Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dianggap tak serius memberi legalitas atas hak tanah kepada masyarakat.
Konflik agraria tak akan tuntas selama pemerintah terus menerbitkan izin konsesi ke perusahaan, yang beririsan dengan lahan masyarakat.
Penetapan TORA terhambat tumpang-tindih lokasi dengan izin konsesi perusahaan.
JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik realisasi program reforma agraria, khususnya pelepasan kawasan hutan. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan selama ini pelepasan kawasan hutan tidak diprioritaskan di wilayah yang mengalami konflik agraria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal banyak konflik tanah antara warga dan perusahaan di berbagai daerah berada dalam kawasan hutan. Warga juga rata-rata sudah lama bermukim atau mengelola lahan tersebut, sebelum perusahaan datang karena mendapat konsesi dari pemerintah. “Agenda reforma agraria ini seharusnya merombak ketimpangan dalam penguasaan tanah, yang dimonopoli oleh perusahaan,” kata Dewi, Selasa, 25 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan, dalam program reforma agraria, pemerintah semestinya menentukan batas kawasan hutan yang dikelola perusahaan ataupun batas desa. Sebab, fakta di lapangan, puluhan ribu desa masih dikategorikan kawasan hutan.
Menurut dia, selama ini pemerintah tidak serius memberikan legalitas atas hak tanah kepada masyarakat. Buktinya, kata dia, pemerintah justru memilih opsi lain melalui program perhutanan sosial. Lewat program ini, pemerintah hanya memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, bukan penguasaan atas lahan tersebut. “Padahal seharusnya pemerintah merealisasi redistribusi tanah,” ujar Dewi.
Pemukiman warga yang berada di tengah hutan di Nagari Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat, 6 Juli 2023. ANTARA/Iggoy el Fitra
Dalam reforma agraria ini, pemerintahan Joko Widodo menargetkan menyediakan tanah obyek reforma agraria (TORA) seluas 9 juta hektare. Target ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024. Target ini meliputi legalisasi aset dan redistribusi tanah, yang masing-masing seluas 4,5 juta hektare. Untuk mempercepat realisasi target tersebut, pemerintah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) pada 2018.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ditugaskan untuk menyediakan TORA yang berasal dari kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare. Kementerian Lingkungan Hidup juga menyediakan akses pengelolaan kawasan hutan lewat agenda perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, mengatakan pihaknya sudah menyediakan 2,9 juta hektare TORA. Separuh dari luasan tersebut berasal dari kawasan hutan dan hutan produksi konversi (HPK) yang tidak produktif. Sisanya melalui penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan (PPTPKH) seluas 1.469.222 hektare.
Ia menyebutkan warga yang bermukim minimal lima tahun di dalam kawasan hutan akan mendapatkan lahan maksimal seluas 5 hektare. Lahan tersebut akan ditetapkan sebagai kawasan TORA dengan skema PPTPKH.
Selanjutnya, lokasi TORA akan masuk ke dalam peta indikatif PPTPKH. Peta ini diperbarui setiap enam bulan sekali untuk mengakomodasi usulan masyarakat. "Kami membentuk tim inventarisasi dan verifikasi PPTPKH di setiap provinsi untuk percepatan pelepasan kawasan hutan," kata Ruandha lewat keterangan tertulis, kemarin.
Ruandha mengakui ada beberapa hambatan dalam proses penetapan kawasan TORA. Hambatan itu di antaranya pemerintah daerah kurang siap mengidentifikasi penguasaan lahan pada lokasi yang diusulkan serta terjadi tumpang-tindih antara area rencana TORA dan izin konsesi perusahaan. "Untuk itu, kami memiliki strategi untuk mengoptimalkan peran GTRA di tingkat pusat dan daerah," kata dia.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK, Bambang Supriyanto, mengatakan realisasi program perhutanan sosial sudah mencapai 5,6 juta hektare dari target 12,7 juta hektare. Pihaknya terhambat beberapa persoalan dalam mempercepat program tersebut. Di antaranya, keterbatasan sumber daya manusia, kelembagaan, dan dana. "Di samping itu, memastikan bahwa area yang diberikan akses kelola clear dan clean," kata Bambang, lewat keterangan tertulis, kemarin.
Bambang mengatakan konflik agraria bersifat multidimensi dan lintas sektoral. Karena itu, strategi percepatan reforma agraria dengan jalan melibatkan peran para pihak sejak awal asesmen. Misalnya, melibatkan pemerintah daerah untuk memastikan area yang diberikan akses clear dan clean serta subyek dan obyeknya tepat sasaran.
"Apabila ada konflik di dalamnya, harus diselesaikan lebih dulu, baru dapat diberikan persetujuan perhutanan sosial," kata Bambang.
Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), Roni Usman Kusmana, menilai Kementerian Lingkungan Hidup lamban dalam mencapai target perhutanan sosial. Padahal opsi pemberian akses pengelolaan hutan ini mampu meredam konflik agraria di berbagai daerah. "Adanya perhutanan sosial ini ada kemungkinan akan membuat rasa keadilan bisa terpenuhi," kata Roni.
Ia berpendapat bahwa program perhutanan sosial di daerah terhambat akibat pemerintah daerah tidak memasukkannya ke program kerja. Dengan demikian, saat pemerintah pusat akan mengeksekusi di lapangan, pemerintah daerah tak banyak membantu. "Perlu kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah," kata dia.
Kawasan hutan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 16 Juni 2023. ANTARA/Raisan Al Farisi
Konflik Agraria Makin Marak
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala, mengatakan pemerintah tidak memiliki kebijakan komprehensif untuk menyelesaikan akar masalah konflik agraria. Padahal pemerintah seharusnya membuat kebijakan berdasarkan indikator akar masalah. Namun, fakta di lapangan, masing-masing kementerian dan lembaga mempunyai program reforma agraria yang justru tidak sejalan dan malah menyulitkan proses penyelesaian konflik agraria tersebut.
"Misalnya, KLHK membuat tim ini dan ATR/BPN membuat satuan tugas. Kebijakan ini tak terkait," kata Satrio.
Ia menilai selama ini pemerintah tidak membuat batas waktu penyelesaian konflik agraria di lapangan. Selain itu, GTRA di tingkat kabupaten sulit bergerak karena keterbatasan anggaran. "Kalaupun punya dana, mereka bingung cara menyelesaikannya karena tak ada aturan jelas," kata Satrio.
Menurut Satrio, konflik agraria ini tak akan tuntas selama pemerintah terus menerbitkan izin konsesi kepada perusahaan, yang justru beririsan dengan lahan masyarakat. Di samping itu, pemerintah tidak transparan sejak awal dalam proses pemberian izin tersebut sehingga masyarakat kesulitan mengontrolnya.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo