Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sembunyi Muka di Ketiak Bunda

Murid yang mengalami pemaksaan jilbab hidup dengan trauma berkepanjangan. Pelaku tak dibawa ke penegak hukum meski terbukti melakukan kekerasan terhadap anak.

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBONCENG ibunya, Adinda Asyllah menangis sesenggukan setelah mengikuti orientasi masuk sekolah pada 2019. Murid sekolah menengah atas negeri di Lampung Timur itu baru saja mengalami perundungan lantaran tak mengenakan jilbab. “Saya benar-benar down dan sakit hati,” kata Adinda menceritakan pengalaman dipaksa memakai jilbab kepada Tempo, Senin, 22 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adinda, yang saat itu baru pindah dari Jawa Timur, menuturkan ia tak tahan lagi dengan perisakan yang datang dari teman-teman, kakak kelas, hingga guru di sekolahnya. Segerombolan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah dan sejumlah guru menanyakan alasannya tak memakai jilbab. Bahkan ada guru yang tanpa sungkan membahas sikap Adinda di depan kelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tekanan terhadap Adinda terus terjadi pada masa orientasi. Suatu siang, seorang kakak kelas mencegatnya di area lapangan sekolah. Disaksikan banyak murid lain, siswi berjilbab itu mencecar apa maksud Adinda tak berseragam seperti dirinya. “Dia bilang, ‘Nanti orang tua kamu masuk neraka’,” ujarnya.

Momen itulah yang membuat Adinda menangis. Ia meyakini berjilbab bukan kewajiban. Bagi dia, pakaian adalah identitas diri yang tak boleh diusik siapa pun. Lelah menghadapi perisakan, ia meminta pindah sekolah. Namun ayah dan ibunya meminta Adinda bersabar dan mereka berjanji mencarikan jalan keluar.

Baca: Terjerat Aturan Jilbab di Kota Padang

Siti Rokhani, ibu Adinda, lantas menemui guru yang mengurus kesiswaan. Kepada Siti, guru tersebut menyatakan tak ada pemaksaan jilbab, melainkan hanya imbauan. Siti meminta masalah itu dibereskan agar anaknya tak lagi tertekan. Adinda pun bebas tak mengenakan tudung kepala hingga tamat SMA.

Putri kedua Siti yang masuk sekolah menengah pertama negeri pada 2020 mengalami hal serupa. Di grup WhatsApp kelompok orientasi siswa, ia di-bully karena tak berjilbab. Bahkan ada kakak kelasnya menelepon dan menyebut dia kafir serta mencemarkan nama sekolah.

Perisakan itu berdampak lebih parah. Sang anak kerap menangis dan menjadi penakut sehingga mesti diantar berangkat sekolah. “Dia sembunyi di ketiak saya karena takut bertemu dengan kakak kelas,” Siti menuturkan.

Putri kedua Siti akhirnya terpaksa memakai jilbab demi meredam perundungan di sekolah. Namun ia tak lagi ceria dan menjadi minder. Menurut Siti, putrinya baru pulih setelah mendapat pendampingan psikolog yang dikenal lewat Forum Berbagi—wadah para korban pemaksaan jilbab. Pemulihan itu pun membutuhkan waktu hingga satu tahun.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung Timur Marsan mengaku belum pernah mendengar ada pemaksaan jilbab di SMP negeri di wilayahnya. Marsan yang dilantik pada Oktober 2021 mengatakan pemakaian jilbab tidaklah wajib.

SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 31 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani

“Pengawasan sudah dilakukan di setiap sekolah. Apabila ada luput, itu kekhilafan kami,” kata Marsan lewat pesan pendek kepada Tempo pada Jumat, 26 Agustus lalu. Ia juga mengimbuhkan, kejadian semacam itu tak boleh terulang.

Meski sudah lulus SMA, Adinda Asyllah masih merasa trauma terhadap perundungan yang dialaminya. Ia merasa parno berada di lingkungan yang intens membahas agama. Menurut sang ibu, Siti Rokhani, pengalaman itu juga mempengaruhi keputusan Adinda memilih kampus. Ia batal masuk ke dua perguruan tinggi setelah menyaksikan di dua kampus itu banyak yang berjilbab.

•••

HUMAN Rights Watch, organisasi internasional yang berfokus pada isu hak asasi manusia, mencatat banyak perempuan mengalami pemaksaan mengenakan jilbab seperti yang menimpa Adinda Asyllah dan adiknya. Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan, sepanjang 2014-2021, lembaganya mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang dipaksa berkerudung.

“Hampir setiap hari saya menerima laporan bullying karena pemaksaan jilbab,” ucap Andreas kepada Tempo, Senin, 15 Agustus lalu. Menurut dia, selain anak perempuan di sekolah negeri, ada perempuan aparatur sipil negara yang menjadi korban pemaksaan jilbab.

Laporan serupa didapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta yang membuka hotline aduan dugaan pemaksaan jilbab di sekolah negeri. Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Ima Mahdiah, mengaku mendapat sejumlah laporan tentang siswa di sekolah negeri yang diminta mengenakan jilbab.

Pada Rabu, 10 Agustus lalu, fraksi partai banteng mengundang Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan meminta klarifikasi. Salah satu kasus yang dibeberkan terjadi di SMP Negeri 46 Jakarta. Namun Kepala SMPN 46 Jakarta Endin Haerudin membantah ada pemaksaan jilbab di sekolahnya.

Endin mengatakan guru hanya menanyakan kepada seorang murid kenapa dia tak berjilbab. Dalam kesempatan terpisah, Kepala Subbagian Humas dan Kerja Sama Antar Lembaga Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taga Radja Gah mengatakan tak ada aturan yang mewajibkan jilbab bagi murid di sekolah negeri.

Menurut Andreas Harsono, akar terjadinya pemaksaan jilbab ialah keberadaan peraturan yang mendiskriminasi. Human Rights Watch mencatat setidaknya ada 64 peraturan yang berkaitan dengan jilbab di Indonesia, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai kota.

Contohnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan ini sebenarnya memberikan pilihan bagi murid perempuan. Namun aturan itu mengilustrasikan seragam muslimah terdiri atas rok panjang, baju lengan panjang, dan jilbab.

“Aturannya ambigu, tapi dampaknya tidak,” ujar Andreas. Ia menilai ilustrasi tersebut mengarahkan murid muslim untuk tetap berseragam muslimah.

Sedangkan aturan di tingkat lokal, misalnya, Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442 Tahun 2005 yang diteken Fauzi Bahar, kepala daerah saat itu. Instruksi tersebut mewajibkan jilbab bagi siswa perempuan muslim. Nyatanya, siswa nonmuslim juga dipaksa mengenakan jilbab, seperti yang dialami Jeni Cahyani Hia tahun lalu.

Murid Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang itu ditegur gurunya karena tak berjilbab. Kasus itu mencuat setelah rekaman pembicaraan ayah Jeni dengan wakil kepala sekolah viral. Kepala sekolah pun meminta maaf akibat pemaksaan jilbab itu.

Aturan di Padang ditiru oleh kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Diana—bukan nama sebenarnya—mengaku terpaksa berjilbab saat bersekolah di sebuah SMA negeri di Bukittinggi. Perempuan yang kini berusia 29 tahun itu bercerita, semua siswa perempuan harus memakai baju kurung, yakni rok panjang dan baju lengan panjang, plus kerudung bagi yang muslim.

Diana yang juga muslim merasa kewajiban itu sangat mengganggunya. “Aku meyakini jilbab itu simbol agama. Aku yang tidak pernah mempermasalahkan simbol tiba-tiba dipaksa, seperti berjilbab,” tutur Diana, yang kini tinggal di Jakarta.

Perundungan juga menimpa Gendhis, siswa sekolah dasar negeri di Kebumen, Jawa Tengah, yang menganut kepercayaan Kejawen Maneges. Anggun Purnawati, ibu Gendhis, mengatakan guru sekolah sempat menanyakan mengapa Gendhis tak berjilbab. Setelah Anggun menjelaskan ihwal kepercayaannya, pertanyaan dari guru tak lagi muncul.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kebumen Asep Nurdiana mengaku telah mengecek peristiwa itu. Menurut Asep, Gendhis awalnya dianggap penganut Kristen karena tak berjilbab. Ia menyebutkan orang tua Gendhis memahami kawan-kawan putrinya tak bermaksud merisak. “Sekarang suasana sudah kondusif. Insya Allah hal seperti itu tidak terjadi lagi,” kata Asep.

Namun perisakan terus datang dari teman-teman Gendhis dan sejumlah wali murid. Anggun lantas membekali putrinya dengan argumen ilmiah, seperti pentingnya membiarkan kepala terkena cahaya matahari langsung karena mengandung vitamin D. “Di depan teman-teman dan gurunya dia kuat mental. Setelah pulang, dia baru menangis,” ujarnya.

Di Cirebon, Jawa Barat, tekanan serupa menimpa dua anak Ruhadie Bae, seorang pedagang. Guru dan teman anaknya kerap bertanya dan mengolok-olok karena putrinya tak berjilbab. Ruhadie menganggap kewajiban berjilbab tak selaras dengan ideologi Pancasila dan keberagaman di negeri ini. Setelah Ruhadie memprotes, dua anaknya bebas tak mengenakan tengkuluk.

Karangan bunga sebagai dukungan setelah Kepala sekolah, guru BK, dan wali kelas dinonaktifkan sementara di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 17 Agustus 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, mengatakan lembaganya sempat menerima aduan dari siswa SMA negeri di Sragen, Jawa Tengah. Murid tersebut merasa diteror untuk berjilbab oleh sesama peserta didik yang merupakan pengurus organisasi rohani Islam. Menurut Retno, para pelaku meneror korban lewat aplikasi perpesanan.

“Hasil asesmen psikologis menunjukkan korban sudah tidak nyaman. Akhirnya korban pindah sekolah,” ucap Retno.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan pemaksaan jilbab bisa mempengaruhi kesehatan mental korban. Biasanya korban mengalami tekanan dan kerap merasa khawatir, bahkan ketakutan. “Khususnya kepada perempuan yang masih usia belajar,” kata Rini—sapaan Theresia.

•••

PINDAH sekolah kadang menjadi opsi bagi siswa yang mengalami pemaksaan jilbab. Rena—sebut saja demikian—memilih pindah dari SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, setelah mengalami perundungan dari gurunya. Yuliani, pendamping korban, mengatakan Rena mulai pulih dari trauma meski masih dalam pendampingan psikolog.

“Kondisinya masih rentan,” ujar Yuliani pada Kamis, 24 Agustus lalu. Rena sempat mengurung diri di kamar dan tak mau makan selama tiga hari.

Pada 20 Juli lalu, Rena mengalami pemaksaan jilbab oleh dua guru bimbingan konseling (BK) dan wali kelasnya. Rekaman kamera pengawas (CCTV) yang diperiksa Ombudsman Perwakilan Yogyakarta menunjukkan koordinator guru BK memakaikan jilbab pada Rena dibantu dua guru lain. Tiga guru tersebut mengelilingi Rena yang duduk dan menunduk.

“Dia tidak nyaman dan menangis,” kata Yuliani. Sebelum peristiwa itu, wali kelas juga menanyai Rena ihwal agama yang dianutnya. Rena satu-satunya murid perempuan beragama Islam yang tak berjilbab di kelasnya. Kepala SMAN 1 Banguntapan, Agung Istiyanto, membantah ada pemaksaan jilbab. Agung berdalih tiga guru itu hanya memberikan tutorial.

Hasil pemeriksaan Ombudsman Yogyakarta menyimpulkan sebaliknya. Pemakaian jilbab itu mengandung unsur paksaan dan perundungan sehingga masuk kategori kekerasan terhadap anak. Lembaga itu memberikan delapan rekomendasi, di antaranya pemberian sanksi untuk kepala sekolah dan dua guru BK.

Rekomendasi lain adalah pemerintah daerah menginisiasi peraturan yang mengatur tata tertib dan seragam sekolah dengan memperhatikan kebinekaan dan hak asasi manusia. Selain itu, pemerintah daerah harus mengkaji tata tertib semua SMA dan SMK negeri di Yogyakarta.

Namun Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Yogyakarta hanya menjatuhkan sanksi ringan. Kepala sekolah mendapat pernyataan tidak puas dari pimpinan secara tertulis. Sedangkan guru BK dan wali kelas mendapat teguran tertulis dan lisan. “Sifatnya pembinaan supaya mereka bekerja lebih baik dan teliti,” tutur Kepala Dinas Pendidikan Didik Wardaya.

Kepala Ombudsman Perwakilan Yogyakarta Budhi Masturi mengatakan penjatuhan kategori sanksi itu kewenangan Kepala Dinas Pendidikan. Namun ia mengingatkan masih ada enam saran lain dari Ombudsman yang mesti dijalankan. “Beberapa di antaranya sangat strategis untuk mendorong terjadinya moderasi beragama di sekolah,” kata Budhi.

Pada Kamis, 4 Agustus lalu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menonaktifkan sementara kepala sekolah dan tiga guru yang melakukan pemaksaan jilbab. Sultan juga berpendapat siswa yang menjadi korban tak semestinya pindah sekolah. “Yang harus ditindak guru dan kepala sekolah yang memaksa itu,” ujar Sri Sultan.

Setelah penonaktifan itu, rombongan organisasi kemasyarakatan, Front Jihad Islam (FJI), datang memberikan dukungan untuk sekolah. Anggota FJI, Dwi Yulianto, menolak berkomentar ihwal pertemuan itu. Ia mengarahkan Tempo bertanya kepada Komandan FJI Abdurrahman. Namun Abdurrahman tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.

Di SMAN 1 Banguntapan pun muncul sejumlah karangan bunga disertai pesan dukungan untuk kepala sekolah dan guru. Sebaliknya, keluarga Rena justru mendapat intimidasi. Ayah Rena mengalami doxxing, informasi pribadi dan latar belakang perkawinannya disebarkan di media sosial dan aplikasi perpesanan. Penyebar mengidentifikasi diri sebagai Tim Cyber Muslim Jogja.

Dua narasumber yang mengetahui tekanan tersebut bercerita, ayah Rena mendapat pesan ancaman dan akan berhadapan dengan si pengancam. Demi keamanan, Rena dan ayahnya kini mengungsi ke tempat aman. Tempo menghubungi ayah Rena, tapi ia tak bersedia diwawancarai.

Yuliani, pendamping Rena yang mengalami pemaksaan jilbab, pun diteror lewat pesan pendek dan panggilan telepon. Pada Jumat, 12 Agustus lalu, ia mundur sebagai narasumber diskusi bertajuk “Pemaksaan Pemakaian Jilbab di Sekolah Negeri Yogyakarta” setelah menerima panggilan telepon. Tak mengungkap isi pembicaraan itu, Yuliani menunjukkan sejumlah pesan bernada teror kepada Tempo.

RAYMUNDUS RIKANG (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus