Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CLIFFORD Geertz, antropolog terkemuka itu, bisa juga jadi monumen. Seperempat abad telah lewat, tapi karyanya, Religion of Java (1960), masih dikutip-kutip dengan taklid. Buku itu memang terkenal. Sebagai hasil penelitian Geertz (sekarang 59 tahun, dan memimpin Institute for Advanced Studies pada Princeton University, New York) atas sebuah desa di Kediri, Jawa Timur, 1953-1954, terbitan itu disambut luas. Karya-karya Geertz sendiri, tak kurang dari 17 buah, menyebabkan orang kadang-kadang menganggap antropolog Amerika ini setingkat dengan tokoh seperti Snouck Hurgronje. Religion of Java adalah karya yang mudah diingat karena usahanya memperkenalkan (kembali) istilah-istilah abangan, santri, dan priayi, sebagai tiang-tiang untuk menggambarkan - berdasarkan pengamatannya hanya terhadap desa yang bernama Pare keseluruhan kehidupan rohani orang Jawa. Dengan menggabungkan ciri tiap-tiap golongan itu ke dalam sebuah kontras (abangan itu animistik, santri itu taat beribadat, priayi itu Hinduistik), Geertz memudahkan banyak orang untuk "melihat" Jawa: Penyederhanaannya memberi mereka perasaan mendapat pegangan. Dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dalam dies natalisnya ke-27, pekan lalu mencoba mempertimbangkan "pegangan" itu. Dalam seminar tiga hari yang bertemakan Muhammadiyah di Penghujung Abad XX, (dengan berbagai topik, antara lain tentang sekularisasi dan beberapa topik tentang Muhammadiyah, dengan pembicara antara lain Mukti Ali, Prof. Soedjito, Mubyarto, Umar Kayam), diketengahkan juga makalah Abangan, Santri, dan Priayi - sebagai "rekonseptualisasi terhadap teori-teori Geertz", seperti ditulis dalam judul. Ini milik Dr. Sujatno, Dekan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Bahwa acara yang diikuti 75 peserta (terutama dari pimpinan Universitas Muhammadiyah seluruh Jawa) ini merasa perlu membicarakan Geertz, antara lain, memang karena jangka waktu yang sudah berlangsung 30-an tahun - antara saat lahirnya kesimpulan Geertz dan kini. "Sejak 1970-an", seperti dikatakan koordinator materi seminar, "intensitas perubahan masyarakat semakin tinggi." Dan hasilnya, sudah diduga, negatif. Teori Geertz itu sudah tidak berlaku - demikian suara sidang. "Dulu tipologi itu menjadi begitu jelas karena didukung oleh faktor pengelompokan politik," kata Dr. Kuntowijoyo. Yakni, yang "abangan" masuk PNI atau PKI, yang "santri" masuk partai-partai Islam - meski ini hanya kategorisasi gampangan. Di sekitar tahun 1950-an itu, saat penelitian dilakukan, memang ada pergolakan politik yang tajam, "Sehingga setiap varian bisa terlihat lebih jelas," kata Sujatno pula. Tapi itu sebelum partai-partai jebol atau lenyap - dan Golkar mengembang. Yang kemudian terlihat justru ini: yang dulu disebut "abangan" itu, atau anak-anak mereka, kini pada sembahyang. Bila orang tidak percaya pada kenyataan terjembataninya jurang ini, setidak-tidaknya mereka bisa melihat bahwa pendidikan agama di sekolah (dan, untuk yang disebut "abangan", tentu agama Islam), yang dulu tidak wajib, kini akan tidak lagi menciptakan "generasi muda abangan" Geertz itu. Banyak alasan dikemukakan dalam sidang - yang menjelaskan bahwa lingkungan-lingkungan, juga Desa Pare itu, sudah dan sedang berubah. Geertz sendiri boleh heran. "Kini partai-partai sudah berubah," katanya kepada TEMPO, dalam kunjungannya ke sini tahun lalu, "tapi agak aneh bagi saya, jika benar banyak anak abangan berubah menjadi santri." (TEMPO, 21 April 1984). Agak aneh - karena, dikatakan Kuntowijoyo, untuk tipologinya itu Geertz tidak membedakan antara ritual keagamaan seorang pemeluk dan simbol-simbol budayanya. Itulah sebabnya ia boleh menganggap agak sukar anak "abangan" berpindah ke "santri". Padahal, "Di kampung saya, misalnya," kata Kunto, "dunia simbolik yang 'santri' dan yang 'abangan' itu sama. Semuanya menganggap wayang, semuanya marhabanan, kenduri di makam, percaya tuyul, percaya gendruwo." Bedanya hanya: sebagian orang taat ibadat, yang lain tak pandai sembahyang. Tapi yang begitu itu 'kan - seperti pernah dikatakan Prof. Rasjidi - terdapat di semua lingkungan agama? Kesamaan simbol itu bisa lebih jelas bila orang menyetujui Sujatno untuk asal usul istilah abangan. Doktor sejarah dari Australia National University ini, dalam makalahnya tentang kemunduran Kerajaan Surakarta di sekitar 1870-an - untuk Seminar Sejarah Nasional II di Yogya, 1970 menyebut kenyataan munculnya abdi dalem pamethakan (pegawai "pemutihan" pethak= putih) di Keraton Solo. Tugasnya: mengurus hal-hal keagamaan. Nah, sebutan abang (merah) bagi "abangan" itu, menurut Sujatno, harus dihubungkan dengan "yang putih" itu. Kedua-duanya satu, tentu saja - yang diurus dan yang mengurus. Dunia lambangnya satu: yang "putih" itu pun menerima seluruh seremoni keraton, yang dibilang "sinkretis" itu. Demikian, sehingga dilihat dari sistem nilai - ukuran yang terutama ditekankan Nurcholish Madjid dalam kritiknya kepada Geertz, di samping dimensi kesejarahan yang tak ditengok antropolog itu yang "abangan" dan yang "santri itu malah tak ada. Setidak-tidaknya bila diikuti kesimpulan Kunto bahwa "abangan" itu baru terformulasikan kurang lebih setelah timbulnya kebatinan atau yang kini disebut "kepercayaan" itu. Yakni kelompok-kelompok yang memang mencoba merumuskan sistem nilainya sendiri (yang toh, menurut Rasjidi, sebagian besarnya berasal dari Islam), dan yang, bisa kita tambahkan, sering secara keliru digambarkan sebagai mewakili seluruh kerohanian orang Jawa. "Padahal, abangan itu dulu bukan itu," kata Kunto kembali. Tidak berarti masyarakat Jawa hanya terdiri dari satu warna, sudah tentu. Nurcholish, misalnya, bukan menolak abangan maupun santri sebagai istilah, agaknya untuk sekadar membedakan berbagai kebiasaan antara dua kelompok. Tapi keberatannya tak lain karena penggunaannya terlalu jauh. "Yakni," kata Nurcholish, "ketika Geertz mengisyaratkan dengan kuat bahwa yang benar-benar muslim hanya yang santri, sedang yang abangan bukan muslim." Dan itu disebabkan, seperti dinyatakan Marshall G.S. Hodgson, ahli sejarah kebudayaan Islam, yang dikutip Nurcholish dalam seminar itu, "Geertz mendefinisikan Islam itu hanya seperti yang kebetulan disetujui kaum modernis (pihak Syariah) Muslim, dan menyangkutkan semua yang lain dari itu (tasawuf, tentunya, juga dengan warna lokal) kepada latar belakang aborijin ataupun Hindu-Budha." Padahal, kata sarjana itu, "Siapa yang tahu Islam, akan mempunyai data - dan bukan keinginan yang menunjukkan kepadanya, alangkah amat sedikitnya sisa-sisa Hindu yang masih bertahan, bahkan di pedalaman Jawa." Tak heran bila Nurcholish berucap, "Yang mengecewakan saya, Geertz itu tidak tahu apa-apa tentang Islam." Toh semua kritik itu, atau sebagian besarnya, seperti hanya aktualisasi - dengan penambahan perbandingan dengan keadaan sekarang - dari yang sudah pernah dilakukan sebelum ini. Kekaguman kepada Religion of Java itu - dan pengungkit-ungkitannya kembali - memang bagai pemuiaan kepada monumen, tanpa kemauan berpikir sendiri. Sudah di tahun 1963 Prof. Dr. Koentjaraningrat dan Prof. Soedjito menulis kritik mereka - plus Harsya Bachtiar sepuluh tahun kemudian. Dalam Berita Antropologi no. 12, Oktober 1975, Koentjaraningrat mengulangi ulasan ketiga tokoh itu - termasuk terhadap tindakan Geertz yang (akibat kegemarannya untuk "menggambarkan kontras dengan mempergunakan tipe-tipe ideal dari golongan-golongan . . . dengan ciri-cin tetap, seolah-olah diabstraksikan dari kenyataan kongkret," menurut Koentjara) tak urung menganggap yang "abangan" itu bukan muslim. Lebih lanjut Koentjara dan Harsya berkeberatan pada hal pokok yang lain: tidak adanya definisi Geertz terhadap konsepnya tentang religi - justru yang menyebabkan karyanya ia namai Religion of Java. Koentjaraningrat, misalnya, menyebut bahwa unsur-unsur sopan santun priayi, bahasa, gamelan, sastra, tari, dan semacamnya, "Seharusnya tidak termasuk termaktub dalam buku Geertz, karena tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan religi." Koentjaraningrat, dalam tulisannya yang terdahulu itu, malah menggugat pencampuradukan pengelompokan horisontal dengan yang vertikal: priayi itu 'kan berada dalam jalur vertikal sementara kalau horisontal mestinya: abangan, santri, dan (kita karang saja) Barat, misalnya. Sementara Harsya menunjukkan bahwa tidak semua jenis selamatan merupakan upacara agama seperti yang dikesankan Geertz. Tidak jelas memang, akhirnya, yang mana yang Religion of Java itu. Jadi, dalam hal trikotomi antropolog terkemuka itu, masalahnya bukan hanya bahwa konsepnya tak lagi relevan. Tapi mengutip Nurcholish yang mengulangi kritik Hodgson, konsep itu highly misleading, sangat menyesatkan. Karena itulah, dikatakan Kunto, "Studi yang baru tidak perlu menuruti jejak Geertz." Dan itu tampaknya penting. Nurcholish menyebut satu kerugian yang, menurut dia, akibat pengaruh Religion of Java. Yakni: "Kegagalan memahami perkembangan Indonesia, khususnya Jawa, berkenaan dengan kecenderungan perkembangan kontemporernya yang menyangkut masalah agama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo