapi sebagian legislator di Senayan justru mendorong kenaikan angka parliamentary threshold di atas 4 persen.

Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Fransiskus Taslim berpendapat bahwa ambang batas parlemen tetap dibutuhkan untuk mendorong demokrasi yang sehat. Adanya parliamentary threshold dimaksudkan untuk mewujudkan penyederhanaan partai politik. Jadi nantinya, kata dia, partai-partai yang seideologi dan seplatform akan bergabung menjadi satu kekuatan partai politik yang besar.

“Ambang batas ini untuk mewujudkan jumlah partai yang ideal dalam keikutsertaan di pemilu,” kata Hermawi.

Hermawi menghormati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dia juga tetap berharap ambang batas parlemen tidak diturunkan saat revisi UU Pemilu nantinya, melainkan justru dinaikkan secara bertahap. “Agar terjadi penyederhanaan partai secara alami,” katanya.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas parlemen di Gedung MK, Jakarta, 29 Februari 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Dua hari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari uji materi Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen. Mahkamah Konstitusi menyatakan ambang batas parlemen sebesar 4 persen tetap berlaku pada Pemilu 2024 dan berlaku secara konstitusional bersyarat pada Pemilu 2029 serta pemilu berikutnya setelah angka parliamentary threshold diubah. Mahkamah Konstitusi menyatakan besaran angka ambang batas parlemen berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya, menyatakan besaran angka ambang batas menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Perubahan ambang batas parlemen itu harus memperhatikan lima hal. Kelima hal tersebut adalah (1) didesain untuk digunakan secara berkelanjutan, (2) perubahan ambang batas parlemen tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR. 

(3) Perubahan ambang batas parlemen harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik, (4) perubahan itu harus tuntas sebelum dimulainya penyelenggaraan Pemilu 2029, (5) perubahan itu melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati. Dok. TEMPO/ Nurdiansah

Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)—pemohon uji materi Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu—mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia menilai selama ini pembentuk undang-undang tidak memiliki alasan yang rasional dalam menentukan angka ambang batas. Mereka hanya berdalih bahwa angka itu untuk menyederhanakan partai politik. 

Faktanya, kata dia, penerapan angka parliamentary threshold yang tinggi justru meningkatkan jumlah suara terbuang sehingga mengakibatkan hasil pemilu tidak proporsional. Misalnya, jumlah suara terbuang pada Pemilu 2004 sebesar 19 juta dan pada Pemilu 2019 sebanyak 13,5 juta.

“Putusan MK menyatakan harus dihitung ulang untuk Pemilu 2029. Tapi rumusnya yang mana, itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang,” kata Khoirunnisa.

Sampai saat ini partai politik di Senayan masih mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi itu. Mereka belum dapat berkonsentrasi mempelajarinya karena tengah berfokus mengawal proses rekapitulasi suara Pemilu 2024. Proses rekapitulasi suara sudah memasuki tahap penghitungan di Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota.

“Saat ini kami masih mempelajari putusan tersebut, apa dampak dan manfaatnya,” kata Eddy. 

Anggota Komisi II DPR yang membidangi urusan pemerintahan, Guspardi Gaus, memastikan Dewan akan menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia pun memastikan angka ambang batas parlemen tidak akan turun hingga nol persen. 

“Putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak melarang ambang batas. Hanya tidak aspiratif jika di angka 4 persen,” kata politikus PAN ini. “Jadi yang dievaluasi nilai 4 persen itu, bukan menghilangkan ambang batas parlemen.”

RUSMAN PARAQBUEQ | ANDI ADAM FATURAHMAN | EKA YUDHA SAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus