Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADALAH sebuah desa, Seretan namanya. Terletak di Kecamatan Eris,
Kabupaten Minahasa, desa ini berpenduduk 370 KK. Tapi jika di
seluruh kawasan desa ini terdapat sekitar 200.000 pohon cengkeh
(dengan hasil dipanen raya nanti sekitar 1.250 ton), Seretan
belum termasuk desa paling kaya cengkeh di propinsi Sulawesi
Utara ini. Namun yang pasti, hampir tak ada penduduk yang tak
memiliki kebun cengkeh. Bahkan ada beberapa orang yang memiliki
kebun dengan 15.000 pohon.
Ini menyebabkan hampir tak ada sejengkal tanah lagi di desa ini
yang kosong dari batang cengkeh. Menurut Alex Mawengkong, Camat
Eris, paa mulanya 8 tahun yang lalu Seretan termasuk desa yang
terkena instruksi penghijauan dengan tanaman cengkeh. Waktu itu
tiap kepala keluarga (KK) paling sedikit harus menanam 25 pohon
cengkeh. Tahun-tahun berikutnya keharusan dilanjutkan walau
dengan 10 pohon tiap KK. Terakhir tahun 1975, 5 pohon untuk tiap
KK.
Instruksi penghijauan itu ternyata membuahkan uang yang cukup
melimpah bagi para warga desa. Dengan bangga Alex Mawengkong
menyebutkan bahwa beberapa orang penduduk desa Seretan malahan
menyimpan uang mereka di bank Swiss. "Karena tak tahu mau
dibelikan apa lagi, dan harus disimpan di mana lagi", ucap Alex.
Disebutnya juga di samping memiliki kendaraan-kendaraan umum, di
desa Seretan terdapat 4 buah mobil pribadi yang khusus dipakai
pemiliknya untuk berleha-leha. Plus 23 buah pesawat televisi. Di
samping itu sebuah gereja dan balai desa yang di desa ini
dibangun dengan nilai masing-masing Rp 32 juta, melalui
sumbangan buah cengkeh para warganya. Menurut Camat Eris, desa
ini termasuk di antra beberapa desa lain di kecamatan itu yang
sedang memperebutkan agardi desa masing-masing didirikan SMA
Negeri. "Masing-masing desa sanggup membangun gedung dan rumah
guru, menggaji guru dan biaya-biaya lainnya tanpa bantuan
pemerintah", tutur camat Mawengkong.
Agak beruntung, bahwa belakangan ini penduduk desa cengkeh ini
mulai mendatangi bank untuk mendepositokan atau mentabanaskan
sebagian hasil panen mereka. Sebelumnya berlakulah penghamburan
uang lewat pesta mewah berhari-hari. Atau main tunjuk barang
sesukanya di toko tanpa tawar-menawar. Atau langsung menodongkan
karung uang kepada si pemilik mobil untuk membelinya dengan
harga berapa saja. Bahkan orang berebut banyak memberikan karung
berisi cengkeh mereka, setiap ada ajakan dari hukum tua (kepala
desa) untuk bergotong-royong mengumpulkan biaya sesuatu proyek
desa. Adalah karena pengalaman pahit terkena ijon juga yang
menghantarkan warga desa ini untuk menyisakan hasil panen mereka
lewat simpanan uang di bank atau bendabenda produktif.
Namun menjelang panen raya yang hanya tinggal beberapa bulan
lagi tahun ini, cemas juga sementara warga desa Seretan.
Terutama mereka yang memiliki kebun tak begitu luas. Sebelum
cengkeh berubah bentuk menjadi lembaran uang, mereka memerlukan
modal yang tak sedikit. Sebab di sampin untuk alat penampung
cengkeh setelah dipetik, tangga, alat menjemur dan seterusnya,
juga diperlukan biaya untuk tenaga-tenaganya.
Upah seorang pembersih kawasan pohon (sebelum pohon itu dipetik)
misalnya Rp 50 per hari. Gaji juru petik sekitar Rp 50 untuk
tiap liter cengkeh yang dipetiknya (seorang yang ahli rnampu
memetik 100 liter setiap hari). Lalu orang yang membersihkan
buah cengkeh setelah dipetik harus diupah Rp 25 per liter. Tak
sukar dihitung berapa modal yang.dibutuhkan seorang petani
cengkeh, jika ia memiliki 2.000 atau 3.000 pohon. Beruntung,
bahwa semenjak pertengahan bulan lalu Bank Rakyat Indonesia
(BRI) mulai membagikan kredit Rp 2.160 untuk tiap pohon cengkeh,
bagi petani-petani yang membutuhkan.
***
Namanya Mantiri. Gemuruh panen raya cengkeh tahun ini ternyata
tak mengusik petani kelapa ini. Ia tinggal di desa
Menembo-nembo, beberapa Km menjelang kota Bitung. Sepanjang hari
sibuk di bawah pohon kelapa di belakang rumah, sambil sesekali
memandangi truk-truk mengangkut kopra dari pedalaman menuju
pabrik minyak kelapa di kota Bitung. Mantiri memiliki sekitar
1.500 pohon kelapa. Setiap pohon mampu menjatuhkan 15 biji buah
kelapa per bulannya. Melalui pengasapan yang terletak di
belakang rumahnya yang cukup besar, setiap bulan petani ini
menjual sekitar 4« ton kopra.
Dengan harga kopra terakhir Rp 15 per kg berarti setiap bulan
Mantiri berpenghasilan lebih dari Rp 67 000. Kotor. Sebab untuk
1.500 pohon kelapanya, ia mempekerjakan secara tetap tak kurang
dari 9 orang buruh. Yaitu 3 orang tukang kupas dengan upah Rp
2.000 tiap 1000 biji kelapa, 4 orang tukang panjat dengan upah
Rp 25 per pohon, dan 2 orang pengangkut (dari kebun ke tempat
pengasapan/pengupasan) yang diupahnya Rp 2.000 untuk tiap 1.000
buah kelapa. Total jenderal, menurut Mantiri, lebih kurang 65%
saja dari seluruh hasil penjualan kopranya sebagai pendapatan
bersih.
Sisa dari kebutuhan keluarganya setiap bulan seluruhnya dia
pergunakan untuk meremajakan pohon-pohon kelapanya. "Agar nanti
dapat diwarisi anak cucu saya", ucapnya. Pohon kelapa yang
dimilikinya sekarang adalah warisan dari orang tuanya. Apakah
Mantiri meremajakan pohon kelapanya dengan bibit unggul yang
terkenal itu? "Wah, saya belum pernah mendengar bibit itu,
bagaimana, di mana saya bisa dapat, berapa harganya dan
bagaimana keunggulannya?" tanyanya dengan penuh nafsu. Ia belum
tahu bahwa Pemerintah Daerah Sulawesi Utara sudah lama
mengumumkan penyebaran bibit kelapa unggul secara merata di
wilayah itu. Apa pendapatnya tentang BUUD/KUD? "Sudah lama saya
mendengar ada instruksi agar semua kopra dijual melalui
BUUD/KUD, tapi di sini helum jalan", Mantiri bertutur. Maka,
katanya, selama ini ia langsung menjual kopranya kepada pabrik.
Tentang koperasi kopra, menurut petani ini "sebetulnya koperasi
itu baik, kalau dijalankan dengan baik". Ya memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo