Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Beda Sikap Pakar Hukum Tata Negara Soal Hak Angket, dari Jimly Asshiddiqie hingga Mahfud Md

Jimly Asshiddiqie mengimbau substansi isu yang dipertimbangkan dalam hak angket tak melebar ke isu-isu liar seperti pemakzulan Presiden.

26 Februari 2024 | 05.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengusulkan agar partai pendukungnya yaitu PDIP dan PPP yang ada di parlemen menggulirkan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pemilu 2024. Usul itu mengemuka seiring pelbagai tudingan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wacana hak angket DPR itu disikapi secara berbeda oleh pelbagai pihak, termasuk oleh para pakar hukum tata negara. Bagaimana sikap mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Herdiansyah Hamzah

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, penggunaan hak angket untuk mendorong DPR mengusut dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 bisa berujung pada pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia menyebutkan alur hak angket berawal dari persetujuan di DPR, lalu berlanjut dengan proses penggunaan hak menyatakan pendapat.

Dia mengatakan hak menyatakan pendapat itu kemudian akan diuji di Mahkamah Konstitusi atau MK yang akan menyatakan adanya pelanggaran serius Presiden terhadap undang-undang. 

“Setelah itu, DPR dapat melakukan proses impeachment,” kata Herdiansyah seperti dikutip dalam Koran Tempo edisi Jumat, 23 Februari 2024. 

2. Jimly Asshiddiqie

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menilai rencana penggunaan hak angket sebagai proses politik di DPR harus dilihat secara positif dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas. 

Mantan Ketua MK dan Majelis Kehormatan MK itu mengatakan hak angket selalu digunakan oleh DPR pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Hak angket oleh DPR mencerminkan berjalannya fungsi checks and balances antarcabang kekuasaan eksekutif vs legislatif sebagai perwujudan sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945," ujar Jimly dalam keterangan tertulis pada Ahad, 25 Februari 2024.

Jimly menilai proses hukum penyelesaian perkara harus pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu. Dia mengatakan proses hukum itu dapat melalui peradilan administrasi di Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil pemilu di MK.

Menurut dia, proses politik dan hukum ini bertujuan memindahkan ketidakpuasan dan kemarahan publik terhadap proses dan hasil pemilu, terutama hasil pilpres, melalui mekanisme yang resmi ke ruang-ruang sidang yang resmi di DPR, Bawaslu, atau MK. "Kedua proses politik dan hukum ini sama-sama penting," ujarnya.

Jimly mengimbau substansi isu yang dipertimbangkan dalam hak angket tidak melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan Presiden dan pembatalan hasil pemilu. "Isu-isu liar yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP," kata dia.

3. Fahri Bachmid

Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mengatakan DPR berhak menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Namun penggunaannya seharusnya dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif, seperti pemerintah.

“Bukan untuk menilai atau membahas proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya,” kata Fahri seperti dikutip Koran Tempo edisi Jumat, 23 Februari 2024.

Fahri berpendapat rencana penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu jauh dari prinsip konstitusi. Ia menyebut Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengatur penyelesaian sengketa pemilu melalui MK, bukan lewat hak angket. 

“Jalan ke MK itu mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata Fachri.

4. Mahfud Md

Pakar hukum tata negara yang juga calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud Md mengatakan DPR sangat boleh mengajukan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Dia membantah anggapan yang menyatakan dugaan kecurangan Pemilu tidak cocok diselidiki menggunakan hak angket

"Kalau bolehnya sangat-sangat boleh. Ini kan sekarang seakan disebarkan pembicaraan juru bicara- juru bicara untuk mengatakan angket itu tidak cocok, siapa bilang tidak cocok," kata Mahfud melalui keterangan tertulis pada Ahad, 25 Februari 2024.

Namun, Mahfud menyebutkan hak angket tak bisa mengubah keputusan Komisi Pemilihan Umum dan MK soal hasil Pemilu. Sebab, kata dia, hasil Pemilu atau sengketa Pemilu di KPU dan MK memiliki jalurnya sendiri.

Mahfud menuturkan hak angket dapat diajukan oleh DPR kepada pemerintah ihwal kebijakan-kebijakan yang diambil. Dia menilai kebijakan pemerintah dalam Pemilu juga dapat menjadi sasaran hak angket, tetapi hak angket tak bisa ditujukan untuk hasil Pemilu.

"Yang bisa diangket pemerintah, kalau ada kaitan dengan pemilu, boleh, kan kebijakan, kemudian dikaitkan dengan pemilu. Tapi, yang diperiksa tetap pemerintah. Itu tinggal politik saja," kata Mahfud.

5. Yusril Ihza Mahendra

Yusril Ihza Mahendra mengatakan penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya, khususnya soal pemilihan presiden, hendaknya diselesaikan di MK, bukan menggunakan hak angket DPR. 

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulis pada Kamis, 22 Februari 2024.

Menurut Yusril, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pemilu presiden pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Dia menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.

"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," kata Yusril.

HAN REVANDA PUTRA | ADIL AL HASAN | ANNISA FEBIOLA | KORAN TEMPO

Sapto Yunus

Sapto Yunus

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus