Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENONTON televisi di Bukittinggi dan sekitarnya di Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, sedikit terhibur dan heran. Ketika mereka
menghidupkan pesawat tv pukul 16.30, bukan acara pola teknik
seperti biasanya yang muncul di layar. Kali ini tersaji gambar
yang tidak asing lagi bagi mereka, yaitu panorama indah Danau
Maninjau dan Puncak Lawang. Ilustrasi musik yang dihidangkan
sore itu ialah musik tradisional Minang, saluang dan talempong.
Keheranan penonton semakin bertambah, sewaktu seorang gadis
berpakaian adat Minang, bernama Titi, muncul sebagai penyiar
sesudah acara pembukaan itu. Tetapi semua itu segera terjawab.
Ir. Januar Muin, orang yang paling dikenal dalam urusan listrik
di SumBar, tampil di layar dan menjelaskan bahwa siaran itu
dipancarkan dari Puncak Lawang, Kabupaten Agam. "Untuk pertama
kalinya di Indonesia telah dilahirkan pemancar amatir di Puncak
Lawang ini," kata Januar, pemimpin PLN Proyek Induk Pembangkit
dan Jaringan Sumatera Barat/Riau.
Mulai 10 November siaran lokal Puncak Lawang mengudara. Pada
siaran perdananya, tampil Bupati Agam, M. Nur Syafei, memberikan
sambutannya. Disampaikan juga pesan Gubernur Sumatera Barat,
Azwar Anas, yang menyambut gembira peristiwa itu.
Tentu saja penduduk setempat gembira dan bangga. Tambahan lagi
hari berikutnya muncul penyiar Yul Chaidir yang sudah dikenal
membawakan acara Dunia Dalam, Berita dari TVRI Pusat Jakarta.
Yul Chaidir yang sekarang menjadi Kepala Stasiun RRI Bukittinggi
membawakan acara berita lokal sekitar Bukittinggi dan Agam.
Ide siaran lokal itu bermula dari keluhan masyarakat di
Kabupaten Agam sebelah barat yang tidak bisa menangkap siaran
TVRI Jakarta di pesawat tv mereka. Ada sekitar 100 ribu penduduk
di wilayah itu, tempat yang terkurung dalam lembah Bukit
Barisan. Keluhan yang sama juga terdengar dari ribuan pekerja
proyek PLTA Maninjau yang bekerja di wilayah itu.
"Kami terpencil di tempat yang sunyi ini. Tidak ada hiburan sama
sekali," keluh seorang pekerja PLTA itu kepada Ir. Januar Muin.
Maka sarjana elektro tamatan ITB tahun 1961 itu membawa keluhan
tadi ke Pemda dan Proyek Mass Media TVRI. Dia juga meriset
sendiri kemungkinan stasiun relay di daerah itu. Akhirnya
idaman masyarakat di daerah itu tercapai.
Semenjak akhir tahun 1979, penduduk di tempat itu sudah bisa
menikmati siaran TVRI Jakarta melalu. stasiun relay mini dengan
biaya DIP Rp 15 ,5 juta. Tapi, sukses itu belum cukup memuaskan
Januar dan kawan-kawannya. Dibantu oleh dua orang montir toko
radio dan televisi Bukittinggi, Uzer Udo dan Darwin, serta
teknisi proyek PLTA Maninjau, Januar mencoba pula memancarkan
siaran lokal. Setelah 17 kali percobaan sampai awal November,
hasilnya memuaskan. Daya pancarnya stasiun televisi amatir ini
mencapai radius 50 km. Selain Agam, tetangganya Kabupaten
Pasaman terjangkau pula.
Sejak siaran perdana itu, secara rutin tiga kali seminggu pada
pukul 15 - 16.30 WIB siarannya berjalan lancar. Selain acara
hiburan kesenian daerah dan pembangunan desa, disiarkan juga
ceramah kesehatan, pelajaran matematika dan penerangan adat.
Acara itu direkam dulu pada kaset video, kemudian dibawa ke
Puncak Lawang.
Terencana & Ada Izin
Siaran Puncak Lawang dikelola oleh organisasi Televisi Amatir
Indonesia atau disebut juga Otari, mirip Orari (Organisasi Radio
Amatir Indonesia). Penduduk daerah itu menerjemahkan Otari
menjadi ota (bahasa Minang yang berarti obrolan) dan ri yang
berarti siang hari.
Tapi penduduk sana mungkin akan kehilangan siaran Otari itu.
Mana izin resminya dari Jakarta? Pertanyaan itu terbetik ketika
Dirjen Penerangan Umum, Djoko Kartodihardjo, mengunjungi
pemancar itu pekan lalu. "Menpen akan memutuskan apakah pemancar
itu akan diteruskan atau tidak," kata Dirjen itu.
Januar, yang sempat digendong almarhum Ir. Sutami karena
berhasil dalam proyek PLTA Batang Agam, hari itu juga
menyerahkan pengelolaan pemancar lokal itu kepada Deppen. Ia
tidak banyak bicata lagi. "Sebaiknya kita tunggu keputusan
Menpen," katanya.
Kabar yang ditunggu itu agaknya tidak menggembirakan. "Siaran
lokal yang non-TVRI itu sudah dihentikan," kata Direktur
Televisi, Subrata. Setiap kegiatan seperti itu, katanya lagi,
harus terencana dan juga harus mendapatkan izin Dirjen RTF.
Tapi, menurut Januar di Bukittinggi akhir pekan lalu, "siaran
kami masih jalan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo