Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari PMP ke ujian negara, kalau...

Dirjen pendidikan dasar & menengah memutuskan pmp diujikan secara nasional. masalah klasik kembali muncul: soal ujian sekolah & ujian negara. keuntungan & kerugiannya. (pdk)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH 'ujian sekolah' dan 'ujian negara' teringat kembali. Setelah selama 10 tahun EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) sekolah -- istilah sekarang untuk ujian akhir -- menggantikan ujian negara, kini ada isyarat dari pihak pemerintah untuk menengok kembali ketentuan itu. April ini, bulan EBTA untuk SLTA (1-14 April dan SLTP (18 April - 1 Mei), untuk pertama kalinya sejak dilaksanakannya ujian sekolah, satu mata pelajaran diujikan secara nasional -- EBTA Nasional, istilah resminya. Dan yang satu itu ialah PMP atau Pendidikan Moral Pancasila. Tujuan penasionalan ujian PMP ini antara lain untuk "merintis penyelenggaraan EBTA Nasional, untuk mempercepat peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh tanah air." Demikian SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM) Desember lalu. Sudah menjadi keluhan umum bahwa mutu pendidikan kita belum merata dan belum seperti yang diharap. Tapi belum pernah terdengar bahwa ketidakmerataan dan kemerosotan itu bersumber pada EBTA. Yang jelas, sudah sejak 4 tahun lalu, sebenarnya ujian sekolah mulai dinilai, diperbandingkan dengan ujian negara. Waktu itu keluhan utamanya ialah soal standar nasional -- yang ternyata beraneka macam. Pun ada kekhawatiran "sekolah main kayu, misalnya dengan memperbesar persentase jumlah lulusannya secara tak bertanggung jawab," kata seorang kepala sekolah SMA negeri di Jakarta. Dan seorang kepala Sekolah Pendidikan Guru di Yogya punya kesan lain lagi. Selama sekolahnya melaksanakan ujian sekolah, "saya perhatikan anak-anak besarnya kurang giat, karena mereka tahu soalnya dibuat guru mereka sendiri, ujian di sekolah mereka sendiri, dan yang memeriksanya pun guru mereka sendiri." Namun banyak pula yang memuji EBTA. Seorang kepala sebuah SMA swasta di Yogya menjadi bangga diberi kepercayaan menyelenggarakan EBTA sendiri, karena "sekolah lantas berlomba meningkatkan mutu." Bapak ini memang optimistis dengan EBTA. Dan katanya, tentang ujian negara: "Ujian negara itu mahal. Belum lagi kalau bocor, harus diulang lagi. Bisa-bisa dimanfaatkan untuk mencari uang." Maklum. Seorang kepala SMA swasta yang lain lebih menilai kualitas materi ujiannya. Berdasar pengalaman, "ujian negara itu kadar kesulitan soalnya tak selalu sama," katanya. "Di masa masih ujian negara dulu, ada tahun ujian sulit dan ada tahun ujian mudah. Tergantung panitianya di pusat, yang memang selalu ganti-ganti." Menurut pejabat di Kanwil Departemen P&K DKI Jakarta, yang selama ini mengamati pelaksanaan EBTA, sebenarnya banyak hal positif diperoleh dari EBTA bila sekolahnya benar-benar melaksanakannya sesuai dengan petunjuk Departemen P&K. Misalnya, murid tak hanya dinilai dari hasil EBTA-nya, tapi juga dari prestasi sehari-hari. Tak seperti ujian negara, yang menentukan lulus tidaknya seorang murid tanpa mengingat prestasi harian. "Kan yang paling tahu kualitas dan potensi murid itu gurunya," sambungnya. Toh pelaksanaan EBTA selama 10 tahun ini bukan sama sekali diserahkan. Penjajakan Awal Kepada pihak sekolah. Ada garis besar pedoman pembuatan soal dari Departemen P&K. Pun tiap Kanwil Departemen P&K diminta menyeleksi sekolah (swasta) mana saja yang sebetulnya belum pantas diserahi menyelenggarakan EBTA sendiri. Pertimbangannya meliputi segi teknis (pelaksanaan kurikulum dan kualifikasi guru). administratif (kemampuan memberi pelayanan administrasi) dan peralatan (keadaan gedung sekolah beserta perabot). Di Yogya misalnya, tahun ini terdapat 100 SLTP/SLTA sekolah swasta yang tak diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri -- termasuk 1 SPG Muhammadiyah dan 1 SMP Kanisius. Mereka harus bergabung dengan sekolah lain yang ditunjuk. Jumlah yang cukup besar, mengingat jumlah SLTP/SLTA negeri dan swasta di Yogya hanya 598. Tahun lalu jumlah SLTP/SLTA di Yogya yang tak diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri hanya 80-an. Di DKI Jakarta pun jumlahnya lumayan: dari 985 SLTP/SLTA negeri dan swasta, yang tak diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri tahun ini 136. Tapi EBTA Nasional PMP April ini memang baru penjajakan awal. Kecuali masih akan dilihat hasilnya, SK Dirjen PDM tentang hal ini pun mengandung banyak kelonggaran. Pertama, sekolah luar biasa, sekolah guru pendidikan luar biasa dan PGSLP dibebaskan dari EBTA Nasional PMP -- dipersilakan menyelenggarakan sendiri. Kedua, sekolah yang memang merasa belum siap mengikuti EBTA Nasional PMP (sekolah swasta, tentu, karena bagi sekolah negeri hukumnya wajib) ini karena "situasi dan kondisi sekolah, antara lain ditinjau dari segi kelengkapan sarana, waktu dan keadaan daerah," boleh pula menyelenggarakan EBTA sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus