Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada spanduk merah bergambar kepala banteng warna hitam
terpampang. Tak tampak juga poster atau tanda-tanda lain di
luar. Prakongres GMNI (Gerakan Mahasiswa Naslonal Indonesia)
yang dilangsungkan di Yogyakarta pekan lalu, praktis berlangsung
diam-diam, tanpa publikasi.
Menurut rencana, prakongres akan berlangsung 1-7 Agustus. Namun,
ternyata baru pada 2 Agustus pukul 14.00 prakongres dibuka. Tapi
tiga jam kemudian ditutup. Para utusan 19 cabang yang hadir
(dari 31), cuma mengeluarkan dua keputusan pendek. Yang
terpenting: GMNI menyetujui dijadikannya Pancasila "sebagai
satu-satunya asas dalam mengatur kehidupan kenegaraan".
Alasannya, "Pancasila tidak lain adalah Marhaenisme, dan
karenanya, tidak perlu dipertentangkan".
"Keputusan itu berarti GMNI belum mengubah asas," kata Kristiya
Kartika, sekretaris jenderal DPP GMNI. Asas dasar GMNI,
Marhaenisme, tetap termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Anggaran
Dasar. Menurut pasal 6, asas ini tidak bisa diubah.
Dengan begitu GMNI merupakan organisasi massa kedua yang "gagal"
menerima asas tunggal Pancasila, setelah MPR menetapkan
demikian. Yang pertama adalah HMI, yang dalam kongresnya akhir
Mei lalu, tetap mempertahankan asas Islam, walau sebelumnya
telah "diimbau" untuk menerima asas tunggal Pancasila.
"Permasalahan kami pelik. Pemerintah telah belajar dari kasus
HMI. Sehingga ketika menghadap ke Asisten Menteri Pemuda & Olah
Raga, Presidium GMNI lengkap dengan seluruh cabang diminta
menandatangani persetujuan menerima asas tunggal Pancasila,"
kata Rico Sinaga, wakil ketua DPC GMNI Jakarta. Menurut Rico,
permintaan itu tak bisa dipenuhi karena harus melibatkan semua
cabang. Hingga akhirnya izin yang keluar hanya untuk prakongres,
walau istilah itu tak dikenal dalam AD/ART.
Toh prakongres tak mengubah asas Marhaenisme GMNI. "Walau semua
peserta sependapat bahwa Marhaenisme dan Pancasila tak perlu
dipertentangkan, masih ada perbedaan pendapat mengenai perubahan
istilah Marhaenisme menjadi Pancasila," kata Amir Sutoko, ketua
GMNI Cabang Yogyakarta. Persoalan ini akan diputuskan oleh
kongres, yang belum jelas kapan akan dilangsungkan.
Amir sendiri mengumpamakan istilah Marhaenisme dan Pancasila
ibarat istilah sapi dan lembu. "Hakikatnya keduanya sama. Jadi
isu perubahan asas tidak tepat dalam pengertian GMNI. Yang tepat
hanya perubahan istilah," katanya. Sedang bagi GMNI, Pancasila
yang identik dengan Marhaenisme adalah Pancasila yang lahir 1
Juni 1945.
Menurut pendapat Amir, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
justru bertentangan dengan Pancasila sendiri, yang membuka
peluang bagi tumbuhnya ideologi lain. "Kalau asas tunggal ini
dipaksakan, mungkin saja berhasil. Tapi apakah itu sudah
menjamin adanya suatu kesatuan," tanyanya.
Pendapat Amir mirip suara Harry Azhar Aziz, ketua umum PB HMI.
"Jika hanya untuk menekankan titik pertemuan dan kebersamaannya
saja, maka yang muncul hanya kebersamaan semu," katanya.
Beberapa organisasi mahasiswa lain tampaknya bersikap sama. "Apa
yang kami lakukan selama ini sebenarnya lebih banyak
mencerminkan kepancasilaan, misalnya, sikap nasionalisme," kata
Ketua Umum PB PMII Muhjiddin Arubusman. "Persamaan asas
menghilangkan kebhinekaan. Sedang menghilangkan kebhinekaan juga
sikap yang tidak Pancasilais," ucap Sunggul Siahaan, sekretaris
umum PP GMKI.
Namun sampai kapan mereka bisa bersikeras? Setelah "kebobolan"
dengan HMI beberapa bulan lalu, Menteri Pemuda & Olah Raga Abdul
Gafur beberapa kali telah menegaskan: izin kongres buat
organisasi massa bisa diberikan hanya kalau mereka menerima asas
tunggal Pancasila. "Untung kongres GMKI masih lama, menurut
rencana akhir Agustus 1984 di Salatiga," kata Sunggul Siahaan.
Yang harus cepat-cepat menentukan sikap adalah PMKRI, yang
kongresnya akan diselenggarakan paling lambat Desember 1983.
Sikap Menteri Gafur sendiri tetap tegas. "Mau menerima atau
tidak, tinggal masalah waktu saja," ujarnya. Pemerintah kini
mempercepat dikeluarkannya UU Keormasan yang akan merupakan
pegangan bagi semua organisasi massa. "Saya harap pada
pertengahan 1985 undang-undang itu sudah jadi." "Bila mereka
tetap bersikeras, undang-undanglah nanti yang akan berbicara,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo