Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Desa, Ke Bank Di Swiss Dari Desa, Ke Bank Di Swiss

Seretan adalah desa penghasil cengkih di kabupaten minahasa. Tak heran kehidupan warganya sangat mewah. malah, da yang menyimpan uang ke bank di Swiss. (dh)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH sebuah desa, Seretan namanya. Terletak di Kecamatan Eris, Kabupaten Minahasa, desa ini berpenduduk 370 KK. Tapi jika di seluruh kawasan desa ini terdapat sekitar 200.000 pohon cengkeh (dengan hasil dipanen raya nanti sekitar 1.250 ton), Seretan belum termasuk desa paling kaya cengkeh di propinsi Sulawesi Utara ini. Namun yang pasti, hampir tak ada penduduk yang tak memiliki kebun cengkeh. Bahkan ada beberapa orang yang memiliki kebun dengan 15.000 pohon. Ini menyebabkan hampir tak ada sejengkal tanah lagi di desa ini yang kosong dari batang cengkeh. Menurut Alex Mawengkong, Camat Eris, paa mulanya 8 tahun yang lalu Seretan termasuk desa yang terkena instruksi penghijauan dengan tanaman cengkeh. Waktu itu tiap kepala keluarga (KK) paling sedikit harus menanam 25 pohon cengkeh. Tahun-tahun berikutnya keharusan dilanjutkan walau dengan 10 pohon tiap KK. Terakhir tahun 1975, 5 pohon untuk tiap KK. Instruksi penghijauan itu ternyata membuahkan uang yang cukup melimpah bagi para warga desa. Dengan bangga Alex Mawengkong menyebutkan bahwa beberapa orang penduduk desa Seretan malahan menyimpan uang mereka di bank Swiss. "Karena tak tahu mau dibelikan apa lagi, dan harus disimpan di mana lagi", ucap Alex. Disebutnya juga di samping memiliki kendaraan-kendaraan umum, di desa Seretan terdapat 4 buah mobil pribadi yang khusus dipakai pemiliknya untuk berleha-leha. Plus 23 buah pesawat televisi. Di samping itu sebuah gereja dan balai desa yang di desa ini dibangun dengan nilai masing-masing Rp 32 juta, melalui sumbangan buah cengkeh para warganya. Menurut Camat Eris, desa ini termasuk di antra beberapa desa lain di kecamatan itu yang sedang memperebutkan agardi desa masing-masing didirikan SMA Negeri. "Masing-masing desa sanggup membangun gedung dan rumah guru, menggaji guru dan biaya-biaya lainnya tanpa bantuan pemerintah", tutur camat Mawengkong. Agak beruntung, bahwa belakangan ini penduduk desa cengkeh ini mulai mendatangi bank untuk mendepositokan atau mentabanaskan sebagian hasil panen mereka. Sebelumnya berlakulah penghamburan uang lewat pesta mewah berhari-hari. Atau main tunjuk barang sesukanya di toko tanpa tawar-menawar. Atau langsung menodongkan karung uang kepada si pemilik mobil untuk membelinya dengan harga berapa saja. Bahkan orang berebut banyak memberikan karung berisi cengkeh mereka, setiap ada ajakan dari hukum tua (kepala desa) untuk bergotong-royong mengumpulkan biaya sesuatu proyek desa. Adalah karena pengalaman pahit terkena ijon juga yang menghantarkan warga desa ini untuk menyisakan hasil panen mereka lewat simpanan uang di bank atau bendabenda produktif. Namun menjelang panen raya yang hanya tinggal beberapa bulan lagi tahun ini, cemas juga sementara warga desa Seretan. Terutama mereka yang memiliki kebun tak begitu luas. Sebelum cengkeh berubah bentuk menjadi lembaran uang, mereka memerlukan modal yang tak sedikit. Sebab di sampin untuk alat penampung cengkeh setelah dipetik, tangga, alat menjemur dan seterusnya, juga diperlukan biaya untuk tenaga-tenaganya. Upah seorang pembersih kawasan pohon (sebelum pohon itu dipetik) misalnya Rp 50 per hari. Gaji juru petik sekitar Rp 50 untuk tiap liter cengkeh yang dipetiknya (seorang yang ahli rnampu memetik 100 liter setiap hari). Lalu orang yang membersihkan buah cengkeh setelah dipetik harus diupah Rp 25 per liter. Tak sukar dihitung berapa modal yang.dibutuhkan seorang petani cengkeh, jika ia memiliki 2.000 atau 3.000 pohon. Beruntung, bahwa semenjak pertengahan bulan lalu Bank Rakyat Indonesia (BRI) mulai membagikan kredit Rp 2.160 untuk tiap pohon cengkeh, bagi petani-petani yang membutuhkan. *** Namanya Mantiri. Gemuruh panen raya cengkeh tahun ini ternyata tak mengusik petani kelapa ini. Ia tinggal di desa Menembo-nembo, beberapa Km menjelang kota Bitung. Sepanjang hari sibuk di bawah pohon kelapa di belakang rumah, sambil sesekali memandangi truk-truk mengangkut kopra dari pedalaman menuju pabrik minyak kelapa di kota Bitung. Mantiri memiliki sekitar 1.500 pohon kelapa. Setiap pohon mampu menjatuhkan 15 biji buah kelapa per bulannya. Melalui pengasapan yang terletak di belakang rumahnya yang cukup besar, setiap bulan petani ini menjual sekitar 4« ton kopra. Dengan harga kopra terakhir Rp 15 per kg berarti setiap bulan Mantiri berpenghasilan lebih dari Rp 67 000. Kotor. Sebab untuk 1.500 pohon kelapanya, ia mempekerjakan secara tetap tak kurang dari 9 orang buruh. Yaitu 3 orang tukang kupas dengan upah Rp 2.000 tiap 1000 biji kelapa, 4 orang tukang panjat dengan upah Rp 25 per pohon, dan 2 orang pengangkut (dari kebun ke tempat pengasapan/pengupasan) yang diupahnya Rp 2.000 untuk tiap 1.000 buah kelapa. Total jenderal, menurut Mantiri, lebih kurang 65% saja dari seluruh hasil penjualan kopranya sebagai pendapatan bersih. Sisa dari kebutuhan keluarganya setiap bulan seluruhnya dia pergunakan untuk meremajakan pohon-pohon kelapanya. "Agar nanti dapat diwarisi anak cucu saya", ucapnya. Pohon kelapa yang dimilikinya sekarang adalah warisan dari orang tuanya. Apakah Mantiri meremajakan pohon kelapanya dengan bibit unggul yang terkenal itu? "Wah, saya belum pernah mendengar bibit itu, bagaimana, di mana saya bisa dapat, berapa harganya dan bagaimana keunggulannya?" tanyanya dengan penuh nafsu. Ia belum tahu bahwa Pemerintah Daerah Sulawesi Utara sudah lama mengumumkan penyebaran bibit kelapa unggul secara merata di wilayah itu. Apa pendapatnya tentang BUUD/KUD? "Sudah lama saya mendengar ada instruksi agar semua kopra dijual melalui BUUD/KUD, tapi di sini helum jalan", Mantiri bertutur. Maka, katanya, selama ini ia langsung menjual kopranya kepada pabrik. Tentang koperasi kopra, menurut petani ini "sebetulnya koperasi itu baik, kalau dijalankan dengan baik". Ya memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus