Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Proyek Fiktif yang Masuk Radar Auditor

BPK telah lama mendeteksi dugaan korupsi pembiayaan proyek fiktif di PT Waskita Karya. Beban penugasan BUMN kelewat berat.

2 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Beban Waskita yang berat menjadi pemicu bagi direksi untuk mengakali cara mendapatkan uang.

  • Tanggung jawab berat membangun infrastruktur yang dibebankan kepada Waskita mengundang moral hazard.

  • Kejaksaan menyita sejumlah aset dan uang, di antaranya senilai Rp 96,61 miliar.

JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah lama mendeteksi dugaan korupsi pembiayaan proyek fiktif di PT Waskita Karya Tbk yang tengah diusut Kejaksaan Agung. Menurut anggota III BPK, Achsanul Qosasi, dugaan korupsi itu terjadi ketika Waskita selaku badan usaha milik negara (BUMN) mendapat penugasan proyek infrastruktur jalan tol. “Beban Waskita yang berat menjadi pemicu bagi direksi untuk mengakali cara mendapatkan uang,” ujar Achsanul kepada Tempo, Senin, 1 Mei 2023.

Baca: Buntut Proyek Fiktif Rp 2,5 Triliun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waskita mulanya mendapat penugasan dari pemerintah untuk pengadaan dan investasi jalan tol di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pada 2020. Tak tanggung-tanggung, menurut Achsanul, perusahaan pelat merah di bidang kontraktor itu harus menuntaskan 14 ruas jalan tol yang dibangun secara cepat dalam waktu bersamaan. Hal ini yang memicu Waskita membutuhkan uang pinjaman dari bank untuk mendanai belasan proyek infrastruktur tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achsanul menuturkan PT Waskita Karya memanfaatkan fasilitas supply chain financing (SCF) atau pembiayaan modal usaha dari bank. Waskita lantas membangun belasan ruas jalan tol menggunakan dana pinjaman dari sejumlah bank. Pinjaman tersebut juga sudah dikembalikan ke masing-masing bank. “Tapi cara mereka tetap salah karena ada beberapa proyek (dengan pembiayaan SCF) yang diduga fiktif,” kata Achsanul.

Menurut dia, tanggung jawab berat membangun infrastruktur yang dibebankan kepada Waskita mengundang moral hazard atau aji mumpung. Dia juga menyebutkan adanya tumpang-tindih kewenangan. Waskita disebut sebagai perusahaan negara yang bergerak di bidang kontraktor, tapi di sisi lain juga berperan sebagai investor atau pemilik proyek. Tidak mengherankan bila Waskita menanggung beban utang atas infrastruktur yang dibangun dengan skema long term project atau pengembalian jangka panjang.

Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung pada pekan lalu menjerat Direktur Utama PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono, sebagai tersangka kasus rasuah. Destiawan dituduh memerintahkan dan menyetujui pencairan dana SCF yang diduga menggunakan dokumen pendukung palsu. Dana tersebut disinyalir digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang ditengarai fiktif di Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast pada medio 2020.

Aktivitas pekerja di pabrik beton pracetak (precast beton) Waskita Precast, Karawang, Jawa Barat. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan

Sebelum menjerat Destiawan, tim penyidik Kejaksaan Agung lebih dulu menetapkan Direktur PT Waskita Karya, Taufik Hendra Kusuma, sebagai tersangka pada 14 Desember 2022. Taufik bersama Bambang Rianto selaku Komisaris Utama PT Waskita Beton Precast disebut-sebut bersama-sama menggunakan dana hasil pencairan SCF, seolah-olah digunakan untuk pembayaran utang vendor yang belakangan diketahui fiktif. Kejaksaan Agung juga menjerat Komisaris PT Pinnacle Optima Karya, Nizam Mustafa, yang diduga terlibat persekongkolan dalam upaya pembayaran utang.

Merujuk pada laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II BPK pada 2020, ditemukan sejumlah masalah yang disinyalir dilakukan Waskita Karya. Salah satu di antaranya perusahaan itu menanggung beban investasi konstruksi jalan tol yang lebih tinggi, minimal Rp 13,99 miliar pada ruas jalan tol Pemalang-Batang dan ruas Becakayu Seksi 1. Masalah ini menyebabkan BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap kepatuhan Waskita Karya dan anak usahanya dalam kegiatan investasi serta pengusahaan jalan tol di DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Seorang sumber Tempo yang mengetahui kasus ini menceritakan bahwa masalah rasuah di BUMN terjadi akibat Waskita Karya diberi beban berat untuk membangun proyek infrastruktur yang merupakan program pemerintah. Masalahnya, jika seluruh pembiayaan dibebankan ke BUMN, perusahaan bakal bangkrut. “Ini juga akan terjadi pada BUMN lain, seperti PT Adhi Karya, karena membangun LRT (lintas rel terpadu) Cibubur-Cawang,” ujar sumber itu.

