Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bioskop bisik merupakan salah satu sarana agar tunanetra bisa menikmati film. Selayaknya menonton film di bioskop, di bioskop bisik juga ada relawan yang membisikkan kepada tunanetra tentang cerita film yang tidak ada dialognya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Biasanya satu orang relawan membisikkan cerita kepada seorang tunanetra. Sekarang, perkembangkan teknologi memungkinkan tunanetra mendengar bisikan melalui audio transmitter, sehingga cukup seorang relawan yang menceritakan detail adegan tanpa dialog kepada sejumlah tunanetra.
Tempo mencoba bagaimana audio transmitter ini mengantarkan suara kepada para tunanetra yang menonton film 'My Stupid Boss2' di XXI One Belle Park, Ahad 31 Maret 2019. Pada kesempatan itu, setiap tunanetra dipasangkan alat seperti headset atau ear phone ke telinga yang terhubung dengan sebuah kotak transmitter seukuran kotak sabun mandi.
Pada kotak tadi terdapat empat tombol. Dua tombol di sebelah kanan berfungsi mengatur volume dan dua tombol di sebelah kiri untuk menentukan frekuensi. Tombol on dan off-nya ada pada bagian paling atas. Meski dapat mengantarkan gelombang suara dalam satu ruangan, alat ini tidak dapat digunakan pada jarak lebih dari 10 meter.
Artikel lainnya: Jalan Banyak Dipasang Tiang Listrik, Ini Gaya Protes Difabel
Koordinator Bioskop Bisik sekaligus Social Media Officer Think Web, Rheisma Siti Pratiwi mengatakan alat audio transmitter ini dapat mempersingkat persiapan pelaksanaan bioskop bisik. "Karena penggambaran filmnya cukup dari satu relawan saja. Alatnya juga sederhana, tinggal dipasang pada telinga teman tunanetra dengan frekuensi dan volume yang sudah diatur," ujar Rheisma. Think Web merupakan perusahaan penggagas program bioskop bisik.
Di acara nonton bareng film 'My Stupid Boss2"' tadi, tersedia 10 alat audio transmitter. Ini adalah kali keempat Think Web menggunakan alat bantu tersebut. "Pada dasarnya kami tetap mengutamakan cara berbisik karena kampanye kami adalah pembisiknya yang melakukan tindakan inklusif dengan cara mengetahui bagaimana tunanetra menonton," ujar Rheisma.
Seorang peserta tunanetra yang turut menonton, Alent Napitupulu mengatakan suara yang dihasilkan audio transmitter pada awalnya kurang jernih. Namun, setelah melakukan penyesuaian frekuensi, suara pembisik terdengar lebih jernih. "Tinggal penggambarannya saja harus lebih deskriptif," ujarnya.