Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi stres yang dialami seseorang masuk dalam masalah kesehatan jiwa. Namun apakah orang yang mengalami stres itu bisa disebut sebagai penyandang disabilitas mental psikososial?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pertanyaan seperti ini masih mengemuka di masyarakat. Intinya, banyak yang belum memahami apa perbedaan antara masalah kesehatan jiwa dengan disabilitas yang terjadi pada seseorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua Umum Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menyampaikan bagaimana cara mengidentifikasinya. Merujuk pada contoh stres tadi, Yeni Rosa menjelaskan, stres masuk dalam masalah kesehatan jiwa.
Lantas pada fase yang bagaimana stres masuk dalam kondisi disabilitas mental? "Terletak pada intensitas kekambuhan yang menetap. Masalah kesehatan jiwa masuk kategori disabilitas apabila gangguan stres terus muncul," kata Yeni Rosa kepada Tempo, Jumat 30 Juli 2021.
"Betul stres masuk dalam kesehatan jiwa, namun belum tentu masuk kategori disabilitas," kata Yeni Rosa. "Stres dapat dikategorikan sebagai disabilitas mental bila terus terjadi, terutama bila tidak didukung dengan terapi atau penanganan tertentu, maka kondisi gangguan muncul lagi."
Pernyataan senada juga disampaikan Tommy Hari Firmanda dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya. Menurut peneliti disabilitas dari Flinders University, Australia, ini masalah kesehatan jiwa yang dapat dikategorikan sebagai disabilitas mental adalah jika gangguannya terus terjadi dalam jangka waktu yang lama.
"Stres, depresi, atau trauma dapat diketagorikan sebagai masalah psikologis, namun kalau dikategorikan sebagai disabilitas mental sepertinya belum. Sebab kondisi disabilitas itu menetap," kata Tommy. Tommy mencontohkan, permasalahan kesehatan jiwa yang dapat dikategorikan sebagai disabilitas mental adalah yang sifatnya menetap seperti Schizophrenia, Bipolar, dan Autism Spectrum Disorder (ASD).
Menurut Perhimpunan Jiwa Sehat, penyandang disabilitas yang baru diketahui atau terpicu kekambuhannya saat mengalami tekanan di tempat kerja atau saat berkarier tetap memiliki hak untuk bekerja. Musababnya, tidak semua penyandang disabilitas mental mengalami kekambuhan terus-menerus.
Ada masa kambuh, namun ada juga masa tenang seperti biasa. Dalam masa tenang inilah penyandang disabilitas tetap dapat bekerja dan mendapatkan akomodasi yang layak. "Jangan kemudian distigmasisasi dan diberhentikan hanya karena terkonfirmasi memiliki disabilitas mental," kata Yeni Rosa.
Baca juga:
Kenali 4 Faktor Waham, Keyakinan Keliru pada Penderita Skizofrenia