Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dampak SMA tanpa Jurusan bagi Siswa Kurikulum Merdeka

Peniadaan jurusan di SMA membuat siswa tidak fokus. Sudah diterapkan di beberapa negara, tapi dengan infrastruktur yang memadai.

23 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kebijakan peniadaan jurusan di SMA merupakan bagian dari penerapan Kurikulum Merdeka.

  • Porsi materi pelajaran cenderung tak berfokus yang berbeda ketika diberlakukannya sistem penjurusan.

  • Penerapan Kurikulum Merdeka dapat dijalankan dengan memprioritaskan kemajuan literasi dan numerasi murid di sekolah.

WAJAH Muhammad Afief Muzhaffar semringah setelah mengetahui hasil ujian tulis berbasis komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) masuk perguruan tinggi negeri. Dengan skor 773, remaja 18 tahun itu lolos dan dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun ajaran 2024/2025 ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) Cakra Buana, Kota Depok, Jawa Barat, ini bersyukur—setelah melihat pengumuman pada 13 Juni lalu itu—atas capaian dan kerja keras belajarnya. Selain belajar di sekolah, dia tekun mengikuti program bimbingan belajar di luar sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Afief, siswa SMA jurusan ilmu pengetahuan alam, mengatakan banyak memperoleh ilmu-ilmu dasar mengenai biologi dan ilmu lain di rumpun kesehatan. “Setidaknya saya punya bekal untuk masuk di jurusan serumpun yang ada di perguruan tinggi,” ujar Afief kepada Tempo pada Senin, 22 Juli 2024.

Suasana berlangsungnya ujian tulis berbasis komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) pada gelombang ke-2 di Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 14 Mei 2024. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna

Namun Afief khawatir akan nasib adik kelasnya. Sebab, tahun ajaran 2023/2024 merupakan angkatan terakhir yang masih memberlakukan penjurusan keilmuan. Penjurusan yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS), dan bahasa.

Pada tahun ajaran 2024/2025 ini mulai diterapkan Kurikulum Merdeka yang meniadakan penjurusan di SMA. Dengan begitu, kini tidak ada lagi penjurusan bagi siswa SMA. “Hal yang dikhawatirkan adalah sulit bagi siswa karena tidak ada lagi bekal keilmuan dasar untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi di program studi yang diinginkan,” ujar Afief.

Kekhawatiran inilah yang dirasakan Arunika. Sejak masuk SMA, siswa yang duduk di kelas XII SMA Cakra Buana dan menolak disebutkan jati dirinya itu mengatakan sudah tidak ada lagi penjurusan. Peniadaan jurusan keilmuan itu bersamaan dengan penerapan Kurikulum Merdeka. Dia skeptis penerapan Kurikulum Merdeka bakal memberikannya porsi belajar yang cukup seperti kepada siswa jurusan IPA pada tahun ajaran sebelumnya. 

Menurut dia, penerapan Kurikulum Merdeka di sekolahnya memberikan fleksibilitas kepada murid-murid untuk menyesuaikan mata pelajaran berdasarkan minat dan rencana studi ke depan. Namun, kata Arunika, porsi materi pembelajaran kini cenderung tak berfokus ketika diberlakukannya sistem penjurusan. “Karena fleksibel, jadinya banyak keinginan. Sulit berfokus pada satu rumpun keilmuan untuk masuk ke program studi di perguruan tinggi nanti,” ujarnya. Arunika juga bercita-cita masuk di FKUI pada proses seleksi masuk perguruan tinggi tahun depan.

Kebijakan peniadaan jurusan di SMA merupakan bagian dari penerapan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka resmi diterapkan sebagai kurikulum nasional untuk semua jenjang sekolah pada 27 Maret 2024. Keputusan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah.

Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menjelaskan, peniadaan jurusan di SMA merupakan implementasi Kurikulum Merdeka yang sejatinya sudah diterapkan secara bertahap sejak 2021. 

Pada 2022, dia menjelaskan, hanya 50 persen sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Kini kurikulum tersebut sudah diterapkan 90-95 persen di satuan pendidikan, dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas serta kejuruan (SMA/SMK). Menurut dia, dengan penerapan Kurikulum Merdeka, siswa-siswi kelas XI dan XII SMA sudah dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai dengan minat, bakat, kemampuan, serta aspirasi studi lanjut atau kariernya.

Anindito mencontohkan, seorang siswa SMA yang ingin berkuliah di jurusan teknik bisa menggunakan jam mata pelajaran pilihan, seperti matematika tingkat lanjut dan fisika, tanpa harus mengambil mata pelajaran biologi. Sebaliknya, seorang murid yang ingin mengambil kuliah kedokteran bisa menggunakan jam pelajaran pilihan, seperti biologi dan kimia, tanpa harus mengambil mata pelajaran matematika tingkat lanjut. "Dengan begitu, siswa bisa lebih fokus membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi lanjutnya," ujarnya.

Anindito juga menjelaskan, Kurikulum Merdeka bertujuan mendukung peran guru dalam memberikan pelajaran yang sesuai dengan konteks siswa dan sekolah. Ia mengklaim kurikulum ini efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Dihubungi secara terpisah, pelaksana tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang Ristanto, mengatakan peniadaan jurusan di tingkat SMA diterapkan untuk mendorong murid melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat, serta aspirasi karier. Kurikulum ini juga memberi kesempatan siswa-siswi untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai dengan rencana. “Penghapusan jurusan di SMA juga menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi,” kata Anang. 

Dengan penerapan Kurikulum Merdeka, kata dia, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua program studi di perguruan tinggi melalui jalur tes tanpa dibatasi klasifikasi penjurusan ketika di SMA atau SMK. Sebab, kata Anang, hal yang kerap terjadi ketika ada pembagian jurusan adalah sebagian besar murid memilih jurusan IPA. Sebab, jurusan IPA bakal mendapat dan memiliki privilese lebih banyak saat memilih program studi di perguruan tinggi.

Anindito Aditomo juga menegaskan hal senada. Menurut dia, penerapan Kurikulum Merdeka bertujuan mendorong murid lebih berfokus pada persiapan rencana studi lanjutan di perguruan tinggi. Peniadaan jurusan, selain menghapus diskriminasi, kata dia, untuk memantapkan persiapan studi lanjutan bagi murid SMA. “Penghilangan jurusan bukan menghilangkan persiapan kuliah. Justru sebaliknya, ini memperkuat kesiapan kuliah,” ujarnya. 

Siswa melukis caping pada gelar karya dalam implementasi Kurikulum Merdeka di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, 12 Juni 2024. ANTARA/Adeng Bustomi

Beragam Pendapat Pengamat

Menanggapi hal tersebut, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai penerapan Kurikulum Merdeka dengan meniadakan penjurusan di SMA adalah kebijakan yang keliru. Meski kebijakan serupa diterapkan di negara-negara maju, seperti negara-negara di daratan Skandinavia, menurut dia, hal tersebut tidak bisa menjadi legitimasi bagi Indonesia agar segera mengikuti langkah tersebut. 

Darmaningtyas khawatir peniadaan jurusan malah membuat pendidikan di Indonesia makin tertinggal dari negara-negara lain. Dia menilai Kurikulum Merdeka yang meniadakan sistem penjurusan di SMA bisa mengakibatkan mata pelajaran rumpun keilmuan sains dan teknologi, seperti biologi, fisika, kimia, dan matematika, sepi peminat. 

Padahal mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran utama untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. “Karena ada penghapusan jurusan, dikhawatirkan murid SMA akan memilih paket-paket mata pelajaran yang mudah saja,” ujar Darmaningtyas.

Peniadaan jurusan, dia melanjutkan, juga berdampak sekolah akan sulit menyiapkan tenaga pengajar. Sebab, setiap tahun, kecenderungan yang terjadi adalah murid bisa berubah-ubah memilih paket mata pelajaran. Hal ini berbeda dengan sistem penjurusan. Sekolah bisa memprediksi secara pasti kebutuhan tenaga pengajar dengan pertimbangan banyaknya kelas per jurusan.

Darmaningtyas mengungkapkan bahwa penghapusan jurusan di SMA sempat diakomodasi pada penerapan Kurikulum 2013, yakni memberlakukan konsep peminatan bagi siswa-siswi. Konsep ini memberikan fleksibilitas bagi murid SMA untuk memilih lebih banyak mata pelajaran yang sesuai dengan jenjang studi lanjutannya. Misalnya, murid SMA yang ingin melanjutkan studinya di fakultas kedokteran akan mengambil mata pelajaran biologi dan kima lebih banyak ketimbang mata pelajaran lain. “Namun, pada implementasinya, konsep ini tidak berjalan karena infrastruktur tidak mendukung,” ujarnya.

Menurut dia, penerapan Kurikulum Merdeka dapat dijalankan dengan memprioritaskan kemajuan literasi dan numerasi murid di sekolah. Alih-alih membenahi masalah di tingkat dasar, kata Darmaningtyas, Kemendikbudristek cenderung melangkah terlalu jauh dengan melupakan evaluasi pada penerapan Kurikulum 2013. “Kebijakan yang populis tapi tidak cerdas karena tak melihat sosio-kultural dan politis di Indonesia,” ujarnya. 

Dihubungi secara terpisah, psikolog pendidikan Tantri Rahmawati mengatakan Kemendikbudristek perlu mengantisipasi potensi minat dan bakat siswa setelah menghapus kebijakan penjurusan IPA, IPS, serta bahasa di jenjang SMA. Menurut dia, kurangnya pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran dan peminatan jurusan sejak siswa di kelas X SMA dapat menjadi kendala di kemudian hari. Dia khawatir peniadaan jurusan ini berdampak pada banjirnya calon mahasiswa yang gagal menembus Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru lantaran murid hanya memilih mata pelajaran berdasarkan ikut-ikutan teman. 

Adapun pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan, mengatakan peniadaan jurusan di SMA tidak serta-merta berdampak negatif pada banyaknya murid kelas XII SMA yang kehilangan bekal keilmuan dasar untuk mengikuti seleksi di perguruan tinggi. Menurut dia, peniadaan jurusan justru berdampak positif karena cenderung progresif. “Di luar negeri saja, cara ini sudah diterapkan,” ujar Cecep, kemarin. 

Meski begitu, kata dia, Kemendikbudristek tidak dapat secara instan mengekor penerapan kurikulum di negara-negara maju, misalnya Finlandia. Menurut Cecep, kurikulum di negara maju memang dilandasi oleh minat, kebutuhan, dan efisiensi yang dikemas secara terintegrasi. “Masalahnya, apakah Kurikulum Merdeka ditunjang oleh fasilitas yang memadai, misalnya kebutuhan laboratorium bagi murid saat praktik,” ujarnya. Sebab, di luar negeri, penerapan kurikulum dijalankan beriringan dengan fasilitas pendukung yang memadai.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Hendrik Yaputra, Aisyah Namira Wakang, dan Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus