Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Sleman - Pelatihan Poros Belajar Inklusi Disabilitas yang digelar Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Program Peduli dengan dukungan The Asia Foundation dan Pemerintah Australia diikuti sejumlah kader inklusif dari berbagai daerah. Setelah mengikuti pelatihan ini, para kader diharapkan dapat mengembangkan gagasan inklusivitas bagi difabel kemudian mewujudkannya di daerah masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seorang kader dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, A. Ryan hadir dalam pelatihan poros belajar inklusi disabilitas dan mewakili organisasi Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak atau Sapda Banjarmasin. Kader inklusi yang juga tunanetra ini mengatakan ada beragam impian dan gagasan yang ingin diwujudkan sesampainya di Banjarmasin.
“Saya ingin bangunan instansi pemerintahan di Banjarmasin ramah dan aksesibel bagi difabel,” kata Ryan saat ditemui Tempo seusai menerima sertifikat tanda telah mengikuti pelatihan dalam Deklarasi Poros Belajar Inklusi Disabilitas di Pusat Rehabilitasi Yakkum di Sleman, Yogyakarta, Senin, 11 Maret 2019. Ryan prihatin karena pengguna kursi roda membutuhkan perjuangan berat untuk mengakses tangga kantor.
Belum ada pula guiding block bagi difabel netra di berbagai ruangan. Tak ada tulisan berhuruf braille yang dipasang di kantor untuk membantu tunanetra mengakses informasi. Bahkan petugas yang menyambut dan membantu melayani kebutuhan difabel untuk mengakses intansi pemerintah pun tak ada. “Saya ingin mensosialisasikan tentang instansi pemerintah yang ramah difabel. Baru kemudian membahas infrastrukturnya,” kata Ryan.
Kader inklusif yang juga Ketua Kelurahan Siaga Bausasran, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, Heriyani mengatakan ingin mengembangkan kemandirian bagi orang dengan gangguan psikososial atau ODGP. Di kelurahan Heriyani, terdapat 14 orang difabel psikososial.
Meski mampu bisa bersosialisasi dengan mereka, Heriyani menganggap lingkungan tempat tinggalnya belum inklusif. “Karena banyak ODGP yang belum mempunyai penghasilan sendiri,” kata Heriyani. Rencananya Heriyani ingin melatih difabel psikososial itu dengan keterampilan membuat batik sibori.
A. Ryan dan Heriyani adalah dua dari 24 kader yang mengikuti pelatihan poros belajar inklusi disabilitas. Peserta lainnya berasal dari Situbondo, Sumba, Sukoharjo, dan Klaten. Setiap kader membawa rencana tindak lanjut yang telah disusun ke daerah masing-masing untuk diimplementasikan sesuai dengan prioritasnya. Pelaksana pelatihan akan melakukan monitoring 3 sampai 6 bulan. “Mengenai pembiayaan rencana inklusif, kami akan mengadvokasi ke desa agar dimasukkan dalam anggaran dana desa,” kata Koordinator Poros Belajar Inklusi Disabilitas Bahrul Fuad.