Tidak hanya PT Adhi Karya, PT Kereta Api Indonesia juga menanggung beban berat karena proyek transportasi massal tersebut. Semestinya, kata sumber itu, proyek untuk membangun jalan tol dan LRT merupakan tanggung jawab pemerintah. Idealnya, pembangunan dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), lantas dibangun oleh perusahaan BUMN karya, dan dikelola oleh Jasa Marga. “Nah, sekarang Waskita ikut-ikut mengelola jalan tol lewat anak perusahaan. Ini, kan, ngaco,” ujar sumber tersebut.

Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, belum bersedia menjelaskan secara rinci ihwal kasus yang menjerat Destiawan dan koleganya di Waskita Karya. Meski begitu, dalam keterangan pers pada Jumat lalu, dia menyebutkan pembiayaan fiktif yang dilakukan Waskita Karya mengakibatkan kerugian negara Rp 2,5 triliun. ”Penyidik sudah menyita aset tanah, bangunan, dan uang, yang diduga menjadi bukti kejahatan,” ucap Ketut pada Sabtu, 29 April lalu.

Direktur Utama PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (tengah) ditahan di Kejaksaan Agung, Jakarta, 28 April 2023. Dok. Puspenkum Kejagung

Aset-aset yang disita di antaranya uang senilai Rp 96,61 miliar, sebidang tanah dan bangunan di Kabupaten Grobogan, serta beberapa bidang tanah di Kabupaten Bogor dan di Jakarta Timur. Menurut Ketut, saat ini lembaganya masih terus mengembangkan penyidikan untuk membongkar dugaan rasuah ini.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan menghormati upaya Kejaksaan Agung mengusut dugaan rasuah pada Waskita Karya. Dia mengatakan kasus ini harus menjadi peringatan bagi perusahaan pelat merah lain agar bekerja secara transparan dan profesional. ”Kementerian BUMN menghormati proses hukum yang berlaku.”

Pengamat BUMN dari Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebutkan skema pembiayaan melalui SCF yang dilakukan Waskita memang dapat dipakai untuk membantu supplier atau buyer dari sisi pengelolaan likuiditas perusahaan. Dia mengatakan, dalam kasus WSKT (Waskita Karya), misalnya, perusahaan punya tagihan kepada pihak lain yang belum jatuh tempo, maka invoice atau tagihan tadi bisa dijual ke bank sehingga Waskita punya tambahan likuiditas atas penjualan tersebut.

Menurut Toto, hal tersebut merupakan transaksi keuangan yang wajar dan biasa. Persoalannya, Waskita Karya menggunakan dana SCF untuk pembayaran ke para vendor yang kemudian dinilai mengerjakan proyek fiktif. Dia menjelaskan, dalam konsep three lines of defense atau tiga lapis pertahanan pengelolaan keuangan, mitigasi risiko bisa dilakukan oleh risk owner atau pihak eksternal melalui audit kantor akuntan publik. “Dalam konteks kasus ini, saya melihat konsep ini tidak berjalan dengan baik,” ucap Toto.

The three lines of defense merupakan sistem pertahanan berlapis dari sisi manajerial ataupun pengendalian internal sebagai implementasi manajemen risiko. Lini pertama ada pada manajemen atau unit operasional sebagai risk owner; lapisan kedua dilakukan oleh pengelola risiko atau unit kepatuhan internal, dan lini ketiga dijalankan auditor internal.

Toto mengatakan kantor akuntan publik dinilai gagal mendeteksi kecurangan padahal kasus ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dia menyarankan agar ada evaluasi menyeluruh alasan dana SCF digunakan untuk membayar proyek fiktif. Toto khawatir rasuah terjadi karena Waskita Karya memiliki kebutuhan membayar brokerage fee atau komisi untuk broker sehingga perlu adanya transaksi gelap yang melibatkan supplier, buyer, dan bank.

AVIT HIDAYAT | GHOIDA RAHMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus