Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

BP, Sahabat Tak Bernama

Guru bp makin dirasakan perlunya bagi murid dan orang tuanya. keperluan guru bp mulai disinggung tahun 1963. (pdk)

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANTJA Putera Tagap, pemuda yang baru saja populer, karena bersama kawannya naik rakit 'Joko Tingkir', adalah salah seorang yang "diselamatkan" guru BP. Ketika Pantja masih duduk di SMAN II, Surabaya, ia suka membolos. Akhirnya guru BP-nya datang ke rumah -- menemui ayah Pantja, dan membuat surat perjanjian: kalau anak itu masih suka membolos, ia tak perlu datang ke sekolah lagi. Pantja terpaksa rajin. Di luar tembok sekolah, seorang guru BP (bimbingan dan penyuluhan) agaknya tak begitu populer. Meski pada 1975 telah terbentuk organisasinya, bernama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) -- yang pada 2-6 Februari yang lalu menyelenggarakan kongres nasionalnya yang ke-3 di Bandung. Tapi bagi murid dan orang tuanya, guru BP sebenarnya merupakan sahabat dalam kesulitan. Guru yang tak memberi pelajaran bidang studi tertentu itu, pada dasarnya berurusan dengan pribadi para murid -- agar proses belajar mereka tak terganggu. Perlunya guru BP pertama kali disinggung tahun 1963 dalam Musyawarah Kepala Inspeksi SMP Seluruh Indonesia di Tawangmangu, Surakarta. Kemudian beberapa sekolah mencobakannya, dan sampai 1965 lebih kurang masih merupakan hal coba-coba. Peristiwa G30S PKI, 1965, ternyata punya saham dalam meyakinkan kalangan pendidikan akan pentingnya guru jenis itu: banyak murid yang memerlukan bimbingan atas musibah yang menimpa orang tua mereka. Dan sejak 1968 pemikiran serius terhadap kedudukannya dalam sistem pendidikan. Ia menggantikan kedudukan seorang walikelas, yang rupanya dianggap tak bisa cukup intensif untuk hal-hal yang lebih bersifat pribadi si murid. Wali kelas kemudian lebih bertanggung jawab dalam hal mutu kelasnya maupun soal-soal administratif. Ketika Kurikulum 1975 disahkan kuuhlah kedudukan guru luar biasa itu. Hampir semua SLTP/SLTA negeri, dan beberapa yang swasta, punya guru BP -- meski untuk SD tugasnya dirangkap oleh kepala sekolah. Toh dalam kongres IPBI barusan, baru terdapat 265 guru BP yang mencatatkan diri sebagai anggota. Mereka biasanya berlatar belakang pendidikan IKIP atau fakultas psikologi. Sebagai guru yang tak punya jam pelajaran, kegiatan pak BP memang tergantung inisiatif sendiri. Bu Tri, guru BP SMPN VI Surabaya, misalnya. Sewaktu jam istirahat, bu guru itu suka bergabung dengan murid-muridnya, ikut mengobrol. "Tapi biarpun saya akrab dengan mereka tetap harus ada jarak -- untuk menjaga kewibawaan," katanya. Bila guru BP misalnya pasif, tentu saja ada kemungkinan ia tak akan tahu kesulitan muridnya. Sebab kesan yang diperoleh guru BP di kota besar maupun kecil ternyata sama: para siswa umumnya belum begitu terbuka atau malu melaporkan persoalan, terutama bila menyangkut masalah keluarga dan ekonomi. Bahkan beberapa waktu yang lalu guru BP di beberapa sekolah lanjutan di Bandung merupakan guru yang paling ditakuti. Murid yang barusan dipanggil menghadap biasanya lalu ditemui teman-temannya, ditanya ini-itu, apa salahnya maka dipanggil. Tentu, kesalahan tak sepenuhnya pada murid. Ini diakui oleh Drs. Agus Suyanto, Kepala Bidang BP di IKIPN Surabaya. "Barangkali karena kebanyakan guru BP yang barusan lulus masih muda, kurang pengalaman," katanya. Artinya ia juga bisa tidak bijaksana. Sedang Bermesraan Di beberapa sekolah yang kerja guru BP-nya telah rapi, biasanya ada data pribadi dan keluarga tiap murid. Data itu diperoleh dari daftar pertanyaan yang diberikan kepada sisvwa baru. Dan setiap kali sang guru selalu kontak dengan guru bidang studi, untuk memperoleh informasi mengenai murid yang bertingkah. Di sebuah SMA di Jakarta, guru BP mendapatkan seorang murid yang telah beberapa lama murung dan pelajarannya pun mundur. Dengan pendekatan seorang pendidik yang telah berpengalaman 10-an tahun, akhirnya diperoleh penyebabnya: Murid itu tinggal hanya bersama ibu dan adik-adiknya. Ayahnya bekerja di daerah, jarang pulang. Suatu hari, ia memergoki ibunya sedang bermesraan dengan pamannya. Sejak itu kemelut berkecamuk di hati ia salah tingkah, tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap ibu dan paman. Akhirnya toh pak BP berhasil membangkitkan kembali semangat belajarnya, sekaligus mengembalikan kepercayaan anak itu terhadap ibunya. 'Saya katakan, manusia itu tak selamanya benar," tutur guru itu kepada TEMPO. "Kadang ia bisa juga terjerumus. Itulah sebabnya memberi maaf itu mempunyai nilai tinggi." Toh mereka sendiri mengakui tak bisa campur tangan terlalu jauh -- misalnya bila pihak murid atau orang tua murid tak menghendaki. "Kami ini cuma menyarankan atau mengarahkan. Keputusan terakhir pada anak atau orang tua anak itu sendiri," kata Ny. Sunaryo, guru BP SMAN VI Yogyakarta. Padahal, kenyataannya murid-murid yang masih dalam usia remaja itu bisa menghadapi persoalan yang muskil dan guru BP, dengan mutu masing-masing, berusaha membantu memecahkannya. Tapi bukti bahwa jabatan mereka belum ternama: dalam kasus perkelahian pelajar tempo hari, tak sekali pun namanya disebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus