Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH 'ujian sekolah' dan 'ujian negara' teringat kembali.
Setelah selama 10 tahun EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir)
sekolah -- istilah sekarang untuk ujian akhir -- menggantikan
ujian negara, kini ada isyarat dari pihak pemerintah untuk
menengok kembali ketentuan itu.
April ini, bulan EBTA untuk SLTA (1-14 April dan SLTP (18 April
- 1 Mei), untuk pertama kalinya sejak dilaksanakannya ujian
sekolah, satu mata pelajaran diujikan secara nasional -- EBTA
Nasional, istilah resminya. Dan yang satu itu ialah PMP atau
Pendidikan Moral Pancasila.
Tujuan penasionalan ujian PMP ini antara lain untuk "merintis
penyelenggaraan EBTA Nasional, untuk mempercepat peningkatan dan
pemerataan kualitas pendidikan di seluruh tanah air." Demikian
SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM) Desember lalu.
Sudah menjadi keluhan umum bahwa mutu pendidikan kita belum
merata dan belum seperti yang diharap. Tapi belum pernah
terdengar bahwa ketidakmerataan dan kemerosotan itu bersumber
pada EBTA.
Yang jelas, sudah sejak 4 tahun lalu, sebenarnya ujian sekolah
mulai dinilai, diperbandingkan dengan ujian negara. Waktu itu
keluhan utamanya ialah soal standar nasional -- yang ternyata
beraneka macam.
Pun ada kekhawatiran "sekolah main kayu, misalnya dengan
memperbesar persentase jumlah lulusannya secara tak bertanggung
jawab," kata seorang kepala sekolah SMA negeri di Jakarta. Dan
seorang kepala Sekolah Pendidikan Guru di Yogya punya kesan lain
lagi. Selama sekolahnya melaksanakan ujian sekolah, "saya
perhatikan anak-anak besarnya kurang giat, karena mereka tahu
soalnya dibuat guru mereka sendiri, ujian di sekolah mereka
sendiri, dan yang memeriksanya pun guru mereka sendiri."
Namun banyak pula yang memuji EBTA. Seorang kepala sebuah SMA
swasta di Yogya menjadi bangga diberi kepercayaan
menyelenggarakan EBTA sendiri, karena "sekolah lantas berlomba
meningkatkan mutu." Bapak ini memang optimistis dengan EBTA. Dan
katanya, tentang ujian negara: "Ujian negara itu mahal. Belum
lagi kalau bocor, harus diulang lagi. Bisa-bisa dimanfaatkan
untuk mencari uang." Maklum.
Seorang kepala SMA swasta yang lain lebih menilai kualitas
materi ujiannya. Berdasar pengalaman, "ujian negara itu kadar
kesulitan soalnya tak selalu sama," katanya. "Di masa masih
ujian negara dulu, ada tahun ujian sulit dan ada tahun ujian
mudah. Tergantung panitianya di pusat, yang memang selalu
ganti-ganti."
Menurut pejabat di Kanwil Departemen P&K DKI Jakarta, yang
selama ini mengamati pelaksanaan EBTA, sebenarnya banyak hal
positif diperoleh dari EBTA bila sekolahnya benar-benar
melaksanakannya sesuai dengan petunjuk Departemen P&K. Misalnya,
murid tak hanya dinilai dari hasil EBTA-nya, tapi juga dari
prestasi sehari-hari. Tak seperti ujian negara, yang menentukan
lulus tidaknya seorang murid tanpa mengingat prestasi harian.
"Kan yang paling tahu kualitas dan potensi murid itu gurunya,"
sambungnya.
Toh pelaksanaan EBTA selama 10 tahun ini bukan sama sekali
diserahkan.
Penjajakan Awal
Kepada pihak sekolah. Ada garis besar pedoman pembuatan soal
dari Departemen P&K. Pun tiap Kanwil Departemen P&K diminta
menyeleksi sekolah (swasta) mana saja yang sebetulnya belum
pantas diserahi menyelenggarakan EBTA sendiri. Pertimbangannya
meliputi segi teknis (pelaksanaan kurikulum dan kualifikasi
guru). administratif (kemampuan memberi pelayanan administrasi)
dan peralatan (keadaan gedung sekolah beserta perabot).
Di Yogya misalnya, tahun ini terdapat 100 SLTP/SLTA sekolah
swasta yang tak diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri --
termasuk 1 SPG Muhammadiyah dan 1 SMP Kanisius. Mereka harus
bergabung dengan sekolah lain yang ditunjuk. Jumlah yang cukup
besar, mengingat jumlah SLTP/SLTA negeri dan swasta di Yogya
hanya 598. Tahun lalu jumlah SLTP/SLTA di Yogya yang tak
diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri hanya 80-an.
Di DKI Jakarta pun jumlahnya lumayan: dari 985 SLTP/SLTA negeri
dan swasta, yang tak diizinkan menyelenggarakan EBTA sendiri
tahun ini 136.
Tapi EBTA Nasional PMP April ini memang baru penjajakan awal.
Kecuali masih akan dilihat hasilnya, SK Dirjen PDM tentang hal
ini pun mengandung banyak kelonggaran. Pertama, sekolah luar
biasa, sekolah guru pendidikan luar biasa dan PGSLP dibebaskan
dari EBTA Nasional PMP -- dipersilakan menyelenggarakan sendiri.
Kedua, sekolah yang memang merasa belum siap mengikuti EBTA
Nasional PMP (sekolah swasta, tentu, karena bagi sekolah negeri
hukumnya wajib) ini karena "situasi dan kondisi sekolah, antara
lain ditinjau dari segi kelengkapan sarana, waktu dan keadaan
daerah," boleh pula menyelenggarakan EBTA sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo