Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Biar Ndeso Asal Cas-Cis-Cus

Warga sebuah desa di kawasan Candi Borobudur lancar berbahasa Inggris. Pemerintah mengukuhkan tempat itu sebagai Desa Bahasa.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama musim liburan lalu, Cahyatul Maqi hampir tak pernah beristirahat. Sebagai pemandu wisata resmi di Candi Borobudur, Magelang, Maqi sibuk betul meladeni rombongan turis asing yang berkunjung ke sana. Gaya laki-laki 30 tahun itu, yang luwes, ramah, dan santun, serta kemampuannya berbahasa Inggris yang bagus—dengan logat Jawa medok—membuat para mister dan missis menyukainya.

Penduduk Dusun Parakan, Desa Ngargogondo, Magelang itu mengaku sudah makin maju. Lantaran banyak meladeni turis, pengetahuannya tentang berbagai hal, seperti tentang negara asal si tamu, juga bertambah. Pendapatannya pun makin besar. Dalam sehari, ia bisa mengantongi Rp 150—200 ribu, belum termasuk tips. Penghasilan Maqi ini hampir 10-15 kali lipat dibanding saat ia masih berdagang suvenir di kawasan candi itu, lima tahun lalu.

Maqi tak menyangka bisa sesukses sekarang. Itu semua berkat kursus bahasa Inggris gratis yang diikutinya enam tahun lalu. Padahal niat Maqi semula ikut kursus agar dia bisa menawarkan suvenir kepada turis asing dengan lancar. Namun, setelah kursus, niatnya berubah: dia ingin menjadi pemandu wisata.

Apalagi gurunya, Hani Sutrisno, ikut mendorong agar Maqi tidak puas sekadar menjadi penjual suvenir. Setelah ”lulus” kursus, Maqi pun ikut tes menjadi pemandu dan diterima. Terhitung sejak Januari 2002, ia tercatat sebagai pemandu resmi Candi Borobudur.

Nah, Pak Guru Hani inilah yang memiliki ide sekaligus sebagai pengajar kursus bahasa Inggris gratis di Desa Ngargogondo. Dari usahanya mengajari bahasa Inggris warga sejak 1998 ini, desa di selatan Candi Borobudur ini ditahbiskan sebagai Desa Bahasa oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, akhir Januari lalu.

Desa tersebut juga menjadi proyek percontohan desa bahasa lain di sejumlah kawasan di Tanah Air, seperti di kawasan Danau Toba, Pantai Cermin, dan Bahorok, Sumatera Utara. ”Diharapkan model desa bahasa ini akan segera diikuti daerah lain di Indonesia untuk mendongkrak wisata daerah,” kata Bambang ketika itu.

Di Desa Ngargogondo, percakapan bahasa Inggris berlogat Jawa memang sudah tak asing lagi. Setiap Selasa malam, bapak-bapak berkumpul, berdialog dalam bahasa Inggris. Conversation makin seru bila ada turis asing yang mampir ke kampung itu.

Maqi tak sukses sendirian. Latief, kawannya—yang dulu sama-sama pedagang asongan—kini menjadi guru bahasa Inggris di SMAN II Magelang berkat kursus gratis. Adapun Mustofa berhasil menang lomba debat bahasa Inggris tingkat SLTA se-Kabupaten Magelang pada 2004.

Masih ada Nova Damayanti yang memboyong piala pemenang ketiga dalam lomba pidato bahasa Inggris untuk tingkat SLTA se-Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Jawa Tengah pun menobatkan Hani sebagai Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Terbaik II untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah pada 2005.

Semua ini berawal dari keprihatinan Hani melihat kondisi ekonomi dan sosial kampungnya yang tak berubah membaik meski terletak di kawasan wisata tingkat dunia. Menurut bapak dua anak ini, semua itu akibat minimnya kemampuan warga berkomunikasi dengan turis asing. Ia ingin kelak bisa mendirikan kursus bahasa Inggris sendiri.

Namun jalan menuju ke sana tak terlalu mulus. Karena keterbatasan biaya, ibunya hanya mampu mengirim Hani ke madrasah aliyah negeri di Jombang, Jawa Timur. Lulus pada 1993, Hani merantau ke Bandung. Di Kota Kembang itu, ia bahkan pernah menjadi buruh di pabrik konfeksi, jauh dari cita-citanya semula.

Itu sebabnya, pada 1996 Hani memutuskan pulang kampung. Ia kemudian mengambil kursus sebagai pemandu wisata. Karena bahasa Inggrisnya masih minim, gurunya menyarankan Hani kursus lagi. Keinginannya yang kuat membuat ia dengan cepat bisa menguasai bahasa itu. Bahkan pada 1997 ia sudah menjadi guru bahasa Inggris di tempat kursus Be Lingua di Muntilan, Magelang.

Kendati demikian, cita-citanya belum padam. Setahun kemudian, mulailah Hani menyulap ruang tamu rumahnya menjadi tempat kursus bahasa Inggris bagi warga desa. Meskipun gratis, tak berarti peminatnya banyak. Anak-anak enggan dan malu karena menganggap bahasa Inggris yang mereka pelajari di sekolah sudah menyulitkan. Hani kemudian merayu para orang tua agar mau menitipkan anak mereka belajar bahasa Inggris di tempat Hani.

Siasatnya manjur. Tak hanya anak-anak yang ikut kursus, tapi juga orang tua mereka. Hani pun mulai membuka kelas sesuai dengan jenjang pendidikan dan umur. Kelas dibuka tiap hari kecuali Senin. Kelas pagi dan sore untuk anak-anak, yang malam untuk orang dewasa. Hani mengajar di sela-sela kesibukannya sebagai guru honorer di sebuah SD.

Kursus dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya menghitung, menyebut nama hari dan benda di sekitar dalam bahasa Inggris. Hampir semua benda di sekitar rumah ditempeli kertas bertulisan bahasa Inggris, mulai dari lantai rumah, lukisan, batu, hingga kandang kambing. Para siswa wajib bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. ”Grammar benar atau salah, itu urusan nanti. Yang penting berani ngomong dan lancar,” ujarnya.

Agar kemampuan murid teruji, sesekali Hani mengajak turis ke kampung mereka. Sebulan sekali, Hani menggiring para siswa ke Borobudur. Sambil berjualan suvenir, mereka ”dipaksa” berbahasa Inggris. ”Dari anak-anak hingga ibu-ibu, mereka sudah bisa cas-cis-cus,’’ kata Hani.

Sejalan dengan makin meningkatnya antusiasme masyarakat, beberapa warga lain pun merelakan rumah mereka menjadi kelas. Tenaga pengajar juga bertambah. Beberapa murid Hani yang sudah lancar dan matang dikaryakan menjadi guru.

Nah, selain membuka kursus gratis, Hani juga membuat yang komersial. Pada 2001, Hani mendirikan Lembaga Pendidikan Kursus (LPK) Simple English Course (SPEC) di Magelang. Kini, Simple English sudah membuka cabang lain di Magelang dan di Serpong, Tangerang. Penghasilan dari lembaga tersebut sebagian digunakan untuk membiayai kursus gratis di desanya.

Namun tak mudah mempertahankan semangat masyarakat, apalagi untuk kegiatan sosial. Belakangan Hani merasakan adanya penyusutan gairah. Beberapa tutor mulai mangkir. Yang menjadi penyebabnya adalah bantuan Pak Menteri mendirikan laboratorium bahasa berikut komputer yang dijanjikan pada Januari lalu tak kunjung terealisasi. ”Padahal lab itu dibutuhkan untuk mengembangkan pendidikan,” kata Lukman, 46 tahun, salah seorang warga desa.

Mendengar keluhan banyak orang, Hani pun merasa serba salah. Sudah sering warga desanya menanyakan soal bantuan itu kepadanya. ”Padahal bantuan memang belum diberikan. Sudah saya cek ke Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, jawabannya belum dianggarkan,” kata Hani.

Kendati kecewa, Hani sendiri tetap menyimpan semangat memajukan desanya. ”Saya masih punya idealisme menjadikan desa ini lebih baik. Ini baru separuh jalan,” ujarnya. Dia masih punya mimpi menjadikan desanya sebagai Desa Bahasa tidak hanya untuk bahasa Inggris, tapi juga Prancis, Jepang, Arab, dan Kawi.

Widiarsi Agustina dan Heru C.N. (Borobudur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus