Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI dengan 4 tahun lampau, bertani kelapa masih merupakan
mata-pencaharian utama penduduk pedalaman propinsi ini.
Sepanjang pantai barat dan timur adalah tanaman kelapa semata.
Tapi bersamaan dengan makin sepuhnya usia tanaman ini, ditambah
dengan berbagai hama dan harga kopra yang tak mantap, dan sarana
perhubungan yang tersendat-sendat, jenis tanaman ini hampir tak
menghidupi para petani lagi. "Karena itu kita mencoba melakukan
diversifikasi tanaman-tanaman perdagangan", kata Tambunan. Ia
menyebut bahwa sejak masa jabatannya sebagai gubemur di daerah
ini 3 tahun lampau, kepada para petani mulai diperkenalkan jenis
tanaman pala, cengkeh dan lada.
Ternyata tanaman cengkeh sudah mulai menggalak di mana-mana.
Bahkan di Kabupaten Toli-Toli, daerah paling utara propinsi ini,
demam cengkeh sudah mulai menghinggapi penduduk sejak 2 tahun
belakangan ini. "Di Toli-Toli saja", cerita Tambunan, "dengan
penduduk sekitar 150.000 orang, sudah terdapat 2« juta pohon
cengkeh". Tanaman ini di Toli-Toli punya keistimewaan, yaitu
mampu berbunga setiap tahun. Menurut Gubernur Sulawesi Tengah
itu, kabupaten paling utara ini akan menjadi wilayah yang paling
menonjol karena cengkehnya dibanding 3 kabupaten lainnya yang
ada di propinsi ini.
Kesulitan utama bagi para petani di Toli-Toli (kabupaten yang
paling sedikit penduduknya) sekarang ini adalah kurangnya tenaga
pemetik cengkeh. Beberapa pedagang di kota Palu mengungkapkan,
bahwa dalam musim panen cengkeh seperti.bulan-bulan sekarang ini
para pemiliknya biasa membagi dua hasil kebunnya dengan para
pemetik. "Bahkan di ujung-ujung musim, tak sedikit pemilik kebun
cengkeh yang mempersilahkan siapa saja untuk memungut bunga
cengkehnya dan memiliki hasil pungutannya seluruhnya", tutur
seorang pejabat kantor Gubernur Sulawesi Tengah yang berasal
dari Toli-Toli. Semua ini tentu karena tenaga pemetik jauh lebih
sedikit dari pada pohon cengkeh yang harus diambil bunganya.
Departemen PUTL
Tak hanya tanaman cengkeh yang bakal banyak menolong propinsi di
perut pulau Sulawesi ini. Lebih dari 75 daerah ini masih
merupakan hutan belantara. Di antaranya sekitar 2 juta hektar
lebih terdiri dari hutan yang masih menyimpan kekayaan bernama
kayu. Meskipun hingga saat ini dari 21 perusahaan yang sudah
memiliki HPH di daerah ini baru 7 perusahaan di antaranya yang
sudah berproduksi, namun sektor ini sudah mempunyai andil besar
dalam membenahi propinsi yang masih muda ini. Bahkan kayu hitam,
jenis hasil hutan yang termasuk paling mahal dewasa ini di
pasaran dunia, dalam bentuk gelondongan telah menghasilkan
antara 25 hingga 30 ribu ton per-tahun. "Tak sulit dibayangkan
peranan daerah ini dalam soal kayu jika semua hutan kayu yang
ada sudah diolah", ucap Tambunan.
Mengandalkan kayu atau tidak, tampaknya propinsi ini memang
cukup mempunyai bobot ekonomis di masa depannya. Tapi memang tak
salah, bahwa ketertutupan serta minusnya manusia selama ini
merupakan penyebab utama daerah ini lama tertidur. Tak seperti
di daerah-daerah lainnya, di Sulawesi Tengah tangan Departemen
PUTL terasa agak lamban membenahi jalanjalan yang mendesak.
diperlukan, terutarna di kantong-kantong ekonomi. Untuk ini
patut dikasihani juga usaha pejabat-pejabat propinsi ini yang
bersusah payah melicinkan jengkal demi jengkal jalan, walaupun
tanpa aspal --hanya untuk membebaskan warganya yang sudah sekian
puluh tahun terkurung di gunung-gunung. Dan semua ini selalu
menghabiskan lebih dari separo anggaran daerah setiap tahunnya.
Tapi toh masih belum dapat dikatakan sarana perhubungan itu
sudah seluruhnya menolong penduduk secara maksimal.
Buktinya Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah masih dihambat
kesulitan untuk memantapkan warga masyarakat suku terasing agar
tetap betah di tempat yang sudah ditentukan bagi mereka. Sebab
bagaimana petugas-petugas akan ajeg membina mereka, bagaimana
mereka akan berkomunikasi dengan dunia luar - jika untuk
mencapai lokasi pemukiman hanya mungkin dengan berjalan kaki
atau naik kuda selama berhari-hari. Barangkali karena menyadari
hal ini pula, maka dalam hal menangani masalah transmigrasi
Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah mencoba belajar banyak dari
pelaksanaan Proyek Sitiung. Walaupun hampir secara pelan-pelan,
dalam dua tahun belakangan ini persiapan lokasi para penduduk
pendatang ini ditata dengan lebih teliti. Setidak-tidaknya agar
tidak terjadi lagi seakan-akan memindahkan penduduk sama artinya
dengan mengurung mereka di tengah hutan belantara.
Tapi bagaimanapun juga daerah ini bertegang otot untuk membenahi
segala sudut wilayahnya, apakah orang-orang di Jakarta sana
cukup memahami?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo