Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI ditahan 1 tahun lebih, Moh. Sholeh, 25 tahun, malah agak
gemuk. Rambutnya gondrong. Mengenakan jaket biru ITS dan celana
putih, Selasa pekan lalu bekas Sekretaris Umum DM ITS itu
mendengarkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya,
setelah bersidang 26 kali sejak 5 bulan lalu.
Dalam vonis sepanjang 21 folio tulis tangan itu, Sholeh dijatuhi
hukuman penjara 1 tahun 6 bulan potong tahanan sementara. Sholeh
tampak gembira saja. Malah kemudian ia berteriak lantang kepada
para mahasiswa yang hadir. "Bagaiana teman-teman? Diterima atau
ditolak?"
"Ditolaaak!" jawab para mahasiswa yang hari itu hadir 2 kali
lipat dari biasanya. Beberapa gerombol di antaranya duduk di
lantai. "Nah, Bu Hakim, saya menolak," tukas Sholeh kepada Hakim
Ketua Nyonya Wahyudi SH. Adegan semacam itu juga berlangsung di
Pengadilan Negeri DIY di Semaki, Yogya, Senin lalu. Ketika
Majelis Hakim memutuskan hukuman penjara 2 tahun potong tahanan
bagi Maqdir Ismail, 25 tahun, bekas Ketua Departemen Ekstern DM
UII itu juga minta pertimbangan para mahasiswa yang hadir:
"Bagaimana teman-teman mahasiswa, kita terima atau naik
banding?" Para mahasiswa pun serentak menjawab "Naik banding!"
Tuduhan kepada sejumlah mahasiswa itu umumnya melakukan tindak
pidana penghinaan terhadap Kepala Negara dan atau penguasa umum
dan badan-badan umum lainnya. Sementara bekas Ketua Umum DM IKIP
Malang, awal Juni lalu sudah dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 4
bulan oleh Pengadilan Negeri setempat, perkara di Ja-Tim tinggal
satu Harun al-Rasyid, bekas Ketua Umum DM ITS.
Mendobrak Belenggu
Perkara yang di Medan, sampai akhir Juni lalu baru mendengarkan
tuntutan Jaksa Penuntut Umum W. Sinaga. Terhadap ketiga
tertuduh, Irwan Bahrum (bekas Ketua Umum DM USU), Fauzi Yusuf
Hasibuan (bekas Sekretaris Umum DM USU) dan Yose Rizal
(mahasiswa FT USU), Sinaga menuntut masing-masing 2 tahun
penjara segera masuk, potong tahanan sementara.
Di Jakarta, perkara sebagian besar baru dalam taraf pemeriksaan
saksi. Misalnya perkara Lukman Hakim, Bram Zakir, Doddy
Suriadiredja (UI), Hudari Hamid (IKIP) serta Nizar Dahlan dan
Nazmi Ali Imron. Setelah beberapa sidang agak sepi, akhir-akhir
ini tampak pengunjung kembali ramai.
Hal itu lantaran Rektor UI Mahar Mardjono tampil sebagai saksi a
decharge bagi Doddy dan Lukman Hakim. Minggu-minggu mendatang
sidang diperkirakan juga akan ramai bila Rektor IKIP, Winarno
Surachmad, jadi tampil sebagai saksi a decharge dalam perkara
Hudari Hamid.
Yang telah mencapai tingkat tuntutan adalah perkara Haryono
Yusuf (bekas Sekjen DM IAIN) dan Rosmel Jalil/Indra Tjahya Kadi.
Haryono dituntut 6 tahun sementara Rosmel/Indra 5 dan 4 tahun
penjara.
Di Bandung, perkara mahasiswa itu juga sudah sampai tingkat
tuntutan. Yang menarik: para mahasiswa Bandung cenderung
membukukan duplik atau pleidoinya. Pleidoi Ramles Manampang
(ITB) setebal 180 halaman misalnya berjudul "Dari Kelabu ke
Abu-abu" sedang duplik Iskadir Chottob (bekas Ketua Umum DM
Unpad) diberi judul "Kembalikan Indonesia Kepadaku."
Heri Akhmadi, bekas Ketua Umum DM ITB, juga membukukan
pleidoinya, dengan judul "Mendobrak Belenggu Penindasan Rakyat
Indonesia. "Berukuran 21 x 16 cm, buku setebal 200 halaman itu
dicetak rapi dengan kertas HVS. Dimuat pula 15 buah karikatur
dan beberapa grafik. Naskah itu pernah dibacakan depan
Pengadilan Negeri Bandung pada 7,8 dan 9 Juni lalu.
Dengan kata pengantar dari Adnan Buyung Nasution, Heri memulai
pembelaannya dengan mengutip sebuah adegan sandiwara dalam buku
Max Havelaar karya Multatuli. "Saya mengutip karya Multatuli itu
untuk mencoba mencari gambaran pembanding dari keadaan hukum dan
pengadilan di Indonesia sekarang ini," tulis Heri. Buyung
sendiri menulis dalam kata pengantarnya, "mereka melihat bahwa
pada saat ini pengadilan sudah tidak lagi terjamin sebagai
benteng keadilan."
Inkonstitusionil
Tapi buku itu, 3 Juli lalu, dilarang beredar di seluruh wilayah
hukum Ja-Bar oleh Kejati setempat. Alasannya, "isinya dapat
mengganggu keamanan dan ketertiban umum." Pelarangan yang juga
berdasarkan permintaan Laksusda Ja-Bar itu juga mengutip pasal 1
UU No. 4/PNPS/1963.
Reaksi pertama atas pelarangan itu datang dari Albert Hasibuan,
ketua Persahi dan anggota Komisi III DPR-RI. Menurut Albert,
wewenang pelarangan terhadap barang cetakan yang isinya dapat
mengganggu ketertiban umum hanya ada pada Jaksa Agung. Dan hal
itu juga sesuai dengan bunyi UU No. 4/PNPS/1963 itu sendiri.
Bisa diduga bila Senin siang kemarin muncul protes dari Bandung.
Tim Koordinasi Pusat Pembelaan Mahasiswa -- ditandatangani Pj.
Ketuanya Haryono Tjitrosubono -- menyatakan bahwa UU No.
4/PNPS/1963 itu sudah dicabut dan digantikan oleh UU No. 4/1967
pasal 1 seperti dijelaskan dalam penjelasan umum UU tersebut.
Karenanya, Tim tersebut menilai pelarangan Kejati Ja-Bar sebagai
inkonstitusionil.
Sementara itu, juga di Bandung, Wakil Direktur LBH Minang Warman
menyatakan bahwa ketika Heri membacakan pembelaannya, baik
Majelis Hakim maupun Jaksa tidak keberatan dan tidak melarang.
Dan buku tersebut sudah pula diserahkan kepada Majelis Hakim.
Komite Pembelaan Mahasiswa ITB bahkan menyatakan pelarangan
tersebut sebagai "penghinaan terhadap pengadilan." Juga sebagai
"tindakan sewenang-wenang" yang menghalangi masyarakat untuk
mengetahui proses pencarian keadilan. Protes-protes tersebut
juga mengingatkan bahwa pembelaan Heri Akhmadi diucapkan dalam
sebuah sidang pengadilan yang asasnya bebas dan terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo