Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik antara pengelola SBM ITB dan rektorat ITB berawal dari temuan BPK.
Pengelola SBM ITB menghendaki pengelolaan SBM tetap secara swakelola.
Mahasiswa merasakan dampak dari konflik antara pengelola SBM ITB dan rektorat ITB.
JAKARTA – Andrian Tambunan, 18 tahun, mulai bimbang untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB). Kebimbangan itu muncul setelah mendengar kabar bahwa kampus tersebut tengah didera konflik, hingga para dosen memilih mogok mengajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia baru mengetahui bahwa SBM ITB berseteru dengan induknya, yaitu ITB, dalam urusan pengelolaan kampus. SBM ITB berkeinginan mempertahankan status otonomi di ITB, sementara pihak ITB memutuskan mencabut status swakelola tersebut. “Sedangkan yang saya dengar bahwa swakelola ini yang bikin SBM bisa bagus dan berakreditasi tingkat dunia,” kata Andrian, Kamis, 10 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andrian baru saja lulus seleksi masuk SBM ITB, beberapa pekan lalu. Ia diterima di kelas internasional S-1 Manajemen. Remaja asal Medan ini sengaja mendaftar di SBM ITB karena kampus itu termasuk kampus favorit dan bertaraf internasional.
Ia seharusnya mulai kuliah semester ganjil tahun ini. Tapi Andrian belum mendapat pengumuman jadwal perkuliahan di SBM ITB hingga kemarin. “Saya maunya masuk nanti dengan kualitas kampus yang dijanjikan ke saya,” kata dia.
Pekerja melintas di depan gedung Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), di Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat, 10 Maret 2022 ANTARA/Novrian Arbi
Status SBM ITB berpolemik setelah rektorat Institut Teknologi Bandung menghapus status otonomi SBM, November 2021. Lalu ITB mengambil alih pengelolaan salah satu kampus manajemen terbaik di Indonesia itu.
Adapun status otonomi SBM diberikan sejak pendidikan manajemen itu didirikan pada 2003. Dengan status itu, pengelolaan pendidikan dan dana di SBM berbeda dengan fakultas lain di ITB. SBM mengelola sendiri dana mahasiswa tanpa campur tangan ITB yang merupakan kampus negeri.
SBM berwenang mengatur biaya perkuliahan mahasiswa hingga mengatur gaji pegawai dan dosen tetap maupun tidak tetap. Fakta itu yang membuat sebagian orang menyebut SBM sebagai kampus swasta yang membonceng nama kampus negeri.
Polemik atas status ini mulai muncul ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketimpangan pengelolaan ITB dan SBM ITB pada 2018. Audit BPK menemukan ada ketimpangan dalam pemberian tunjangan hari raya bagi pegawai SBM dan ITB. Tunjangan hari raya pegawai SBM lebih tinggi daripada pegawai ITB lainnya. BPK lantas meminta pengelolaan SBM dipulangkan ke induknya, yakni rektorat ITB.
Tiga tahun kemudian, rektorat ITB menindaklanjuti temuan BPK ini. ITB memutuskan SBM kehilangan haknya untuk mengatur pendanaan sendiri.
Sebagian dosen dan staf SBM menolaknya karena pengelolaan sekolah tidak bisa disamaratakan dengan fakultas lain di ITB. Jika disamaratakan, mereka khawatir kualitas SBM akan menurun karena tenggelam dengan sistem pengelolaan kampus negeri yang sarat birokrasi.
Sebagian lagi menolak diduga karena gaji mereka bakal terjun bebas jika disamakan dengan gaji pegawai negeri. Sejumlah dosen SBM lantas menyatakan mogok mengajar mulai Rabu, 9 Maret lalu. Menurut menuntut agar status otonomi SBM dikembalikan.
Beberapa kali audiensi antara dosen SBM dan rektorat ITB gagal membuahkan hasil. Akibatnya, dekan SBM ITB mengajukan surat pengunduran diri kepada rektor ITB. “Pengelolaan yang berjalan selama ini di SBM tolong dilegalkan dengan peraturan rektor atau majelis wali amanat kampus. Itu yang kami minta,” kata Achmad Ghazali, perwakilan dosen SBM.
Achmad mengatakan mogok mengajar ini sebagai sikap mereka untuk menunjukkan bahwa kualitas SBM bergantung pada dosen dan civitas sekolah. “Mahasiswa mempunyai harapan layanan yang diberikan dan mereka sudah membayar mahal. Lalu rektor menggunakan kebijakannya untuk membuat penyamarataan ini,” ujar Achmad.
Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, mengatakan penghapusan swakelola itu menjadi cara menindaklanjuti temuan BPK. Ia mengklaim pelayanan terhadap mahasiswa SBM tetap menjadi prioritas. “ITB tengah membenahi dua hal, yakni integrasi atau penyatuan sistem pengelolaan keuangan dan pengembangan human capital management,” kata dia.
Konflik antara pengelola SBM ITB dan rektorat ITB ini tidak hanya berimbas pada mahasiswa baru, tapi juga mahasiswa yang sudah di tingkat akhir. Misalnya Rizqi Ayunda Pratama, mahasiswa semester akhir program Master of Business Administration (MBA). Ia mengatakan kebingungan menyelesaikan tesisnya. Sebab, pertemuan dengan dosen pembimbing dilakukan serba terbatas dan hanya via WhatsApp.
“Ketika dengar kabar dosen akan mengurangi jam pertemuan, saya merasa sangat kecewa dan terdemotivasi,” kata Rizqi.
Rizqi mengaku sudah membayar Rp 180 juta untuk menyelesaikan program pasca-sarjana di SBM. Menurut dia, uang yang telah ia bayarkan itu senilai dengan hasil pendidikan yang didapatkannya. Dia merasa konflik antara SBM dan rektorat ITB ini perlu diselesaikan agar tak berdampak lebih jauh terhadap mahasiswa.
Dian Pratama, 25 tahun, juga mulai risau jika konflik itu akan berdampak padanya. Dian adalah mahasiswa nirgelar semester akhir dalam program kelas eksekutif di SBM ITB. Setelah pengumuman mogok mengajar yang baru berlangsung pekan ini, Dian belum merasakan langsung dampaknya.
“Kelasku kebanyakan di Jakarta dan diajar oleh profesional,” kata dia. “Sejauh ini kelas-kelas yang diajar oleh dosan tetap yang kelasnya kebanyakan berkurang dan hanya dikasih tugas.”
Adapun Ilham Subandoro, mahasiswa semester akhir S-1 di SBM ITB, mengaku belum mendapat kabar lanjutan dari dosen pembimbingnya mengenai layanan bimbingan skripsi. “Saya belum kontakan juga dengan dosen. Mau melihat situasi dulu,” kata dia.
ANWAR SISWADI (BANDUNG) | INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo