Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
LP3ES merilis riset soal pasukan siber dan manipulasi opini publik.
Penelitian itu memuat peran buzzer dan pasukan siber saat polemik revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja terjadi.
Tim yang sama juga bergerak menyebar tudingan keberadaan Taliban di KPK.
JAKARTA – Pasukan siber dan buzzer diduga menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat polemik revisi Undang-Undang KPK terjadi pada 2019. Pada tahun berikutnya, mereka disinyalir kembali mendukung pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Demikian hasil riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang dirilis kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari LP3ES, Albanick Maizar, mengatakan sejumlah narasumber yang diwawancarai menyampaikan bahwa pola kerja pasukan siber saat mendukung revisi Undang-Undang KPK sama seperti pada isu lainnya. Mereka memiliki koordinator, pembuat konten, pendengung, dan influencer. Para koordinator bekerja menyiapkan tim yang bergerak menyebarluaskan pesan dukungan terhadap perubahan undang-undang di media sosial, yang berujung pada pelemahan KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albanick menyebutkan pasukan siber yang menyerukan perlunya perubahan Undang-Undang KPK itu masih dipakai untuk memberikan pelabelan kelompok Taliban alias Islam garis keras di lembaga itu. “Yang berbeda sebatas berkurangnya penggunaan tanda pagar dan sebagainya,” kata dia saat diskusi penelitian LP3ES soal Pasukan Siber, Manipulasi Opini Publik, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Hotel Park 5, Cilandak, Jakarta Selatan, kemarin.
Aktivis menggelar aksi menolak omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPR, Jakarta, 14 Juli 2021. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Dari keterangan para narasumber, Albanick mendapati bahwa pemberi order dan bayaran yang meminta pasukan siber menyerukan revisi Undang-Undang KPK memiliki afiliasi dengan pejabat pemerintah. Mereka jugalah yang membisiki tuduhan keberadaan kelompok ekstrem kanan di KPK kepada para buzzer sebelum meminta mendengungkan tudingan soal Taliban di KPK, lengkap dengan penggunaan tanda-tanda pagar yang memudahkan isu tersebut menjadi trending topic.
Penelitian LP3ES ini didapat dari wawancara terhadap 78 orang dari pasukan siber. Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, mengungkapkan sejumlah narasumber tak semata-mata bergerak karena uang. Ada juga motif ideologi. “Mereka memang yakin ada Taliban di KPK,” kata dia.
Riset ini juga melibatkan Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dan dosen Universitas Islam Indonesia; Ward Berenschot, profesor antropologi perbandingan politik Universitas Amsterdam; dan Yatun Sastramidjaja, antropolog dari Universitas Amsterdam.
Drone Emprit, sistem monitoring dan analisis percakapan di media sosial, mendapati tudingan keberadaan Taliban di KPK datang dari pasukan siber pada September 2020. Sementara itu, Ismail Fahmi mengatakan isu tersebut langsung menjadi percakapan luas di media sosial, mengalahkan isu utamanya, yakni revisi undang-undang yang memangkas kewenangan petugas KPK dalam memerangi korupsi. “Ini membuat orang jadi ragu (untuk berpihak) di isu revisi UU KPK,” kata dia via panggilan video dalam diskusi yang sama.
Ada juga serangan pasukan siber terhadap media yang dianggap berseberangan, seperti Tempo. Serangan dilakukan lewat penyebaran meme berisi penghinaan dan seruan untuk memberikan penilaian terburuk di penyedia aplikasi. Mahasiswa dan pelajar, yang serentak turun ke jalan di kota-kota besar menyerukan penolakan revisi Undang-Undang KPK, juga menjadi sasaran dengan tanda pagar #MahasiswaAnarkis dan #PelajarAnarkis.
Kajian LP3ES menemukan adanya penggunaan pasukan siber dari rentetan momen penting, dari pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, hingga urusan pembahasan rancangan undang-undang.
Dalam isu Undang-Undang Cipta Kerja, LP3ES mendapati koordinator pasukan siber yang mengaku dibayar Rp 25 juta sebulan untuk menyuarakan dukungan bagi undang-undang sapu jagat yang mendapat penolakan publik tersebut. Menurut Lailuddin Mufti, peneliti lainnya dari LP3ES, sang koordinator membagi-bagikan Rp 10 juta untuk pembuat konten dan buzzer.
Narasumber Lailuddin mengatakan uang dan order itu datang dari orang yang mengaku sebagai tangan kanan seorang pejabat tinggi negara. Sang koordinator diminta membuat laporan mingguan dan bulanan atas konten yang mereka sebarkan. “Dia mulai bekerja pada pertengahan 2020 dan dikontrak selama tiga bulan,” kata Lailuddin.
Tempo berupaya meminta konfirmasi atas temuan riset tersebut lewat Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini; dan juru bicara Menteri Koordinator Perekonomian, Alia Karenina. Namun mereka tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo melalui pesan pendek. Faldo sempat menjawab dan meminta hasil penelitian soal buzzer ini, tapi kemudian dia tak memberikan tanggapan lagi.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo