Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reformasi di Polri masih jalan di tempat.
Vonis terhadap Teddy Minahasa membuktikan polisi justru menjadi pelaku kejahatan.
Masyarakat berperan untuk mengawasi kinerja kepolisian.
JAKARTA – Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai reformasi di tubuh kepolisian belum sepenuhnya berjalan. Praktik-praktik penyelewengan masih sering ditemukan, dari level bawah hingga atas. Alih-alih menjadi bhayangkara negara yang melindungi masyarakat, ada saja polisi yang justru menjadi pelaku pelanggaran hukum. “Pelanggaran ini tidak lepas dari peninggalan budaya lama, polisi menempatkan diri sebagai mandor atau penguasa,” ujar Abdul, Selasa, 9 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ungkapan Abdul itu disampaikan untuk menanggapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menjatuhi hukuman seumur hidup kepada Inspektur Jenderal Teddy Minahasa. Majelis hakim menilai Teddy, ketika masih menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, terbukti terlibat dalam peredaran narkoba. Perbuatannya itu melanggar Pasal 114 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus narkoba yang melibatkan Teddy ini terkuak setelah Polda Metro Jaya menangkap tiga pengedar sabu di Jakarta. Para pengedar itu mengaku mendapat pasokan sabu dari anggota Kepolisian Sektor Kalibaru, Tanjung Priok, Ajun Inspektur Dua Achmad Darmawan. Sedangkan Achmad mendapat barang haram tersebut dari atasannya, Komisaris Kasranto.
Dalam penelusuran berikutnya, polisi kemudian menangkap bandar narkoba bernama Linda Pujiastuti. Kepada penyidik, Linda mengaku mendapat sabu itu dari Kapolres Bukittinggi, Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara. Dody inilah yang kemudian menyebut nama Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa.
Teddy Minahasa menjalani sidang vonis atas tuntutan hukuman mati di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 9 Mei 2023. TEMPO/Subekti
Abdul mengatakan Teddy Minahasa merupakan contoh perwira polisi yang memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi. Perbuatan yang dilakukan Teddy jelas bertentangan dengan janji reformasi di tubuh Polri. Meski demikian, Abdul menilai, secara umum, Polri sebenarnya telah mengalami perbaikan. Namun pemimpin Polri harus lebih tegas lagi untuk menindak anggotanya yang terbukti mencoreng institusi penegakan hukum. Kapolri tidak boleh mentoleransi pelanggaran sekecil apa pun. Sebab, polisi adalah garda terdepan dalam menjaga citra aparatur hukum.
Baca: Reformasi Polri dan Rusaknya Tata Kelola Pemberantasan Narkotik
Pada masa lalu, kata Abdul, sering ditemukan anggota Polri yang menjadi backing tokoh atau lembaga tertentu. Praktik itu masih terjadi hingga sekarang. Padahal praktik ini rawan penyalahgunaan wewenang dan menjurus ke arah pidana. “Kalau yang di-backing-i orang baik, enggak apa-apa. Yang repot itu, kalau yang di-backing-i adalah penjahat, bandar judi, atau bos usaha ilegal,” ujarnya.
Teddy bukanlah satu-satunya anggota Polri yang mencoreng nama institusi kepolisian. Sebelumnya, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Perwira polisi berpangkat terakhir inspektur jenderal itu dinyatakan terbukti bersalah membunuh anak buahnya secara terencana.
Ada juga mantan anggota Kepolisian Resor Samarinda, Ismail Bolong, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tambang ilegal di Kalimantan Timur. “Masih banyak memang oknum-oknum yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan bisnisnya yang seperti ini,” kata Abdul. “Sebaiknya disuruh memilih saja, mau bisnis atau mau jadi polisi. Kalau tetap melanggar, pecat saja.”
Pengamanan Barang Bukti Diperketat
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, mengatakan perkara Teddy Minahasa sudah ditangani pengadilan. Bahkan mantan Kapolda Sumatera Barat itu juga sudah dijatuhi hukuman. “Kami hargai putusannya. Siapa yang tidak menerima, bisa banding,” ujar dia.
Ahmad menegaskan, Polri bersungguh-sungguh membenahi internal organisasi. Karena itu, setiap anggota yang terbukti melanggar aturan akan ditindak sesuai dengan bentuk pelanggarannya. “Ini bentuk komitmen kami bersih-bersih dengan serius,” katanya.
Majelis hakim dalam sidang Teddy Minahasa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 9 Mei 2023. TEMPO/Subekti
Dalam kasus Teddy, kata Ahmad, bentuk pelanggarannya adalah penggelapan barang bukti narkotik berupa sabu. Agar kasus serupa tidak terulang, Polri telah memperketat pengawasan dan pengamanan barang bukti kejahatan, khususnya narkoba. “Itu disimpan dengan ketat dan berlapis," ujarnya.
Pemusnahan barang bukti juga melibatkan elemen masyarakat dan kejaksaan. Upaya ini dilakukan untuk menghindari adanya berbagai penyimpangan. “Namun, jika masih terjadi pelanggaran, pelakunya akan ditindak tegas tanpa ada toleransi.”
Peneliti Madya Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar, mengatakan peran masyarakat dalam mengawasi kinerja kepolisian cukup besar. Peran itu didukung oleh perangkat teknologi yang makin canggih. Masyarakat mengambil gambar—dalam bentuk foto dan video—polisi yang melakukan tindakan di luar aturan. Gambar itu kemudian diunggah ke media sosial untuk diviralkan. “Banyak kasus yang mencuat setelah diviralkan,” katanya. “Kasus itu bisa terbongkar karena civil society.”
JIHAN RISTIYANTI | EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo