Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serba Janggal Penangkapan Pengurus Khilafatul Muslimin

Kepolisian menangkap pengurus Khilafatul Muslimin beberapa jam sebelum mereka menyerahkan diri. Mereka disangka anti-Pancasila dan mengancam NKRI.

13 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penangkapan yang mendahului penyerahan diri ke polisi dianggap hendak membingkai jemaah Khilafatul Muslimin berbahaya dan mengerikan.

  • Sumber uang Rp 2,4 miliar yang disita diklaim berasal dari jemaah Khilafatul Muslimin.

  • Pakar hukum menilai tindakan jemaah Khilafatul Muslimin menyebar konsep khilafah bukan perbuatan terlarang.

JAKARTA – Langkah polisi yang terus menangkapi para pengurus Khilafatul Muslimin terkesan janggal. Penangkapan pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, dan lima anak buahnya dianggap dipaksakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemimpin Khilafatul Muslimin wilayah Bekasi, Abu Salma, menceritakan penangkapan para koleganya tersebut. Misalnya, penangkapan teranyar terhadap pendiri Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin, Suryadi Wironegoro, di Medan, Sumatera Utara; dan bendahara Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin, Faishol, di Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu malam lalu. Abu Salma mengatakan, sebelum penangkapan, pengurus Khilafatul Muslimin sudah siap menyerahkan keduanya ke polisi. Bahkan mereka sudah berkoordinasi dengan kepolisian terkait dengan proses penyerahan keduanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Suryadi sebagai pendiri yayasan sudah mau menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya dan saya yang akan antar jam 6 sore,” kata Abu Salma, Ahad, 12 Juni 2022. “Tapi tiba-tiba jam 12 siang ditangkap. Padahal sudah koordinasi sebelumnya dengan pihak kepolisian.”

Abu Salma menduga penangkapan pengurus Khilafatul Muslimin yang mendahului rencana penyerahan diri mereka ke polisi bertujuan untuk membingkai Khilafatul Muslimin sebagai organisasi berbahaya dan mengerikan. Padahal Khilafatul Muslimin tak berkeinginan mengganti pemerintahan yang sah dan tidak anti-Pancasila.

Menurut Abu Salma, kepolisian dan pemerintah semestinya membuka ruang dialog jika Khilafatul Muslimin dianggap melenceng. Jemaah Khilafatul Muslimin juga terbuka untuk diedukasi. Namun, kata dia, kepolisian justru terkesan hendak menstigma bahwa Khilafatul Muslimin adalah kelompok radikal, teroris, dan berpeluang memberontak kepada pemerintah.

“Kalau memang seperti itu, saya yang pertama kali keluar dari organisasi ini. Kami di Khilafatul Muslimin cinta perdamaian dan tidak pernah mau memberontak,” ujarnya.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulfan, memberikan keterangan pers terkait dengan penangkapan sejumlah anggota Khilafatul Muslimin di Polda Metro Jaya, Jakarta, 12 Juni 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulfan, mengatakan penangkapan para pengurus Khilafatul Muslimin itu dilakukan karena pemahaman mereka mengancam ideologi Pancasila serta menyebar berita bohong. Dua orang yang ditangkap pada Sabtu lalu, Suryadi dan Faishol, dianggap vital dalam penyebaran ideologi Khilafatul Muslimin.

“Kedua orang yang baru ditangkap berperan sentral dalam pergerakan dan penyebaran ideologi organisasi,” kata Zulfan lewat keterangan tertulis, kemarin.

Sebelum menangkap keduanya, Polda Metro Jaya menangkap Abdul Qodir Hasan Baraja di Kota Bandar Lampung, Selasa pekan lalu. Empat hari berselang, polisi menciduk Abdul Azis dan Ali Imron. Keduanya pengurus Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah Khilafatul Muslimin di Margodadi, Sumber Jaya, Lampung.

Keenam orang tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 59 ayat 4 juncto Pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 14 ayat 1 dan 2, serta Pasal 15 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Pasal-pasal ini di antaranya mengatur kegiatan separatis yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan penyebaran paham anti-Pancasila dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun penjara.

Penangkapan mereka berawal dari konvoi jemaah Khilafatul Muslimin di Jakarta dan di beberapa daerah, akhir Mei lalu. Mereka berkonvoi untuk mengkampanyekan sistem khilafah atau pemerintahan Islam. Berdasarkan versi mereka, sistem khilafah ini bukan berarti hendak mengganti pemerintahan yang sah. Jemaah Khilafatul Muslimin menjalankan metode kampanye tersebut sejak 2017.

Setelah aksi itu viral di media sosial, kepolisian terpicu untuk menangkapi pengurus Khilafatul Muslimin. Polda Metro Jaya bahkan membentuk satuan tugas khusus untuk menangani organisasi ini. “Satgas ini dibentuk agar penyidikan bisa lebih fokus mengungkap fakta yang lebih dalam soal organisasi massa ini,” kata Zulfan.

Pengurus Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah Khilafatul Muslimin, Ali Imron, tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta,12 Juni 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Selain menangkap para pengurusnya, polisi menggeledah kantor pusat Khilafatul Muslimin di Lampung. Di markas ini, polisi menyita uang Rp 2,4 miliar yang tersimpan dalam brankas. Polisi juga menyita buku, buletin, dan dokumen yang berisi tentang ideologi khilafah.

Abu Salma berdalih bahwa uang itu berasal dari sumbangan jemaah Khilafatul Muslimin, yang jumlahnya mencapai 12 ribu orang di seluruh Indonesia. Khilafatul Muslimin juga mencatat asal uang tersebut. “Uang itu bisa dipertanggungjawabkan dana dari umat,” kata Abu Salma.

Peneliti terorisme, Arif Budi, menganggap tindakan polisi itu merupakan reaksi akibat konvoi jemaah Khilafatul Muslimin telanjur viral di media sosial. “Ini karena viral dan dianggap meresahkan. Jadi, polisi perlu melakukan tindakan,” kata mantan narapidana terorisme ini.

Penulis buku Internetistan: Jihad Zaman Now itu mengatakan seorang anggota Khilafatul Muslimin menjelaskan kepadanya bahwa makna paham khilafah versi mereka adalah kepemimpinan dalam agama, bukan dalam bernegara. Karena itu, Khilafatul Muslimin tidak menentang Pancasila ataupun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Mereka hanya melakukan dakwah untuk menyadarkan umat bahwa kelak ada khilafah yang menyatukan seluruh muslimin,” kata Arif.

Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, menguatkan pendapat Arif. Mudzakkir menilai reaksi polisi terhadap Khilafatul Muslimin tersebut mengesankan bahwa polisi terperangkap islamofobia. Padahal tidak ada tindakan Khilafatul Muslimin yang mengancam negara ataupun mengarah ke perbuatan makar terhadap Pancasila.

“Sebaiknya polisi menghentikannya agar hukum pidana benar-benar ditegakkan secara benar dan tepat serta berkeadilan,” katanya.

Selain itu, kata Mudzakkir, penyebaran konsep khilafah oleh jemaah Khilafatul Muslimin bukan perbuatan terlarang. Sebab, ideologi yang dilarang di Indonesia hingga saat ini hanya marxisme, leninisme, dan komunisme sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, serta dimuat dalam Pasal 107a dan 107 KUHP.

“Saya melihat Khilafatul Muslimin dicari-cari ancaman yang berat agar bisa menahan mereka. Padahal, kalau dikaji secara mendalam, perbuatan mereka tidak bisa dianggap masuk dalam perbuatan makar Pancasila,” kata Mudzakkir.

IMAM HAMDI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus