PANTJA Putera Tagap, pemuda yang baru saja populer, karena
bersama kawannya naik rakit 'Joko Tingkir', adalah salah seorang
yang "diselamatkan" guru BP. Ketika Pantja masih duduk di SMAN
II, Surabaya, ia suka membolos. Akhirnya guru BP-nya datang ke
rumah -- menemui ayah Pantja, dan membuat surat perjanjian:
kalau anak itu masih suka membolos, ia tak perlu datang ke
sekolah lagi. Pantja terpaksa rajin.
Di luar tembok sekolah, seorang guru BP (bimbingan dan
penyuluhan) agaknya tak begitu populer. Meski pada 1975 telah
terbentuk organisasinya, bernama Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) -- yang pada 2-6 Februari yang lalu
menyelenggarakan kongres nasionalnya yang ke-3 di Bandung.
Tapi bagi murid dan orang tuanya, guru BP sebenarnya merupakan
sahabat dalam kesulitan. Guru yang tak memberi pelajaran bidang
studi tertentu itu, pada dasarnya berurusan dengan pribadi para
murid -- agar proses belajar mereka tak terganggu.
Perlunya guru BP pertama kali disinggung tahun 1963 dalam
Musyawarah Kepala Inspeksi SMP Seluruh Indonesia di
Tawangmangu, Surakarta. Kemudian beberapa sekolah mencobakannya,
dan sampai 1965 lebih kurang masih merupakan hal coba-coba.
Peristiwa G30S PKI, 1965, ternyata punya saham dalam meyakinkan
kalangan pendidikan akan pentingnya guru jenis itu: banyak murid
yang memerlukan bimbingan atas musibah yang menimpa orang tua
mereka. Dan sejak 1968 pemikiran serius terhadap kedudukannya
dalam sistem pendidikan. Ia menggantikan kedudukan seorang
walikelas, yang rupanya dianggap tak bisa cukup intensif untuk
hal-hal yang lebih bersifat pribadi si murid. Wali kelas
kemudian lebih bertanggung jawab dalam hal mutu kelasnya maupun
soal-soal administratif.
Ketika Kurikulum 1975 disahkan kuuhlah kedudukan guru luar
biasa itu. Hampir semua SLTP/SLTA negeri, dan beberapa yang
swasta, punya guru BP -- meski untuk SD tugasnya dirangkap oleh
kepala sekolah. Toh dalam kongres IPBI barusan, baru terdapat
265 guru BP yang mencatatkan diri sebagai anggota. Mereka
biasanya berlatar belakang pendidikan IKIP atau fakultas
psikologi.
Sebagai guru yang tak punya jam pelajaran, kegiatan pak BP
memang tergantung inisiatif sendiri. Bu Tri, guru BP SMPN VI
Surabaya, misalnya. Sewaktu jam istirahat, bu guru itu suka
bergabung dengan murid-muridnya, ikut mengobrol. "Tapi biarpun
saya akrab dengan mereka tetap harus ada jarak -- untuk menjaga
kewibawaan," katanya.
Bila guru BP misalnya pasif, tentu saja ada kemungkinan ia tak
akan tahu kesulitan muridnya. Sebab kesan yang diperoleh guru BP
di kota besar maupun kecil ternyata sama: para siswa umumnya
belum begitu terbuka atau malu melaporkan persoalan, terutama
bila menyangkut masalah keluarga dan ekonomi.
Bahkan beberapa waktu yang lalu guru BP di beberapa sekolah
lanjutan di Bandung merupakan guru yang paling ditakuti. Murid
yang barusan dipanggil menghadap biasanya lalu ditemui
teman-temannya, ditanya ini-itu, apa salahnya maka dipanggil.
Tentu, kesalahan tak sepenuhnya pada murid. Ini diakui oleh Drs.
Agus Suyanto, Kepala Bidang BP di IKIPN Surabaya.
"Barangkali karena kebanyakan guru BP yang barusan lulus masih
muda, kurang pengalaman," katanya. Artinya ia juga bisa tidak
bijaksana.
Sedang Bermesraan
Di beberapa sekolah yang kerja guru BP-nya telah rapi,
biasanya ada data pribadi dan keluarga tiap murid. Data itu
diperoleh dari daftar pertanyaan yang diberikan kepada sisvwa
baru. Dan setiap kali sang guru selalu kontak dengan guru
bidang studi, untuk memperoleh informasi mengenai murid yang
bertingkah.
Di sebuah SMA di Jakarta, guru BP mendapatkan seorang murid
yang telah beberapa lama murung dan pelajarannya pun mundur.
Dengan pendekatan seorang pendidik yang telah berpengalaman
10-an tahun, akhirnya diperoleh penyebabnya: Murid itu tinggal
hanya bersama ibu dan adik-adiknya. Ayahnya bekerja di daerah,
jarang pulang. Suatu hari, ia memergoki ibunya sedang bermesraan
dengan pamannya. Sejak itu kemelut berkecamuk di hati ia salah
tingkah, tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap ibu dan
paman.
Akhirnya toh pak BP berhasil membangkitkan kembali semangat
belajarnya, sekaligus mengembalikan kepercayaan anak itu
terhadap ibunya. 'Saya katakan, manusia itu tak selamanya
benar," tutur guru itu kepada TEMPO. "Kadang ia bisa juga
terjerumus. Itulah sebabnya memberi maaf itu mempunyai nilai
tinggi."
Toh mereka sendiri mengakui tak bisa campur tangan terlalu jauh
-- misalnya bila pihak murid atau orang tua murid tak
menghendaki. "Kami ini cuma menyarankan atau mengarahkan.
Keputusan terakhir pada anak atau orang tua anak itu sendiri,"
kata Ny. Sunaryo, guru BP SMAN VI Yogyakarta.
Padahal, kenyataannya murid-murid yang masih dalam usia remaja
itu bisa menghadapi persoalan yang muskil dan guru BP, dengan
mutu masing-masing, berusaha membantu memecahkannya. Tapi bukti
bahwa jabatan mereka belum ternama: dalam kasus perkelahian
pelajar tempo hari, tak sekali pun namanya disebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini