Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Nusantara wilayah Jakarta akan melakukan seruan aksi di depan Istana Negara, Jakarta pada Senin siang, 28 Oktober 2024. Dalam aksi ini BEM Nusantara wilayah Jakarta bakal membawa tujuh tuntutan untuk pemerintahan Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi ini didasari atas kondisi bangsa Indonesia yang dinilai sedang berada di titik kritis. "Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelemahan hukum terus terjadi di depan mata kita," tulis akun Instagram @bemnusdkijakarta, dikutip pada Senin, 28 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, BEM Nusantara wilayah Jakarta mengajak para pemuda dan mahasiswa untuk menyampaikan tujuh tuntutan seruan aksi. Pertama, menolak prajurit TNI aktif menjabat sebagai sekretaris kabinet.
Dalam Kabinet Merah Putih, Prabowo menunjuk eks ajudannya, Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Teddy Indra tercatat masih menjadi prajurit TNI aktif. Istana dan TNI AD menyebut, Teddy tidak perlu pensiun sebagai militer lantaran posisinya berada di bawah Menteri Sekretariat Negara.
Tuntutan kedua, mencopot menteri bermasalah yang masih menjabat dan merampingkan kabinet gemuk. Menurut BEM Nusantara wilayah Jakarta, kabinet gemuk ini membuat boros APBN.
Ketiga, segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan mengembalikan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. BEM Nusantara juga menuntut agar Prabowo segera memberantas mafia pendidikan, mewujudkan pemerataan pendidikan, dan menyejahterakan tenaga pendidik.
Kelima, menuntut pemerintah untuk segera memperkuat sistem perlindungan data. BEM Nusantara juga mengecam upaya pelaksanaan proyek strategis nasional atau PSN.
Menurut BEM Nusantara wilayah Jakarta, pelaksanaan PSN yang dijalankan pemerintah tidak ramah lingkungan dan tidak humanis kepada masyarakat terdampak. Terakhir, mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra soal tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat.