Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMAT datang di Bubun. Itulah tulisan pada sebuah papan di
ambang desa di tepi Selat Malaka itu. Ditulis dalam bahasa
Inggris, kalimat itu tampaknya ingin segera mengingatkan
pengunjung, bahwa Desa Bubun menjadi proyek Pengembangan Desa
Pantai Sumatra Utara dengan bantuan sebuah organisasi swasta
dari Amerika Serikat Institute of Cultural Affairs (ICA).
Untuk mencapai desa itu hanya bisa dilakukan dengan sampan motor
menyusuri Sungai Batang Serangan selama dua jam, dari kota
Kecamatan Tanjungpura, 65 km dari Medan. Desa itu masuk kawasan
Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Penduduknya 1.570 jiwa, umumnya mencari nafkah sebagai nelayan.
Rumah penduduk berupa bangunan panggung bertiang batang pinang,
berdinding papan atau tepas, beratapkan daun nipah.
Meskipun begitu, desa miskin ini dua tahun lalu pernah ramai
dikunjungi peserta berbagai seminar, anggota DPRD, DPR-MPR
sampai para konsul dan duta. Ada pula yang datang membawa
oleh-oleh. Lions Club (organisasi sosial internasional) misalnya
menghadiahkan 60 kacamata buat penduduk yang mengidap penyakit
rabun. Sedang Dubes Australia menyumbang dana Rp 1 juta.
"Kami macam makhluk aneh saja. Setiap minggu ada saja yang
datang. Penduduk dikumpulkan oleh kepala kampung, hingga waktu
buat melaut tak menentu lagi," ujar Razali Rokan, 38 tahun,
salah seorang tokoh masyarakat di sana. Bukan itu saja, penduduk
juga diharuskan mengikuti berbagai penataran, kursus, latihan,
musyawarah, diskusi.
Bubun, sejak September 1978 diresmikan oleh Gubernur E.W.P.
Tambunan sebagai pusat pengembangan desa pantai. Di Sum-Ut
terdapat enam pusat pengembangan serupa cuma yang istimewa
Bubun mengundang konsultan ICA dari AS.
ICA yang konon punya proyek lebih dari 300 desa di seluruh
dunia, pernah menangani pengembangan Desa Kelapa Dua di
Tangerang (Jawa Barat) dan dua tahun lalu mengembangkan Desa
Bontoa (Sul-Sel). Petugas-petugas ICA diharapkan membimbing
penduduk agar siap turut serta dalam pembangunan.
Dalam kontrak ICA dengan Pemda Sum-Ut untuk empat tahun
(1978-82), disebutkan biaya proyek Bubun sebesar Rp 127,6 juta,
yaitu Rp 47 juta dari APBD Sum-Ut, selebihnya bantuan dari AS.
Berbagai fasilitas disediakan untuk penduduk. Mulai dari
televisi umum di depan balai desa sampai listrik untuk sebagian
rumah yang bersumber dari diesel seharga Rp 8 juta. Begitu pula,
sampai sekarang sudah 157 paket kredit diberikan, mulai dari
kredit motor untuk perahu nelayan, jaring penangkap kan sampai
alat-alat hiburan. Hasilnya dari gubuk-gubuk reyot itu kini
terdengar radio atau tape recorder.
Tapi menurut Razali Rokan, "proyek ini gagal total". Koperasi
pangan LSD yang menyalurkan sembilan bahan pokok, menurut
ketuanya, Zakaria, sejak dibentuk tahun lalu hanya berjalan tiga
bulan. Begitu pula kredit simpan-pinjam dan usaha tabungan
beras. Proyek Kelompok Ayam juga tidak nampak kegiatannya.
Direktur Badan Pembangunan dan Pengembangan Daerah Depdagri,
Drs. Atar Siberu membantah proyek Bubun gagal. "Proyek Bubun
adalah proyek nonfisik. Jelas tak akan terlihat perubahan
apa-apa di sana," katanya seusai berapat dengan Ketua Bappeda
Sum-Ut, Prof. Dr. S. Hadibroto 20 Desember lalu di Bappenas,
Jakarta. "Yang terang para nelayan sudah memanfaatkan kredit dan
kegunaan bank," tambahnya.
Menurut dia, para nelayan di Bubun juga sudah diajari
berorganisasi secara baik. "Memang itulah sasaran yang ingin
dicapai, yakni mengubah cara berpikir, memperkenalkan pola baru
dalam kehidupan sekarang hingga dapat mengembangkan usaha
mereka," tambah Atar.
Tapi ternyata tak kurang dari 50 buah proyek percontohan
perkebunan sayur di Bubun kini membelukar tak terawat karena
tanpa bimbingan lebih Ianjut. Proyek itu dimaksud buat
membimbing penduduk berkebun. Semula dengan cara merangsang
dengan janji berbagai hadiah jika berhasil. "Tapi ketika
pemenangnya terpilih, hadiahnya tidak ada. Saya kan malu.
Padahal setiap subuh saya menggedor pintu rumah penduduk agar
menyiram kebun sayur," keluh Razali yang bekas anggota ABRI itu.
Kepala Desa Bubun, Salamuddin, juga geleng-geleng kepala.
"Proyek ICA nampaknya mengada-ada," katanya. Misalnya, di Bubun
cuma ada dua SD, tapi para pemuda dikursus bahasa Inggris. Lima
bulan berjalan kursus itu bubar.
"Mestinya penduduk diajar cara yang baik menangkap ikan atau
berkebun," gerutu nelayan muda Abdullah. Dan karena berbagai
proyek yang di rasakan penduduk kurang bermanfaat bagi mereka,
namun harus diikuti itu, tak heran bila banyak kerja rutin
mereka terbengkalai. Buktinya tempat pelelangan ikan (TPI) yang
dibangun 1978, tak lagi dimanfaatkan penduduk.
Dilempari Batu
Tapi kemudian penduduk bosan juga mengikuti berbagai kegiatan
itu. Sehingga kini penduduk sulit dikumpulkan. "Bahkan mereka
menunjukkan rasa tidak senang. Misalnya merusak instalasi dan
melempari lampu-lampu listrik," kata sebuah sumber di Bubun.
Hampir semua lampu neon di tepi jalan pecah kena lemparan batu.
Wakil Ketua Tim Pengembangan Desa Pantai Sum-Ut, Drs. Bahauddin
Darus secara tak langsung mengakui pendekatan petugas-petugas
ICA dalam proyek Bubun kurang tepat. "Faktor agama dan
sosial-budaya memang kurang diperhitungkan," kata Bahauddin yang
juga dosen USU itu. Mayoritas penduduk Bubun adalah orang Melayu
Langkat dan Maya-maya. Mereka 100% beragama Islam.
Tingkah laku para petugas ICA selama ini juga menjadi buah-bibir
penduduk. Misalnya penduduk peserta latihan ketrampilan disuruh
berdoa dengan cara lain setiap kali tiba saat makan. "Padahal
sejak dulu kami berdoa dengan bismillah," ujar seorang penduduk.
Orang-orang tua juga merasa tidak enak melihat anak-anak gadis
mereka belakangan ini mengenakan celana jean meniru para wanita
petugas ICA. "Bahkan mereka sekarang lebih sering keluar malam.
Dan pengajian jadi sepi," kata Husin B.F., Kepala Keamanan Desa.
Pemandangan yang juga tak menyenangkan warga desa: di malam
terang bulan para petugas ICA (orang-orang bule) berdansa di
tepi pantai. Dan yang paling menyinggung perasaan penduduk Bubun
adalah kebiasaan laki-perempuan bule itu berjalan bergandengan
tangan dengan pakaian seenaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo