Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bantul - Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities atau CIQAL menunjukkan dari 29 kasus kekerasan terhadap difabel yang mereka dampingi di Yogyakarta sepanjang 2019, tak satupun dihukum pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CIQAL yang merupakan lembaga fasilitator perbaikan kualitas hidup bagi difabel telah mendampingi penanganan 29 kasus kekerasan terhadap 23 perempuan dan 6 anak difabel. Pengurus CIQAL, Bonnie Kertaredja mengatakan sebagian besar korban berdomisili di Sleman, yaitu 19 kasus dan sisanya tersebar di Bantul dan Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usia korban antara 6 tahun hingga lebih dari 40 tahun. Mereka mengalami kekerasan di ranah domestik sebanyak 25 kasus dan di ranah publik 4 kasus. "Kasus yang terjadi terhadap difabel sepanjang 2018 sampai 2019 mayoritas kekerasan dalam rumah tangga," kata Bonnie dalam acara Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Difabel Tahun 2019 di Hotel Grand Dafam, Bantul, Yogakarta, Kamis, 9 Januari 2020.
Bentuk kekerasan yang dialami perempuan difabel di antaranya kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi. Dari puluhan kasus tersebut, suami menjadi pelaku terbanyak, yaitu 22 kasus, sisanya adalah masyarakat 2 kasus, teman 1 kasus, dan orang tua 2 kasus.
"Dan hanya enam kasus yang diproses secara hukum. Itupun pelakunya tidak dijatuhi hukuman pidana," kata Ibnu Sukoco, Koordinator Advokasi CIQAL. Musababnya, enam kasus yang diproses secara hukum itu ditangani oleh Pengadilan Agama karena korban menggugat cerai.
Para pembicara di acara Catatan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Difabel Tahun 2019 di Hotel Grand Dafam, Bantul, Yogyakarta, Kamis, 9 Januari 2020. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Menurut dia, para perempuan difabel korban kekerasan dalam rumah tangga tak berani melapor. "Jangankan melapor, punya keluarga difabel masih dianggap aib," kata Ibnu Sukoco. Korban dan keluarganya juga enggan melapor ke polisi karena tak ingin kasusnya diketahui publik. Terlebih dalam kasus kekerasan seksual, keluarga korban menganggap peristiwa itu aib yang harus ditutupi.
Pegiat CIQAL, Tutik Purwaningsih menambahkan, acapkali aktivis yang hendak mendampingi korban mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga. "Ada yang diusir sampai dilempari sepatu," kata Tutik.
Sejauh ini, upaya yang dilakukan CIQAL antara lain berjejaring dengan komunitas masyarakat di daerah. Semisal dengan Komunitas Melati Bakti di Bantul dan Forum Komunikasi Difabel di Sleman. Mereka dilibatkan untuk memberikan pemahaman tentang hak-hak difabel dan persoalannya kepada masyarakat.
Pegiat CIQAL juga menjalin komunikasi dengan puskesmas di daerah sebagai pelayanan kesehatan pertama bagi masyarakat, dalam hal ini korban. "Tapi tidak semua puskesmas ada psikolog. Terutama puskesmas yang ada di Bantul," kata Tutik.
Sementara di bidang hukum, CIQAL bekerja sama dengan Polres Sleman dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel. Ada pembagian peran, semisal penanganan litigasi oleh polisi dan CIQAL turut membantu memfasilitasi pendampingan, seperti menyediakan penterjemah bahasa isyarat untuk tunarungu.